38 Penolakan Ilham untuk Lisa

Suhu bumi telah meningkat beberapa derajat. Meski begitu, banyak pejalan kaki yang masih bersemangat untuk sekedar melintasi deretan pertokoan. Trotoar yang dipasang paving itu juga cukup lebar dengan beberapa area duduk di beberapa kawasan. Angin yang berhembus kencang cukup membuat lega gerah badan. Daun kekuningan pun banyak yang melayang-layang tersapu hembusan.

Semua berjalan dengan iringan gandeng tangan. Semua menebar senyum dengan beberapa kata hiburan. Semua nampak bahagia di akhir pekan.

Namun sepertinya hal itu tak berpengaruh pada kedua orang itu. Sang pria yang berjalan cepat dengan cengkraman tangannya yang dipererat. Pandangannya sesekali menatap ke arah cafe miliknya yang memang dikelilingi kaca. Mengambil sudut lain agar tak nampak oleh pria mungilnya, Ilham pun menggiring wanita itu ke arah gang kecil di samping cafe miliknya. Pengap, sempit dan begitu gelap harusnya itu sudah cukup tersembunyi.

"Apa yang kau lakukan disini!" ucap Ilham dengan dengusan kasar. Tangan yang masih memegang lengan kurus wanita itu langsung dihempas dengan cepat. Wajahnya begitu menegang dengan kerlipan mata berulang, ia secara tiba-tiba teringat kesalahan yang diperbuat untuk wanita di hadapannya itu. Ia tak suka rasa ini, rasa ini seperti mengganggunya.

"Boss. Boss, aku-" ucap wanita itu dengan gagap. Pandangannya menunduk dengan rambut panjang hitamnya yang menutupi. Wajahnya begitu memerah dengan raut sedih, ia sama sekali tak terbayangkan akan berada di situasi yang begitu menegangkan dengan orang yang ia sukai.

Demi apa pun, Lisa sangat menyukai pria dengan perawakan sempurna dan pandangan teduhnya itu. Ia bahkan sudah jatuh hati dengan pria yang menginterviewnya kala dirinya mendapat panggilan kerja di cafe. Lisa yang baru lulus sekolah dari menengah atas itu pun seketika memaksimalkan semangat yang sempat meredup karena kekecewaannya tak bisa melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi. Ia jatuh hati dengan pembawaan Ilham yang begitu tenang dan karismatik. Lisa bahkan banyak berkhayal tentang kehidupannya yang akan bahagia di akhir penderitaan. Namun semua seperti sebuah tamparan keras yang mendorongnya kasar ke dunia nyata yang sungguh tak sesuai angan. Persetubuhan yang ia rasakan secara kasar, penolakan serta tindakan yang memaksanya menjadi wanita rendahan. Lisa sungguh sedih, dengan kehidupan awal yang memberi banyak beban. Semua bahagia seperti menolak untuk sekedar menempelnya sehari. Semua bertambah sakit dirasakan saat pria yang memberi senyum tulus di awal pertemuannya itu telah berubah kasar dan menatapnya penuh kebencian.

"Jangan panggil aku seperti itu, kau bukan karyawan ku lagi, kan?"

Ya benar, Lisa tak harus sakit hati dengan perkataan yang diucapkan penuh kekasaran itu. Ia tak berhak merasakan getaran kesal karena pada kenyataannya pria itu sudah membantu begitu banyak padanya.

"Oke-oke, Ilham. Begini, hiks... Apa aku bisa meminta bantuan mu sekali lagi?" ucap Lisa yang memberanikan diri untuk mengangkat pandangan. Air mata tanpa disadari sudah mengalir dengan begitu deras. Sudah terlambat untuk mengusapnya, Ilham sudah melihat itu. Mereka saling terdiam dan meneliti satu sama lain.

"Kau bisa mengirimi ku pesan, sekalian beritahu juga jumlah uang yang kau inginkan. Nomor ponsel ku masih sama," timpal Ilham lantas memalingkan tubuh bersiap pergi. Langkahnya bahkan sudah terangkat beberapa langkah hingga Lisa dengan cepat mencekal lengan milik Ilham.

"Sebentar, kau mengira aku wanita yang seperti apa?" tanya Lisa dengan suara sesegukan yang jelas terdengar. Kedua lengannya makin di pererat meski pria itu sama sekali tak ingin berbalik untuk menatapnya.

"Aku tidak punya waktu untuk sekedar menyeletukkan opini ku tentang mu!"

"Oh... Sial! Maafkan aku... pasti kau mengira aku adalah wanita putus asa yang menyerahkan tubuh ku meski sudah jelas kau menutup rapat pintu hatimu," ucap Lisa tanpa sadar mencurahkan isi hati yang sudah meluap ingin di salurkan. Kedua cekalannya pun lantas terlepas seiring Ilham yang membalikkan badan. Ilham menatap Lisa yang tengah menundukkan pandangannya itu dengan mata menyipit.

"Kau menyukaiku?" tanya Ilham tak yakin. Ia memang tak mengenal dekat sosok wanita tiga tahun di bawahnya itu. Tapi Ilham yakin jika Lisa sempat beberapa kali terdengar menjalin hubungan dengan rekan kerjanya, lantas sejak kapan wanita itu menaruh hati padanya?

"Jangan menampilkan raut seperti itu! Aku jelas tau apa yang ada di pikiranmu sekarang. Aku tak menyangkal, karena jelas itu kenyataannya. Tapi untuk kali ini aku datang bukan untuk meminta harta atau sekedar mengagumi dirimu," ucap Lisa setelah menormalkan wajahnya. Pandangannya terangkat dan sekali lagi dia berucap, "Pertama-tama aku ingin mengucapkan terimakasih atas bantuan uang mu yang sangat membantu keadaan terdesak ku. Aku akan membayarnya meski itu akan memakan waktu seumur hidupku. Tapi untuk kali ini aku sungguh memohon kepadamu untuk kedua kalinya, bantulah aku dengan datang ke sini," tambah Lisa sembari mengansurkan selembar alamat ke arah Ilham. Wajah Lisa masih penuh dengan air mata meski beberapa kali tangannya terangkat untuk mengusap. Ia juga tak tau, air matanya jatuh dengan sendiri.

"Rumah sakit? Jangan bilang kalau kau sedang-" tebak Ilham dengan rautnya yang seketika menegang, yang dibacanya adalah alamat rumah sakit. Bukan tak mungkin jika Lisa tak akan mengandung anaknya. Ilham memang saat itu di kuasai amarah, namun ia ingat dengan jelas keganasannya waktu itu. Ilham melakukannya beberapa kali dan menyembur nikmat di rahim Lisa. Tidak, itu tidak mungkin!

"Tidak. Itu tak akan mungkin terjadi, aku tidak hamil," potong Lisa dengan cepat, meski ia sendiri pun ragu dengan itu.

"Lantas? Kau sedang merencanakan apa lagi?" tanya Ilham dengan alis kanannya yang terangkat, ia menatap curiga ke sosok wanita yang mungkin saja bersikap licik sejak awal. Bisa saja, wanita dengan tampilan lugu itu berusaha menjerat pria sepertinya untuk sebuah harta, seperti yang dilakukannya kemarin.

"Hikss! Aku bukan wanita licik, mama ku sakit... hikss! Dia ingin bertemu orang yang berbaik hati dengan membantu biaya operasi. Hiksk! Jangan berpikir aku jahat, hikksss...." ucap Lisa dengan tangisnya yang lebih kencang. Ia sangat sakit hati dengan kata-kata Ilham itu. Ia seperti sudah mencap Lisa sebagai wanita yang penuh tipu muslihat.

"Sejak awal kau memohon padaku, kau sudah mendapat banyak keuntungan dari ku. Uang dan juga tubuh ku yang mungkin saja begitu kau dambakan. Aku tak akan percaya dengan wanita seperti mu. Barangkali ini adalah rencana lanjutan mu, meminta belas kasihan dan akan mengaku hamil?" ucap Ilham dengan tepat di depan telinga Lisa. Ilham pun lantas membalikkan tubuhnya dan benar-benar pergi dari hadapan wanita itu. Ia bukan pria yang jahat, namun Lisa terlalu mengambil banyak kemungkinan di hidupnya. Berusaha mendekat karena ternyata Lisa menyukainya. Memohon bantuan dengan pakan tubuh seolah tidak berharga. Lalu membuatnya berbelas kasihan dengan mengaku bahwa ibunya sakit? Tidak, itu terlalu kebetulan.

"Ilham! Aku butuh bantuan mu, ia ingin sekali bertemu dengan mu! Tolong aku, dia bahkan berucap dengan raut menyedihkan. Tolong aku, perasaan ku sungguh tak mengenakkan, aku takut, aku takut...." jerit Lisa tanpa peduli orang sekitar yang akan menatapnya aneh. Ia menatap punggung Ilham yang semakin menjauh, air mata sudah menggenang di wajahnya, ia sungguh takut dan merasa sedih di saat bersamaan.

Ilham berjalan tanpa keraguan meski suara Lisa cukup terdengar jelas ditelinganya. Memasuki cafe miliknya dan langsung menarik tubuh Rian untuk mengikuti langkahnya menuju lantai atas. Ia butuh Rian. Ia butuh Rian untuk membantu menghilangkan keresahan hatinya. Memeluk dan mencium bibir pria itu dengan rakus. Ya, itu obatnya.

Disisi lain, pria dengan kacamata hitamnya itu berbicara dengan seringai tanpa henti. Suara yang menanggapi dari ponsel itu membuatnya menjawab cepat dengan bersemangat.

"Keadaan disini rupanya begitu seru boss! Banyak perkhianatan serta cinta bercabang yang membuat mu pasti terpingkal-pingkal. Aku saja tak sabar menunggu ujung dari kekacauan ini!"

avataravatar
Next chapter