28 Moment?

Langit kota perlahan mulai menunjukkan awan hitam. Pergantian musim yang masih belum stabil membuat banyak pejalan kaki tak mempersiapkan diri dengan membawa alat pelindung hujan. Cuaca yang awalnya begitu benderang dan secara tiba- tiba menjadi berbanding terbalik itupun tak pelak membuat decak kesal dari beberapa orang. Awan yang mulai bergerak memeratakan petang itu pun akhirnya meruntuhkan rintik hujan yang langsung menyerbu bumi dengan cepat. Aroma debu yang terpapar panasnya musim kemarau dan sedikit demi- sedikit berbaur dengan air dari langit itupun menyeruakkan aroma khas, musim penghujan telah dimulai.

Banyak tubuh- tubuh yang sedang bergumul di perlindungan selimut dan mendengarkan deru air yang mulai deras. Banyak ingatan- ingatan yang perlahan mulai datang mengingatkan tanpa pernah disadari. Banyak tubuh yang secara tiba- tiba merindu meski tak pernah ada batasan untuk bertemu. Banyak tubuh- tubuh yang seperti menderu ingin menyatu. Hujan bahkan terlalu romantis untuk dua orang yang saling menatap dengan terpaku.

Pukul empat sore, Nathan menatap hujan yang sudah begitu lama tak mengunjungi kota kelahirannya itu. Mata yang menatap dari gedung kaca membuatnya betah berlama- lama. Hujan secara tiba- tiba mengingatkannya tentang rasa penantian yang akan selalu menemui ujungnya.

Dan bayangan kilas tentang beberapa hari terakhir itupun membuatnya merasa jika ia masih belum bisa memberikan ujung pengharapan seperti hujan. Ia masih tak sanggup jika harus berperan seperti hujan yang mengorbankan segalanya ke bumi. Ia bahkan seperti tak punya apa- apa untuk dipertaruhkan.

Sebuah lengan memeluknya dari belakang, Nathan sedikit terkejut dengan itu. Jari lentik yang meraba tubuh bagian atasnya memberikan efek berlebihan pada tubuh. Gerakan luwes yang memutar kesekitaran dada membuatnya merancang beberapa adegan gila di bayangannya. Ia mendesis lirih dan mendongakkan wajah menikmati belaian itu hingga sebuah gigitan di bahu, membuat kelanjutan bayangan erotis itu seketika buyar.

" Jangan menggodaku seperti itu sayang,"

Nathan membalikkan badan, jempol dan telunjuknya itupun mengapit dagu Rian yang memandangnya dengan mendongak. Pria mungil itu tak berhenti mengulas senyum seringai, seolah mengejeknya yang gagal berencana mesum. Tangan kecilnya menyingkirkan japitan tangan Nathan di dagunya. Mencoba membalikkan keadaan, kedua lengan Rian pun menjerat belakang leher Nathan untuk lebih mendekatkan mereka.

" Itu hukuman. Kau tahu, aku begitu cemburu saat seluruh pegawai wanita menatapmu dengan kelaparan. Mereka bahkan menggunakan trik lama untuk sekedar bertatapan denganmu, pura- pura menjatuhkan barang tepat di depanmu sampai- sampai kau harus membantu wanita dengan rok yang hampir menampilkan pantatnya. Aku ingin tau lagi trik- trik lain yang mereka gunakan untuk menggoda boss mereka, ayo katakan!"

Rian berucap begitu lirih, penuh dengan nada posesif yang membuat Nathan tak bisa menahan senyum.

" Tidak banyak, dia hanya mengelus perlahan pahaku. Mau bagaimana lagi, aku seorang pria... tak mungkin kan jika aku menjerit di tengah rapat penting hanya karena itu?"

Elusan Rian dibelakang leher Nathan tiba- tiba terhenti. Fokusnya yang ingin menggoda jadi berantakan, Rian terjebak sendiri dengan pertanyaannya. Bibirnya pun mengerucut kesal.

" Gila! Siapa wanita itu, biar ku beri pelajaran dia!"

Rian dikuasai emosi, ia memukul dada Nathan dengan keras. Rian merasa kecolongan, Nathan tak boleh dekat dengan wanita, Rian merasa kekasihnya itu masih bingung dengan orientasinya sendiri. Ia tak ingin perjuangannya hancur hanya karena datangnya pihak ke tiga.

" Hei- hei... tenangkan dirimu. Hal seperti itu tak akan mempengaruhi hatiku yang sudah tersemat namamu,"

Nathan mencoba menenangkan Rian yang mulai memelototinya dengan tajam. Nathan salah ambil bicara, awalnya ia hanya berniat bercanda, tapi nyatanya kekasihnya itu masihlah orang yang begitu posesif.

" Katakan siapa dia. Orang yang berani mengusik kekasihku harus diberi pelajaran,"

Rian pun mulai melepaskan tangan yang menggenggamnya erat. Ia begitu emosi hingga mungkin saat langkahnya menginjak keluar ruangan ia akan menyerang setiap wanita yang ditemui. Ia mengingat banyak wanita yang hampir yang keseluruhan menatap dengan memuja ke arah kekasihnya, Rian sampai beranggapan bahwa semua wanita di gedung ini mengambil andil atas kecemburuannya yang kian memuncak.

" Aku bercanda. Maaf, aku hanya menguji tingkat keposesifanmu saja. Aku sudah bisa menyimpulkan, kau masihlah kekasihku yang menggemaskan jika terbakar cemburu,"

Nathan mencegah Rian pergi dengan memeluk tubuh kekasihnya dari belakang. Senyum Nathan makin mengembang kala Rian memberontak ingin dilepaskan.

" Lepas!"

" Apasih Max... aku hanya memelukmu saja kok!"

Ditempat berbeda, suasana yang juga jauh berbeda. Max menatap hamparan laut hanya melalui balkon hotel yang ditempatinya. Ia sama sekali tak berminat jika harus menyia- nyiakan waktu kerjanya hanya untuk berjalan- jalan tak jelas. Ia berusaha mempersingkat waktu agar cepat kembali ke tempat asalnya, namun lagi- lagi ia merasa jengkel saat matanya terbuka dan tanggal seolah tak beralih, ia ingin cepat- cepat mengganggu hidup Nathan.

Kesepian dan rasa lelah seolah tersingkir saat wanita yang sialnya adalah kawannya itu tersenyum dan dengan santai melambaikan tangan ke arahnya. Daripada rasa lelah dan kesepian, dominasi perasaannya kini adalah risih sampai ingin marah. Bagaimana tidak, Lea seolah hadir hanya ingin memperlambat kerjanya. Ia selalu memaksa ditemani kesana- kemari dan Max tak bisa berbuat apa- apa kala Lea selalu mengancam ingin melapor ke sang Mama. Lea memang wanita yang begitu nekat sampai keinginannya bisa terwujud.

" Disini aku kerja, kalau kau ingin jalan- jalan... jangan pernah libatkan aku!"

" Eiits! Jangan dilepas. Aku rindu denganmu tau..."

Lea seolah tak mempedulikan ketidaknyamanan Max yang dipeluk secara paksa seperti itu. Max yang ingin melepaskan cengkraman wanita dari belakang itu pun sampai harus menyerah karena Lea merengek manja. Max tak ingin keributan, dia pun hanya diam, lagipula Lea selalu jadi pemenang saat mereka berdebat.

" Suasana indah seperti ini harusnya kita keluar, tapi aku tak tau dengan pemikiran orang sepertimu. Kau seperti lebih memilih menikmati keindahan dengan sembunyi- sembunyi, tidak ada klimaxnya tau!"

Lea berbicara dibalik punggung lebar Max. Wajah cantik tanpa riasan itu sesekali diusap- usapkan ke kaos putih Max menghirup aroma jantan yang dari dulu membuatnya candu.

" Aku tidak butuh kesimpulan dari apa yang kau analisis tentangku,"

" Huh! Dingin sekali pria yang ku peluk ini,"

Lea yang merasa begitu bosan itu pun berniat menciptakan kesenangan sendiri. Tangan yang membelit Max dari belakang itu ia lepas. Lea memundurkan langkah lalu memincingkan sebelah mata berniat mengukur jarak. Tangannya dikibas- kibaskan dengan melompat- lompat kecil untuk pemanasan. Senyum manis bibir wanita yang memiliki tahi lalat kecil di sudut bibir atasnya itu pun berlari dengan kaki telanjangnya dan melompat ke gendongan belakang Max.

Max ingin memarahi wanita yang sekarang tertawa dengan lebarnya itu, untung saja ia hanya merasa kaget, bagaimana jika tumpuan berdirinya tadi tak kuat?

" Begini baru seru... aku tak akan memaksamu berkeliling di sekitaran pantai lagi, asalkan aku digendonganmu dengan dilengkapi pemandangan indah dari jauh. Akhh... begini saja romantis sekali, satu atau dua foto kurasa kau tak akan keberatan,"

avataravatar
Next chapter