8 Penstabilan Emosi

Matahari mulai menampakkan kegagahannya. Sinarnya sangat benderang hingga membuat tubuh-tubuh yang terpapar nya itu mencari perlindungan. Tirai kamar yang sedari tadi telah terbuka itu tak membuat tubuh yang asik berselancar di mimpinya merasa terganggu. Wajah yang awalnya sempat tersirami dengan sinar matahari itu pun tak bermasalah, menyembunyikan wajah di bantal cukup membuatnya terbantu.

Bunyi dering ponsel agaknya menjadi alasan tubuh tengkurap itu untuk bangun. Tangannya pun sibuk meraba tempat sekitarnya dengan mata yang masih separuh terbuka.

"Hmmm..." gumam Nathan saat didapati ponselnya itu, langsung menarikkan ibu jarinya ke pilihan terima tanpa melihat nama penelepon.

"Kenapa semalam tidak pulang?" suara wanita secara tiba-tiba membuatnya terlonjak. Nathan langsung terbangun dan melihat nama penelepon, Mama.

" Di rumah temen, kemarin dia menyuruhku menginap," sahut Nathan canggung. Mereka tak biasa mempedulikan satu sama lain. Nathan merasa mereka hanya memainkan peran dengan penuh kepura-puraan saja beberapa hari ini.

"Sebenarnya kau tidak perlu bersikap terlalu kaku seperti ini, kau tau aku adalah ibumu kan?"

"Baru dua hari belakangan ini kau memerankan peranmu, terlepas dari kesusah payahanmu mengandung dan melahirkanku. Tapi kalau boleh jujur, dua hari itu aku melihat wajah kepalsuan yang sebenarnya."

Nathan kepalang terbawa perasaan, nyawanya yang baru saja terkumpul setelah tidurnya itu pun membuatnya lebih emosional. Secara tiba-tiba setetes air mata pun mengalir ke pipinya dan langsung di hapusnya kasar.

"Maaf, aku bukan orang yang bisa mengekspresikan suasana hati. Tapi sebenarnya aku sedang belajar untuk bisa menunjukkan rasa sayangku pada mu, anakku!"

Jawaban itu nampaknya tak cukup membuat Nathan percaya. Kenapa baru sekarang ibunya itu mencoba mendekat kepadanya, kenapa tidak pada saat ia membutuhkan bantuan saat mengerjakan pr matematika waktu sekolah dasar, kenapa tidak saat ia dimarahi sang papa karena mendapat juara runner up di olimpiade fisika pas masa smp nya, atau kenapa juga tak saat ia dikurung sang papa saat ketahuan ikut membantu kawan yang sedang dikeroyok. Kenapa tidak di waktu yang benar-benar ia membutuhkan dukungan moril dan nasihat ibu, kenapa? Selama itu kah hati wanita itu terbuka?

"Dan aku juga sedang sedikit demi sedikit meredam keingin tahuanku tentang masalah apa yang kau tumpahkan padaku selama ini, mama!"

Nathan langsung mematikan ponselnya itu dan melemparkannya asal. Ia bukan orang yang pelit untuk memberi kata maaf, hanya saja ia sulit melupakan kejadian yang lalu-lalu. Nathan yang sudah terlanjur memusnahkan harapan akan perhatian ibu itu menjadi kagok saat semua tiba-tiba saja berubah. Ia merasa ibunya bahkan terlalu menutup diri akan semua masalahnya, kedekatan untuk mereka masih sangat jauh.

Setelah percakapan awal mereka, jujur dalam lubuk hati terdalam Nathan merasa begitu bahagia, tapi tak bisa di pungkirinya juga kalau kata-kata di sudut terkecil hatinya itu malah menolak dengan keras dengan alasan buruk. Bagaimana kalau masalah lain yang tak dipahami tiba-tiba timbul dan menyerang sang mama? Apakah nanti wanita paruh baya itu akan menjauhinya bertahun-tahun lagi?

Meninggalkan sedikit masalah yang berputar di otaknya, matanya yang sedikit memerah karena menangis tadi itu pun menjelajah ke seluruh ruangan. Nuansa gelap dengan dominan hitam putih membuat ruangan itu begitu dingin. Matanya beralih ke jendela yang terbuka, tubuh penasarannya pun bergerak mendekati sinar matahari masuk itu.

Tangannya meraba kaca tebal dengan pemandangan yang terasa begitu epik karena baru disadarinya kalau ia menempati bangunan yang terbilang cukup tinggi dari yang lain.

"Kau sudah bangun?"

Suara yang tertangkap telinga Nathan itu pun seketika membuatnya membalikkan tubuh. Max dengan tampilan sederhana, berkaos dan mengenakan celana pendek.

"Ku pikir kau akan melanjutkan tidur sampai keesokan hari," candaan itu rupanya tak sedikit pun membuat tawa. Max terlalu datar untuk orang saat ini mencoba basa-basi.

Mencoba menghargai, senyum tipis pun akhirnya coba dikeluarkan. Sungguh, sampai kapan ia akan jadi orang munafik seperti ini. Kenapa Nathan tak bisa mengucap lantang dengan ia yang berkata kalau dirinya tak suka dengan sang mama dan pria yang sejak awal terlihat meremehkannya itu?

"Maaf kalau membuat mu repot-repot menampungku di apartement mu ini," ucap Nathan sesopan mungkin. Kepalanya sekilas menunduk untuk memberikan gestur terima kasihnya. Nathan masih punya sopan santun, meski niat hati berencana ingin mencakar wajah menyebalkan yang menyeringai itu.

"Tak masalah, ku rasa kita sudah berteman di grup chat kan?" canda Max lagi-lagi membuat Nathan bertambah jengah. Ia paling tidak suka basa-basi, demi Tuhan.

"Bolehkan aku meminjam kamar mandi mu? Setelah itu aku akan langsung pergi, kau tenang saja!"

"Silahkan!"

Meninggalkan apartement milik Max, Nathan akhirnya kebingungan saat menyadari mobil nya masih tertinggal di klub malam itu. Menggaruk kepalanya yang tak gatal, ia pun berinisiatif memesan taksi. Alih-alih mengambil mobil ke tempat yang ditujunya semalam, Nathan malah menyuruh sang supir untuk mengantarkannya ke apartemen Rian. Ia butuh pelukan kekasih manjanya itu sekarang. Kembali ke rumah nampaknya menjadi pilihan terakhir Nathan untuk saat ini.

Menempuh perjalanan yang lumayan jauh, akhirnya Nathan bisa sampai di depan pintu sang kekasih. Mengetuk pintu beberapa kali hingga muncullah raut menggemaskan yang menatapnya girang. Secara otomatis tubuh mereka pun menempel dengan erat, Nathan tak pernah bosan memainkan rambut lembut sang kekasih yang kini jadi berantakan akibat ulahnya. Menyadari hal itu, Rian sekilas mengerucutkan bibir dan hal itu langsung ditangkap Nathan dengan mengajaknya berperang lidah.

"Kenapa kau yang berubah sangat bergairah, sih!" omel Rian setelah bibir mereka menjauh. Tangan kecil itu menariknya untuk memasuki ruangan. Nathan baru sadar kalau mereka baru saja berciuman di tempat terbuka tadi. Gila, bagaimana kalau ada yang memotret dan menyebarkannya?

"Tak biasanya jam segini kau tidak memakai jas mahal mu," sindir Rian sambil menatap Nathan menggoda. Lengan kecilnya tak berhenti untuk mengelus permukaan dada datar milik Nathan.

"Aku sedang libur, dan kau ada kesibukan apa sekarang?" balas Nathan sambil menoel pipi Rian. Nathan mengatakan hal itu karena ingin mengubah topik pembicaraan seputarnya saja.

"Kau menyindirku tak ada kerjaan, kan? Kau tak lihat kalau aku sedang memakai kostum bertempurku," ucap Rian sambil memutar badan. Nathan tertawa keras, Rian memang paling bisa memperbaiki suasana hatinya.

"Ya, warna merah muda dengan gambar bunga-bunga itu sangat cocok untuk orang seimut dirimu," balas Nathan sambil menatap apron Rian dengan geli.

"Kau memuji atau menyindirku seperti wanita, sih?" omel Rian dengan mencubit perut datar Nathan. Ya, Rian paling tak suka bila orang lain menganggapnya terlalu feminim, tapi secara kenyataan orang tak bakal menyangkal hal itu karena seperti itu lah pembawaannya.

Meninggalkannya sedikit menjauh, Rian kini terlihat sibuk di dapur dengan adonan di tangannya. Ia terlihat sangat berkonsentrasi dalam menguleni adonan yang dibuatnya itu. Nathan tak berniat mengganggu, karena hanya dengan menatap punggung sempit itu, ia merasa pemiliknya akan terus bisa mendampinginya dalam keadaan seperti apapun.

avataravatar
Next chapter