7 Kebingungan Nathan

Pagi itu Nathan terbangun karena bunyi ketukan pintu di kamarnya. Sedikit merenggangkan tubuhnya hingga bunyi patahan tulang begitu sangat melegakan tubuh kaku. Mulutnya masih sibuk menguap dan berusaha memaksakan kaki untuk berjalan menuju pintu.

Setelah pembatas kayu tersebut di buka, Nathan seketika terkesiap. Ia sempat mengira kalau yang mengetuk pintu adalah bik sum, karena biasanya wanita paruh baya itu akan menanyakan kebutuhannya di pagi hari. Tapi dalam pikiran terdangkalnya pun ia tak pernah menyangka kalau mamanya lah yang ingin menemui.

"Selamat pagi sayang, mama boleh masuk?" angguk Nathan dengan memberi jalan wanita paruh baya itu untuk masuk. Tangannya menggaruk kepala yang tak gatal, pasalnya hal seperti ini jarang terjadi. Mama Nathan itu bahkan jarang sekali mengajaknya bicara, ia merasa aneh sekarang.

"Kenapa kau terdiam di sana? Duduk di samping mama, sini!"

Senyum mama Nathan sambil menepuk tempat di sampingnya, mengkodenya untuk cepat menghampiri.

Melangkah canggung, Nathan akhirnya menduduki ranjang tepat di samping sang mama. Mereka sama-sama terdiam untuk beberapa saat, bahkan suara detik dari jam dindingnya itu menandakan kebisuan mereka.

" Mama belum sempat mengobrol dengan mu setelah kepulangan mu belajar di New York."

Ucapan itu seketika membuat Nathan menoleh kearah sang mama, matanya memincing tajam saat ia sama sekali tak memahami maksud wanita itu. Bukankah mereka dari dulu memang sedingin itu? Bahkan untuk saat ini, Nathan merasa begitu ganjil saat tiba-tiba saja mamanya membuka suara dan begitu merepotkan diri untuk menghampiri Nathan.

"Disana pasti begitu menyenangkan. Hidup mandiri di kota besar seperti itu pasti membuat hidup mu begitu bebas, benar?"

"Ya... Sangat menyenangkan."

Cukup sudah. Nathan menyerah. Ia sama sekali tak bisa meraba maksud sang mama. Awalnya ia mengira mamanya itu ingin mengakrabkan diri setelah sekian lama, tapi pemikiran itu seketika saja musnah saat matanya menangkap seringai meremehkan dari wanita itu.

Nathan sedang tidak berburuk sangka, hubungan pribadi dengan wanita yang melahirkannya itu memang terasa aneh sejak awal. Dulu Nathan pasti sangat merasa sedih saat pandangan dingin itu menatapnya, tapi semakin beranjak dewasa, dirinya menyadari kalau memang ada hal besar yang disembunyikan orangtuanya itu.

"Bagus, mama juga ikut bahagia kalau begitu," ucapan itu seperti tidak tepat di ucapkan dengan wajah datar dan tanpa sekalipun menatap Nathan, anaknya. Gelagat Rara begitu terasa aneh saat ini, tangan yang sedikit pucat itu terlihat meremat satu sama lain.

"Sebenarnya ada apa? Tak biasanya mama menemuiku secara pribadi seperti ini," tanya Nathan berusaha bicara sehalus mungkin. Ia bukan anak durhaka yang akan membalas perlakuan abai sang ibu. Meski bayang-bayang saat ia sendiri di negara orang tanpa sedikit pun wanita itu sekedar menanyakan kabarnya. Papanya lah yang secara rutin mengontrol emosi Nathan itu dengan membuat kebohongan jika sang mama sedang sibuk atau yang lainnya. Hanya seperti itu, Nathan bukan anak kecil lagi yang bisa di bohongi.

"Kenapa berbicara seperti itu? Seperti kau nampak terheran-heran hanya karena kita mengobrol seperti ini."

"Tidak, aku hanya merasa aneh. Kenapa mama baru sekarang bisa melihat kehadiranku?"

Pandangan Rara pun sontak saja menoleh kearah Nathan. Mereka saling menatap dalam tanpa sadar rindu itu seperti tersalur kan. Entah siapa yang memulai, tubuh keduanya pun kini saling berpelukan erat dengan isakkan kecil di bibir mereka. Sungguh, anak dan ibu yang dulu mempunyai hubungan yang dingin seketika terasa hangat.

"Aku ibu yang buruk, harusnya aku tak melibatkan anakku dalam hubungan yang rumit seperti ini. Harusnya dari dulu aku tak mendahulukan keegoisanku."

Suara Rara terdengar terbata-bata seiring dengan tangisnya yang bertambah kencang. Nathan tak mengerti, begitu banyak kebohongan yang dibuat untuknya. Yang bisa ia lakukan saat ini hanya mengelus punggung orang yang melahirkannya itu dengan lembut, berusaha menenangkan.

"Aku tak mengerti yang sebenarnya terjadi, ma! Tapi kenapa selama ini kau mendiami ku?"

Melepas pelukannya, tangan Nathan pun terangkat untuk mengusap air mata sang ibu.

"Sudah ku duga, kau belum melihatnya. Tapi dengarkan aku sekarang! Kau mau percaya atau tidak, kenyataannya mama sangat menyayangimu."

"Kau mengabaikanku sejak lama, bukti apa yang bisa ku pegang saat Mama bilang menyayangiku?"

Sangkal Nathan dengan gigi yang bergemelutuk geram. Tangannya menghempas milik Rara yang menggenggamnya erat.

"Masa depanmu akan cerah, itu bukti cinta mama. Sangat sulit untuk mengabaikan anak selama bertahun-tahun, tapi keinginanku untuk tak meninggalkan bekas kesedihan di wajah mu setelah perpisahan kita, itu sudah cukup."

Setelah drama yang di buat oleh Rara, Nathan pun kini semakin menerka-nerka apa yang sebenarnya terjadi.

Pria itu belakangan hari ini pun menjadi canggung saat ibunya itu memberikan perhatian kecil seperti memberinya bekal untuk makan siang, dan mengecup pipinya setelah Nathan menjabat tangan sang ibu.

"Apa yang sebenarnya terjadi, segala nya langsung berubah dengan aku yang selalu di permainkan di keluarga ini. Ada masalah apa sampai-sampai papa pun terlalu sering ke luar negeri?"

Mencoba menghilangkan kemelut pikiran yang mengganggu, Nathan pun mengajak keempat kawannya itu untuk pergi minum-minum di klub malam. Mereka memesan meja dengan beberapa botol alkohol yang cukup tinggi kadarnya.

"Kenapa tiba-tiba kau mengajak mabuk-mabukkan, apa ada masalah?" tanya Tommy saat dirinya baru saja sampai. Tangannya menepuk-nepuk bahu Nathan saat pria itu sedang asik minum.

Nathan tak menanggapi pertanyaan itu, keempat kawannya pun saling memberi kode tak mengerti. Pasalnya Nathan bukan tipe orang yang suka minum terlalu banyak dan membuatnya berakhir mabuk.

"Maaf, telat! Kalian sudah lama, ya?" Sebuah suara bariton itu secara tiba-tiba menarik perhatian Nathan. Ia yang semula ingin minum pun akhirnya hanya berhenti dengan gelas tepat di depan mulutnya.

"Kenapa kau disini?" ucap Nathan dengan suara keras. Nampaknya kawan-kawannya baru menyadari kalau sebagian dari botol itu telah habis, Nathan mabuk.

"Hei, tenangkan dirimu kawan," cegah Aki saat Nathan mulai menaruh gelas dengan kasar. Tangannya itu memegangi tubuh Nathan yang memaksakan diri untuk berdiri. Tubuh sempoyongan itu bahkan mulai menunjuk- nunjuk pria di depannya yang ternyata adalah Max.

"Siapa suruh kau boleh dekat-dekat denganku muka datar?!" hardik Nathan dengan suara yang sedikit tak jelas. Sesekali ia sesegukan, dengan wajah yang menatap kurang fokus.

"Tak ada yang salah dengan kehadiran Max disini, bukannya ia kawan mu juga? Jadi ku masukkan saja dia dalam grup chat kita."

"Dia bukan temanku! Punya rencana untuk mempunyai teman sepertinya pun aku tidak pernah terbesit."

Kata itu adalah kalimat penutup, karena setelah itu Nathan tiba-tiba saja terjatuh ke sofa meski tangan Aki memeganginya. Aki terlalu kecil itu bisa menahan beban seberat Nathan.

"Ah, biarkan aku yang mengurusnya. Kalian bersenang-senanglah," ucap Mike dengan senyumnya yang sangat ramah.

Memapah Nathan yang tak sadar untuk keluar dari tempat bising. Tubuh Nathan terasa sangat ringan hingga desakan untuk menggendong pria itu semakin menderu. Hanya saja ini di depan umum, Max tak ingin membuat orang-orang menatap heboh kedekatan dari sesama pria.

Dan akhirnya pun Nathan tertidur di mobil Max. Sesekali bibirnya itu meracau tak jelas, dan entah kenapa Max jadi gemas sendiri melihatnya.

"Ma... Kenapa baru memperdulikan ku sekarang?" racauan Nathan tiba-tiba saja membuat Max mengernyitkan dahi. Pria yang selalu menampilkan dirinya sangat rapi itu tak memahami maksud Nathan.

avataravatar
Next chapter