30 Diantara

Matahari masih memunculkan sedikit sinarnya. Hawa dingin di pagi hari membuat sebagian besar orang semakin mempererat selimut tebal mereka. Berpelukan dengan orang terkasih sembari mengulas senyum menikmati moment, sampai- sampai tubuh enggan untuk bangkit dan melepaskan kehangatan tubuh sang lawan. Menyerap hawa romantis dengan kecupan- kecupan ringan berusaha membangun semangat menghadapi hari.

Tak seperti keadaan di ruangan milik Ilham. Pria yang bahkan hanya berbalut celana pendek dan duduk di dinginnya lantai keramik dengan pemandangan berantakan, serakan pakaian yang mengelilinginya.

Ilham tak percaya dengan apa yang dilakukannya beberapa waktu lalu. Tangannya begitu gemetar mengingat sentuhan- sentuhan kurang ajarnya pada wanita yang kini terlihat menelungkupkan tubuh di sofa ruang kerjanya. Ia merasa begitu kurang ajar saat melampiaskan emosi pada gadis yang baru saja berlutut dan memohon pertolongannya. Ia seperti pria hidung belang yang begitu laknat saat memanfaatkan ketidakberdayaan wanita yang sudah dirusaknya ini.

" Apa yang sudah kulakukan, Ya Tuhan."

Ilham menyunggar rambutnya dengan genggaman erat hingga kulit kepalanya seperti tertarik. Ia begitu menyesali setiap kata- kata kasar hingga tindakannya yang membuat Ilham menatap pandangan wanita yang menatapnya begitu kecewa di sepanjang permainan yang memang tak dikehendaki keduanya.

" Eunghh... boss!"

Mata Ilham yang sudah memerah itupun mengalihkan pandangannya pada sosok wanita yang masih berusaha mendudukkan diri meski ringisan sakit sempat diperhatikannya. Wanita telanjang yang hanya ditutupi dengan jaket milik Ilham, selebihnya Ilham masih dengan jelas bisa melihat jelas kulit pucat wanita itu. Rasa menyesal lagi- lagi menghampirinya, Ilham seperti merenggut seluruhnya dari wanita itu saat beberapa bekas kemerahan memenuhi tubuhnya.

" Maaf! sebenarnya bukan maksudku untuk melakukan hal ini. Kau tau... kadang- kadang emosi bisa membuat keadaan jadi tak terkendali."

Ilham berusaha menampilkan wajah baik- baik saja. Tapi rupanya wanita itu lebih mengetahui kenyataannya, pria itu begitu menyesal dengan malam percintaan mereka. Ya... Lisa tak menutup mata jika ia tau sang boss adalah seorang gay yang terlihat begitu memuja kekasih hatinya itu. Rasa sakit tubuh serta jiwa tak sebanding dengan penyesalannya yang justru terjerumus oleh seks bebas. Lisa gadis pintar meski pendidikannya hanya terhenti sampai jenjang menengah atas, tapi entah mengapa kata- kata yang dirancangnya beberapa waktu lalu malah membuat sang boss mengarah ke hal ini. Pasti pria yang dicintainya dari lama itu menganggapnya wanita murahan yang bisa dipakai kapan pun.

" Ah iya... nanti kau bisa menghubungiku lagi, kirimkan jumlah uang yang kau butuhkan. Kau bisa pulang sekarang."

Ilham yang tadi mendudukkan diri di lantai itu pun berucap cepat dan melenggang pergi begitu saja. Bantingan pintu menuju kamar mandi seiring dengan tetesan air mata Lisa, wanita itu seperti diperlakukan sebagai pelacur. Ia tak bisa menahan rasa sakitnya hingga membuatnya menangis tersedu. Lisa tak peduli jika pun Ilham mendengarnya, nyatanya Lisa memang begitu sakit hati meski sejak awal hatinya sudah memperingati.

Dengan menguatkan diri, Lisa pun melangkah tertatih mengambil pakaiannya yang sudah berserakan. Bagian intimnya yang terasa begitu sakit membuat ia kesusahan untuk memakai celana jins dan berakhir dengan ia yang terjatuh. Tangisnya bertambah keras, ia sampai harus melampiaskannya dengan memukul- mukul lantai.

" Lisa bodoh! Kau bodoh sekali... hiks!"

Berjalan keluar dengan langkah tertatih dan bekas air mata yang memperburuk keadaan. Beberapa orang yang berpapasan dengannya menatap dengan penuh rasa kasihan, sedangkan Lisa sudah tak memperdulikan lagi. Tangannya bersembunyi di jaket sang boss yang dipinjamnya tanpa izin. Jika dalam khayalan mungkin Lisa akan berjingkrak girang saat jaket yang penuh aroma dari pujaan hati itu melingkupnya. Dan memang itu hanya sebuah khayalan saat keadaan asli begitu terasa menyakitkan.

" Tidak apa. Dengan uang sebesar itu memang harus ada timbal balik yang setimpal. Lagipula ini demi mama, ya... pasti tidak apa."

Bunyi pesan masuk membuat keterdiaman Ilham terganggu. Matanya menatap sekilas pada ponsel dan langsung membuatnya tertarik. Ilham membukanya dengan cepat dan langsung mengirimkan uang lebih banyak dari yang diminta oleh Lisa.

Ilham tak menutupi kenyataan, rasa bersalah yang lebih mendominasi dari semua adalah rasa bersalahnya untuk Rian. Ia seperti menjadi penghianat meski hubungan mereka masih tak pasti. Disisi lain dari Ilham pun malah mencemoohnya dengan makian kasar, meski telinganya mendengar jelas tangis tersedu- sedu dari Lisa, tak mengesampingkan kenyataan jika Rian masih yang terpenting.

Begitupun Rian, pria mungil yang sesaat lalu menerima panggilan dari Ilham yang mengatakan jika dirinya telah melakukan hubungan intim untuk pertama kalinya dengan seorang wanita. Ia sungguh tak percaya dengan kata- kata Ilham yang tiba- tiba. Ia jelas marah saat disisi yang sama mereka sering melakukan hubungan intim. Rian tak sepenuhnya membenarkan kemarahannya itu, ia juga tak berhak untuk mengikat Nathan dan Ilham dalam satu waktu. Ia memang terlalu egois saat rasa yang begitu ia butuhkan ada diantara dua pria itu. Nathan yang begitu ia cintai dan Ilham yang ia butuhkan. Ia seperti sulit untuk mengabaikan salah satu.

" Jangan bersedih, aku tak ingin membuat bibir itu mencebik karena kau sedang menahan rasa sakit. Aku kekasihmu, aku hanya bisa mengizinkan bibir itu itu tertawa lebar. Maaf jika selama ini aku begitu egois, tapi untuk hari ini... maukah kau ku hibur? jalan- jalan mungkin?"

Ya... setidaknya hubungannya dengan Nathan yang sama sekali tak melibatkan hal pribadi itu membuatnya sedikit bernafas lega. Kadang menjadi orang yang tak tau apa- apa dan bersikap tak peduli sangat menguntungkan.

Rasa kesepian yang sejak awal melingkup Rian membuatnya menjadi sosok egois. Raut wajah yang mulanya tegang itupun seketika berubah menjadi ceria. Sikap menahan dan menyembunyikan rasa ingin tau selalu menjadi poin mereka berdua, bahkan tanpa mereka sadari hal itu sudah berjalan sejak awal.

Mereka berjalan dengan iringan langkah pelan. Melewati beberapa pejalan kaki yang menatap mereka penuh minat. Untuk pertama kalinya Nathan memulai hal yang begitu romantis. Tangan yang menggenggamnya erat meski Rian tau jika pria itu berusaha menebalkan wajah. Sepanjang perjalanan Rian sesekali menengadahkan wajah menatap kakunya wajah Nathan. Rian yang awalnya dibuat kecewa dengan Ilham seketika terobati oleh Nathan yang bersikap manis. Rian tau jika Nathan tak ingin melihatnya sedih. Pria yang begitu menghindari tereksposnya hubungan mereka itu bahkan sampai harus berkorban untuk melihatnya sedikit bahagia.

Langkah mereka kini terhenti, Rian mengajak Nathan untuk mendudukkan diri di bangku taman. Suasana yang terbilang cukup ramai membuat Nathan sedikit menggeser tempatnya menjauh, dan hal itu tak luput dari pandangan Rian.

" Jangan canggung seperti itu, kau terlihat lebih menggemaskan dari pada aku, tau!"

Mereka saling bertatapan, dan Rian dibuat menahan tawa karena mata Nathan yang seolah lari- lari untuk menghindarinya.

" Akan aku usahakan. Awalnya aku tak mengira taman ini akan begitu ramai."

" Memang kenapa? Kau berniat menghiburku kan... cobalah jadi dirimu sendiri yang begitu manja jika meminta tubuhku,"

" Ri! Hal seperti itu tak pantas jika diperbincangkan didepan umum. Kau tak akan menduga jika nanti salah satu dari mereka aka-,"

Cup

" Diam! kita bukan artis yang bisa menarik perhatian orang, kita hanya sepasang kekasih gay yang tak peduli jika salah satu mereka akan melihat secara tak sengaja,"

Dan dengan keagresifan Rian itupun mereka berciuman untuk pertama kalinya di depan umum. Rasa yang begitu mendebarkan ternyata membuat efek baru di hidup Nathan.

Nathan yang awalnya membuka mulut dengan kaku itu secara tiba- tiba ikut mengambil alih kepuasan. Ya... tak peduli jika ada yang melihat, toh hanya nama pribadinya yang disandang, ia hanya perlu menjadi dirinya sendiri.

avataravatar
Next chapter