19 Bagaimana dengan Nathan?

Ruang besar dengan warna putih mendominasi membuat tampilan terlihat begitu bersih. Beberapa stan kaca tempat mendisplay beberapa jenis makanan yang terlihat menggiurkan dengan warna dan perpaduannya. Bangku- bangku panjang yang ditata rapi sudah ditempati oleh sebagian besar orang, membuat suasana menjadi ramai.

Max meneguk minuman kaleng itu dengan mata terfokus ke arah Nathan. Pria itu masih saja terdiam sejak terakhir kali mereka meninggalkan ruang rawat dan beralih ke kantin rumah sakit. Entah apa yang dibicarakan oleh ibu dan anak itu. Max tak berani bertanya, ia hanya memberikan perhatian kecil. Seperti menyampirkan lengan di bahu saat berjalan, menarik kursi saat Nathan akan duduk, atau pun memberikan tisue saat melihat bekas bumbu kari tertinggal di sudut bibirnya.

Tak semudah itu untuk mencoba akrab dengan Nathan. Beberapa kali ia bahkan harus mencoba cuek dengan tatapan tajam yang di arahkan kepadanya. Max tak merasa kesal dengan tanggapan Nathan yang seperti itu, kalau boleh jujur ia malah menyukai ekspresi yang menunjukkan kekesalan dengan bibir yang mengerucut lucu.

Sepintas Max jadi mengingat saat awal- awal mereka bertemu, sikapnya begitu canggung tapi nampaknya sekarang Nathan sudah menyadari keberadaannya. Kalau dulu ia hanya diam dengan senyum sungkan, sekarang jauh lebih baik. Max suka dengan perubahan wajah yang ditujukan untuknya.

"Sttst, brother!" bisik Cherlin tepat di telinga kanannya. Siku tangannya menyenggol milik Max meminta atensi. Kursi panjang itu membuat Cherlin semakin bisa mendekatkan diri ke arah Max.

"Hemm..." gumam Max malas. Menolehkan wajah rasanya terlalu begitu berat kalau untuk menanggapi ocehan tak berguna adiknya itu.

"Kemarin kalian ke klub malam, kan?"

Pertanyaan Cherlin hanya dibalas dengan gumaman pelan. Max tak terlalu berminat untuk berbicara dengan adiknya itu. Max kini kembali lagi menajamkan penglihatannya pada Nathan yang terfokus pada ponsel di genggamannya. Nathan begitu nampak mempesona, akan sia-sia jika Max melewatkan kesempatan untuk menatap Nathan dengan intens dan sedekat ini.

"Aouchh! Kenapa kau mencubit ku?"

Nathan mengalihkan perhatian kearah kakak-beradik di depannya itu dengan mengerutkan dahi. Max dan Cherlin pun hanya bisa tersenyum bodoh hingga Nathan kembali lagi pada aktivitas awalnya.

"Karena kau tak menjaga calon iparmu itu dari serangan setan. Lihatlah, lehernya Nathan yang begitu jelas menampakkan hickey! Wanita mana yang begitu ganas menyerang seorang pria seperti itu?" bisik Cherlin dengan tajam. Max pun membekap mulut lebar yang selalu bicara tak tau tepat dan kondisi. Max khawatir kalau Nathan mendengarnya dan Nathan menyadari bekas kenakalannya di tubuh pria itu.

"Kau bisa tidak sih, sedikit saja tak mengurusi hidup orang lain? Dan kau bilang apa tadi, ipar? Jangan bermimpi, urusi saja pacar-pacarmu dulu!"

Max berucap dengan tegas. Pasalnya Cherlin itu wanita yang suka sekali mengoleksi kekasih. Semua yang pernah Max kenal pun nampak cerdas dan berparas tampan. Hampir sebagian besar dari mereka adalah anak dari rekan kerjanya dan yang lain adalah mahasiswa yang terkenal akan ke geniusannya. Adiknya itu begitu beruntung, tapi sampai sekarang Max pun tak bisa menemukan jawaban kenapa Cherlin begitu laku keras di pasaran.

"Kenapa kau yang sewot? Nathan itu pria lajang, sebagai seorang wanita, aku tak mungkin melewatkan kesempatan untuk mendekati pria berkualitas seperti itu."

Max pun menolehkan pandangannya ke Cherlin saat mendengar ucapannya itu. Otaknya pun jadi berpikir, wanita memang tak akan pernah bisa melewatkan kesempatan untuk mendekati pria semenawan itu. Membayangkannya saja membuat Max begitu cemburu, apakah selama ini banyak juga wanita yang mengejar Nathan seantusias Cherlin?

Mengedarkan pandangannya keseluruh kantin, Max pun menarik napas lega. Pasalnya dari semua tatapan itu, lebih banyak gadis menaruh pandangan ke arahnya. Mencoba mengetes dengan memberi senyum tipis, Max semakin yakin saat melihat ekspresi girang kumpulan wanita itu. Max memang terlihat sekali dominant sejati, jika seperti itu maka masalah selesai. Max akan terus ada di dekat Nathan hingga tak ada lagi pandangan mengagumi lebih dari dirinya.

Sehabis menyantap makan siang, mereka bertiga pun kembali ke ruang inap Rara. Nathan yang hatinya masih berkecamuk itu masih saja mengecek ponsel yang beberapa waktu lalu telah mengirim beberapa pesan. Kekasih Nathan sama sekali tak menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Sudah hampir dua hari Nathan dan Rian tak saling berkomunikasi, apakah menemui sepupu harus seintens itu sampai mengabaikan ponsel?

Nathan yang sama sekali tak dekat dengan sang mama pun langsung mendudukkan diri di sofa dekat jendela. Memang terlihat seperti anak durhaka yang sama sekali tak mempedulikan keadaan sang mama yang sedang terbaring sakit. Hanya saja Nathan terlalu canggung untuk sekedar memulai pembicaraan. Apalagi kabar yang telah ia dengar dari mamanya sendiri, orangtuanya akan bercerai. Ya, lagi-lagi sang anak yang tak pernah tau permasalahan keluarga.

Nathan merasa sudah sangat dewasa untuk bisa mengerti keadaan orangtua. Mamanya tadi sudah hampir saja bercerita tentang permasalahan apa sedang dihadapinya selama ini, namun langkah mundur lagi-lagi di lakukannya.

Bukan maksud ingin lancang dengan mencoba mencari tau titik permasalahan orangtuanya. Tapi Nathan juga manusia biasa, ia ingin memiliki keluarga utuh dan harmonis yang selama ini ia idam-idamkan. Ia hanya ingin menjadi anak yang bisa memberikan masukan ataupun pendapat yang bisa didengar, bukan hanya menjadi anggota keluarga yang hanya tertulis di kartu keluarga.

"Nathan!"

Nathan sadar dari lamunannya. Pria itu pun menyimpan ponsel di saku jaket milik Max yang dipinjamkan kepadanya. Pandangannya terarah pada sosok wanita paruh baya yang mendudukkan diri tepat disampingnya. Senyum keibuan pun di dapatkan, Nathan seperti asing dengan raut itu. Tapi meskipun begitu, ia merasa begitu nyaman berada di samping wanita anggun yang tak lain adalah tante Nina.

"Iya, kenapa tante?"

"Jangan menjauh dari mama mu, tetaplah disampingnya. Dia itu wanita yang dingin dari dulu, tapi kau juga harus tau kalau dia adalah wanita yang penuh dengan kasih sayang, dan jangan ragu akan itu," ucap Nina dengan mengelus pelan bahu Nathan

"Nathan... tante rasa kau sudah tau tentang kabar perceraian orangtuamu. Tante tak bisa bicara banyak tentang itu, hanya saja tante ingin kau terus menjaga mama mu, bisa?"

Mendengar nasehat dari tante Nina membuat Nathan tersenyum miris. Air matanya hampir saja tumpah, apakah setidak penting itu perannya sebagai anak? Bahkan setelah sekian lama, ia seperti hadir hanya sebagai pelengkap yang sama sekali tak dibutuhkan.

Menatap sang mama dari jauh, raut senyum saat berbicara dengan Cherlin ataupun pada Max, kenapa berbeda sekali dengannya? Nathan jadi berpikiran buruk, apakah ia ini bukan anak kandung mamanya? Atau mungkinkah ia hadir tanpa diharapkan?

avataravatar
Next chapter