29 Nathan GAY?

Hari- hari dilalui Nathan dengan rasa ringan. Kekasihnya yang saat ini sudah tidak lagi menuntut tentang status mereka didepan umum membuat Nathan lega. Hubungan mereka akhir- akhir ini nampak sedikit berkualitas dengan obrolan masa kecil meski lagi- lagi diantara mereka terlihat menyensor kisah keluarga. Sedikit membuka cela, beberapa kali Rian sempat mengunjungi tempat kerjanya. Rian tak sekalipun bertanya tentang apa pun pada Nathan. Rian bahkan datang dengan beberapa pertimbangan dari Nathan yang tiba- tiba mengirimkan alamat kantornya. Secara jujur, Nathan ingin orang yang berpapasan dengan mereka menganggap bahwa mereka hanya sekedar kawan.

Namun kembali lagi, dalam hati mereka pun selalu berusaha mensugesti bahwa hubungan mereka tak perlu terburu- buru untuk mengumbar jati diri. Nathan akan tetap menjadi dirinya yang digilai Rian dan juga sebaliknya. Mereka mulai banyak berdiskusi, kisah tidak normal yang mereka jalani memang disadari tidak akan pernah bisa berkembang seperti hubungan yang lain. Tanpa sadar mereka mulai saling menguatkan dibalik permasalahan yang bahkan saling ditutupi. Mereka sudah mulai menginjak level saling mendukung, itu jauh lebih baik dari dulu yang hanya seperti dua makhluk haus bercinta. Nathan dan Rian bahkan lebih banyak membuat lelucon yang berakhir dengan mereka yang tertawa terbahak- bahak, hubungan mereka terbilang lebih dekat saat ini.

Nathan sudah tidak lagi dingin, ia berusaha bersikap santai saat melakukan hal- hal romantis seperti mengelus pipi atau menyandarkan kepala Rian di dadanya. Itu memang hal sederhana yang dari dulu begitu gengsi jika dilakukan Nathan.

Hari- harinya semakin baik, terkecuali hubungannya dengan sang mama. Wanita paruh baya itu sudah seperti enggan berada di sekitarnya. Nathan tak tau salahnya dimana, setiap kali ia berniat ingin sekedar mengucapkan sepatah kata basa- basi, wanita yang tak lain ibu kandungnya itu langsung mencari beribu alasan untuk pergi menghindar. Sepengetahuannya, Mama Nathan akhir- akhir ini terlihat sibuk dengan ponselnya. Raut wanita itu bahkan nampak selalu berkerut seolah memikirkan banyak hal, dan lagi- lagi Nathan tak pernah tau hal apa itu.

Hubungannya dengan sang mama memang tak seluwes hubungannya dengan sang papa. Meski Nathan begitu kecewa dengan keputusan perceraian dari orangtuanya, setidaknya papanya itu masih sering menghubunginya akhir- akhir ini. Ya... Nathan seolah mengesampingkan perasaan sang mama yang beberapa waktu lalu sempat begitu terguncang karena perceraiannya. Nathan bukan membedakan kasih sayang, ia hanya berusaha membalas setimpal kasih sayang dan perhatian yang diberikan masing- masing dari mereka, ia masih terlalu kekanak- kanakan. Dan salah satu orang yang membuatnya kecewa adalah paman Hardi. Pria paruh baya itu nampaknya sudah tak mempedulikannya lagi semenjak hari perceraian itu. Sejujurnya ia memang tak berhak untuk kecewa secara berlebihan kepada orang yang sejak kecil menemaninya, hanya saja ikatan rasa rindu selalu hadir jika mengingat sifatnya yang seolah malaikat pelindung itu.

Pukul lima sore, Nathan bersiap mengemasi barang- barangnya untuk segera pulang. Beberapa urusan kantor yang cukup mudah ditangani membuat pikiran Nathan tak terlalu terbebani. Ia bersiap melenggang pergi dari ruangannya dan bersiap merealisasikan imaginasi yang sedari tadi dibentuk. Memasak beberapa menu mewah dengan meja kecil di lengkapi lilin ditengahnya. Alunan musik instrumental yang menambah kesan romantis. Bercerita dan tertawa ringan dengan diakhiri pelukan mesra diranjang. Nathan yang memeluk Rian dari belakang dengan satu lengan yang dijadikan tumpuan kekasihnya, sedetail itu bayangan Nathan.

Langkah panjangnya menapak dengan terburu- buru. Raut bahagia tak lepas dari wajahnya yang dihiasi poni panjang hampir mengenai area mata. Seluruh pasang mata yang melihatnya pun sontak membungkukkan badan dan tak sedikit dari mereka akan terpekik girang saat mendapat balasan senyum dari pria sekaku Nathan.

Suasana hatinya dibuat sebaik mungkin hari ini. Ia tak ingin memikirkan orang- orang yang membuatnya kecewa, hanya Rian, setidaknya kekasihnya itu bisa membawa kebahagian tersendiri untuknya.

Mobil melaju kencang membawanya menuju tempat sang kekasih. Ia menyetir mobilnya sendiri karena memang sopirnya yang dulu ditugaskan untuk mengurus rumah lama. Lagipula saat ini Nathan belajar untuk tak tergantung pada pemberian sang papa, meski tak bisa dipungkiri jika semua yang melekat didirinya adalah hasil kerja keras papanya itu.

" Cukup! aku tau kau bohong kan? Leluconmu ini sama sekali tak membuatku tertarik,"

Kata- kata itu adalah sambutan saat Nathan membuka pintu apartement milik Rian. Niat untuk memberi kejutan dengan membawa seikat bunga nyatanya malah membuatnya terpaku ditempat. Rian nampak sedang tidak baik- baik saja saat pendengaran Nathan menangkap isakan sedih dari pria mungilnya itu. Ia tak berani bertanya persoalan yang sepertinya begitu pribadi. Dengan memberanikan diri Nathan pun perlahan mendekat.

" Jangan bersedih, aku tak ingin membuat bibir itu mencebik karena kau sedang menahan rasa sakit. Aku kekasihmu, aku hanya bisa mengizinkan bibir itu untuk tertawa lebar. Maaf jika selama ini aku begitu egois, tapi untuk hari ini... maukah kau ku hibur? jalan- jalan mungkin?"

Max merasa begitu aneh belakangan ini. Rindu yang sudah begitu memuncak seperti tak bisa lagi untuk ditahan. Max bahkan tak pernah membayangkan akan adanya cinta saat pandangan dari Nathan begitu tak menyambut baik. Max menyadari jika dirinya adalah pria aneh, cinta pada pandangan pertama seperti tak bisa ia percaya apalagi itu untuk seorang pria, Nathan.

Cup

" Kau sibuk membayangkan apa?"

" Jangan ganggu aku! kau tidurlah!"

Lea mengerucutkan bibir merasa kesal dengan abainya Max. Wanita yang dibalut baju tidur terusan yang begitu tipis itu nyatanya tak membuat Max sedikitpun tertarik. Sudah beberapa bulan mereka ada dalam satu ruangan intim, Lea cukup heran jika setiap godaan yang direncanakannya sama sekali tak berhasil. Lea bahkan mulai merasa tak percaya diri dengan bentuk tubuhnya yang selalu dipuja kaum adam.

" Aku menunggumu, kita bisa tidur bersama," bisik Lea dengan sensual, nyatanya wanita itu begitu merasa bergairah dengan pria yang begitu cuek seperti Max.

" Ya... kau bisa tidur dulu nanti aku menyusul. Lagipula lihatlah dirimu ini, pakaian yang begitu memperlihatkan setiap lekuk tubuh. Bahkan angin saja terlihat berlomba- lomba memasukimu," Max berkata tegas. Lea menangkapnya seperti omelan bentuk perhatian. Saat ini mereka memang sedang mendudukkan diri di sofa balkon.

" Hemm... bahkan angin saja berlomba- lomba untuk memasuki ku, bagaimana dengan mu?"

Lea seperti menyalah artikan perhatian Max yang murni sebagai seorang teman. Ia pun melirik tajam senyum malu- malu dari wanita dengan rambut dicepol asal itu.

" Kau itu bodoh ya!"

Max pun bangkit dari duduknya dan melenggang dengan langkah lebar. Sepertinya ia harus bisa menjaga sikap pada wanita yang masih linglung dengan perasaannya sendiri atau Lea malah semakin terseret pada ketidakpastian Max. Teriakan protes dari Lea sama sekali tak dipedulikan, langkahnya bahkan semakin gesit untuk menghindar saat Lea berniat untuk lompat ke punggung lebarnya. Mereka masih saling kejar- kejaran dengan Lea yang sesekali mencoba memegang kedua bahu belakangnya.

Drrttt

Bunyi dering ponsel milik Max membuatnya membalikkan badan berniat menghampiri nakas tempat ponselnya berada. Namun belum sampai langkahnya yang pertama, Lea sudah mengambil kesempatan dengan merangkul pinggangnya erat. Kepala Lea pun bersandar di dadanya.

" Lepas! ponselku berbunyi,"

" Tidak! aku nyaman seperti ini Max,"

Lea mendongakkan kepala sesaat dan menyungging senyum dengan lebar. Kaki jenjang Lea seperti tak ingin diam dengan terus mengajaknya bergerak seolah menikmati pelukan.

" Aku tak ingin marah malam- malam begini, jadi menurutlah sesekali!"

Max melepas tangan yang membelitnya itu tanpa mempedulikan rengutan tak rela dari Lea. Wanita yang sudah menyerah itupun kini menghempaskan tubuhnya ke ranjang yang ditempatinya dengan Max. Saat pandangan mereka tak sengaja bertemu, Lea masih saja berniat menggoda dengan kedipan nakal dan bibir mengkerut mengirimkan cium jauh.

Max yang menatap Lea pun hanya bisa menggelengkan kepala, wanita itu nyatanya masih se bar- bar waktu mereka sma. Max kini berusaha memfokuskan pandangannya pada ponsel yang terdapat beberapa pesan masuk. Mengecek beberapa yang penting, hingga ia pun mengetuk layar tepat pada pesan yang dikirimkan suruhannya beberapa waktu lalu. Pria dengan rahang tegas itu kini mengeratkan gigi menahan emosi. Ia seperti menatap tak percaya dengan penampakan foto Nathan yang sedang berciuman mesra dengan pria pendek di sebuah taman. Jadi, selama ini Nathan memang gay?

Sudah dipastikan, besok Max akan kembali ke tempat asalnya.

avataravatar
Next chapter