webnovel

Hitam [1/1]

Hari sudah mulai malam, ditandai dengan langit yang berwarna oranye. Senja. Aku menyukai senja, karena senja terlihat indah. Mungkin. Hanya indah. Namun dapat membuatku gila karena menyukainya.

Aku bersembunyi dibalik tudung hoddie berwarna merah muda milikku, berusaha menyembunyikan wajahku agar tidak terlihat. Sedangkan mataku tidak berhenti memandangi seorang laki-laki yang sedang tersenyum kecil memandangi layar kameranya, dia Kenneth. Dia tetangga baruku, belum lama ini aku suka memperhatikannya. Sama seperti aku menyukai senja.

Melihatnya tersenyum membuatku ikut tersenyum juga, senyumannya menular padaku. Mataku sontak membulat, karena dia memandangku dengan mata cokelat terangnya. Karena begitu gugup, aku membuang mukaku sembarang arah.

Dan yang lebih mengejutkannya lagi. Dia melangkah ke arahku!

Aku bingung.

Aku malu.

Aku senang.

Perasaanku bercampur aduk hanya karena seorang laki-laki bernama Kenneth. Aku yang sedang duduk di kursi taman lantas menggerakkan kakiku gelisah, sambil sesekali memainkan kuku.

"Pemandangannya bagus." Kenneth berhenti didepanku, membuat jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya. "Boleh gue ngefoto pemandangannya?" Lanjutnya dengan santai.

Dalam hati aku tertawa. Menertawakan diriku yang overpede. Aku kira Kenneth ingin mengajakku berkenalan, atau bahkan mengobrol bersamanya.

Ternyata dia tertarik dengan pemandangan langit dibelakangku....

Aku hanya berusaha tersenyum setulus mungkin, "Boleh." Kemudian aku beranjak dari duduk, ingin meninggalkan tempat itu.

Sebelum aku pergi, suaranya menghentikan langkahku, "Tunggu," Dia tersenyum kemudian menatapku. "Maksud gue tadi, gue mau ngefoto lo beserta pemandangan senja. Boleh?"

Apa?! Apa aku salah dengar? Dia ingin memotretku? Semoga saja pendengaranku saat ini bekerja dengan baik. "Apa?" Tanyaku sambil berusaha menormalkan ekspresiku, yang mungkin sekarang terlihat seperti orang yang baru saja memenangkan undian.

"Gue mau ngefoto lo."

Aku tersenyum samar, "Kita bahkan belum kenal, dan kenapa lo harus foto gue?" Oke. Aku tahu. Aku terlihat menyebalkan saat mengatakan ini. Bukan menyebalkan. Tetapi sangat menyebalkan.

Wajahnya langsung berubah menjadi sedikit kecewa, membuatku was-was dengan balasannya. "Jadi kita harus kenalan dulu?" Dia mengangkat alis sebelah kanannya, "Oke. Nama gue Kenneth." Ucap dia lalu mengulurkan tangannya.

Wow. Aku pikir dia akan meninggalkanku pergi. Karena saat pertama kali kami bertemu, aku sudah bersikap sangat menyebalkan. Ralat. Saat pertama kali kami berbicara satu sama lain.

"Gue Grace," Aku menyambut uluran tangannya dengan senyuman tipis.

Dia mengangguk kecil, lalu duduk tepat disampingku. "Gue sering ngeliat lo disini, dan lo juga sering ngeliatin gue disini. Jadi, udah seharusnya kita temenan, kan?"

Aku hanya mengangguk dan diam mendengarkannya berbicara. Lalu dia menanyakan hal yang tidak terduga olehku, "Lo suka warna pink, Grace?"

Aku mengangguk lagi, mengiyakan pertanyaannya, "Kalau lo? Suka warna apa? Hitam?" Entah kenapa pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulutku.

"Ya, warna yang lo sebutin itu, warna kesukaan gue. As you can see, gue selalu make baju warna hitam."

"Kenapa lo suka warna hitam? Menurut gue, itu warna yang cukup menyeramkan."

"Dan lo? Kenapa lo suka warna pink, Grace?"

"Pink membuat gue terlihat ceria, mungkin?"

Kenneth tersenyum lembut, lalu menatap langit yang mulai gelap. "Hitam itu gak mencolok, dan gue gak akan pernah mau mencolok. Karena mencolok artinya berbeda, 'kan?" Dia menjeda kalimatnya sebentar. "Gue gak mau berbeda dari orang lain. I just want to be an ordinary boy."

"Berbeda?"

Dia menghembuskan nafasnya dengan pelan, "Gue harap lo gak kaget, tapi ini yang terjadi sama gue sekarang." Sekali lagi dia menghembuskan nafasnya, "Gue terkena kanker darah."

Jantungku berpacu dengan cepat, ku gelengkan kepalaku seolah dengan menggelengkan kepala semua yang kudengar hanya mimpi. Kepada siapapun, aku mohon bangunkan aku dari mimpi buruk ini.

Jika ini bukan mimpi, aku mohon, Tuhan, buatlah perkataannya hanya sebuah lelucon. Akan tetapi, dengan melihat raut wajah serius Kenneth, sudah membuat tubuhku lemas.

"Are you serious? Gu-gue gak percaya, Ken."

Dia tertawa getir, membuatku ingin menangis sekencang mungkin, "Apa gue kelihatan bercanda? Yup, gue mengidap leukimia. Gue cerita sama lo karena kita teman. Teman harus saling berbagi cerita, bukan?

"Gue selalu merasa iri, saat temen-temen gue bisa ngelakuin aktivitas seperti olahraga, bermain, ataupun itu tanpa merasa takut akan berakhir dengan pingsan atau lebih parahnya meninggal.

"Gue merasa beda, gue cuman bisa membidikan kamera ke objek yang menarik. Sedangkan mereka? Mereka bebas.

"Oke, ini memang aneh. Tetapi, dengan warna hitam yang gak mencolok itu udah bikin gue tenang. Gue merasa, gue sama dengan mereka. Ya, walaupun cuman cover.

"Gue gak suka jadi objek perhatian orang lain, karena gue ngerasa mereka memandang gue dengan tatapan kasihan, mungkin. Dan itu ngebuat gue semakin terpuruk dengan penyakit ini.

"Dan itu arti warna hitam buat gue, menjadikan gue semakin kuat. Dan juga mencoba bangkit dari keterpurukan, serta berani mencoba melakukan hal yang belum pernah gue lakukan."

Dia mengembangkan senyum manisnya, sehingga aku bisa melihat kedua lesung pipinya yang terlihat indah. "Gue belum pernah mendaki gunung, gue selalu takut melakukan hal itu. Tapi, gue berusaha melupakan akibat yang akan gue terima setelah mendaki. Karena gue tahu, gue sama seperti yang lainnya. Gue bukan lagi sebagai Kenneth yang menyukai warna hijau, atau lebih tepatnya mencolok karena berbeda. Sekarang, gue adalah Kenneth yang menyukai hitam, dan tidak mencolok.

"Setelahnya, gue mencoba meyakinkan kalau gue juga bisa seperti yang lainnya, dan ternyata gue bisa. Terkadang kita harus bisa menerima akibat dari keinginan kita, karena kita hanya hidup satu kali. Dan gak ada kesempatan untuk mengulang waktu, untuk mengulang sesuatu hal yang belum kita lakukan."

Perlahan air mataku turun membasahi pipiku, hatiku sedikit teriris mendengarkan perkataannya. "Gu-gue gak tau soal ini. Maaf."

"Untuk apa lo minta maaf? Lo gak salah. Tuhan menciptakan ini supaya karakter utamanya menjadi lebih kuat. Anggap aja gue karakter utamanya, dan perjalanan hidup gue ini adalah skenario Tuhan."

Aku menundukkan kepalaku, untuk menyembunyikan air mataku yang sudah mengucur dengan deras. "Terima kasih, karena telah menjadi motivasi gue buat menjadi yang lebih baik lagi. Setelah mengalami keterpurukan beberapa tahun, gue merasa ingin hidup kembali, lagi. Gue sangat berterima kasih, karena lo menyadarkan gue betapa berharganya hidup. Di dunia ini, banyak orang yang pengen hidup tanpa kendala. Dan gue, gue justru berpikir untuk berhenti hidup."

Kenneth memelukku, hingga tangisanku pecah didalam dekapannya yang hangat. Diusapnya kepalaku dengan lembut, "Nangis aja, mungkin nangis bakal ngurangin kesedihan lo."

"Or-orang tua gue cerai sejak gue SMP, semenjak mereka cerai gue tinggal sama tante gue, dan besar tanpa kasih sayang orang tua. Gue sama kayak lo, gue selalu iri dengan orang- orang. Mereka punya orang tua, sedangkan orang tua gue entah sekarang masih anggap gue sebagai anak atau nggak.

"Gue tertekan dengan semuanya. Itu bikin gue ngerasa gak ada gunanya lagi hidup, beberapa kali gue ngelukain diri gue sendiri. Dan tentunya menyimpan banyak luka sendiri, tanpa perlu orang lain tahu. Padahal masih banyak orang lagi, yang lebih terluka daripada gue."

Lagi-lagi aku menangis didalam dekapannya, kali ini disertai dengan isakan penyesalan. Aku menyesal karena menyia-nyiakan enam belas tahunku.

Dia menatapku sambil tersenyum kecil, "Bersyukur. Lo kurang bersyukur sama kejadian yang menimpa lo, karena dengan bersyukur kehidupan akan terasa lebih ringan." Lalu dia menepuk pelan bahuku.

Aku memeluknya dengan erat, "Lo hebat, Kenneth. Jujur, untuk pertama kalinya gue bersyukur bertemu seseorang selama hidup gue. Dan lo adalah orang itu."

"Hahahahaha..." Dia tertawa sambil menepuk kepalaku, "Gue juga bersyukur ketemu sama lo, pink."

Cekrek

Dia memotretku yang sedang menangis, membuatku mungkin terlihat jelek disana. Aku lantas memukul pelan pundaknya, yang bergetar karena menahan tawa.

***

Aku tersenyum getir mengingat pertemuan pertama kami, lalu meletakkan bunga dan sebuah surat, yang aku harap dibaca olehnya.

Kenneth Sarvesh

23 Oktober 2002 - 16 Januari 2019.

Aku harap dia bisa menjalani hidupnya dengan baik dan damai disana. Aku menatap kuburannya lama dengan air mata yang sudah siap meluncur dari pelupuk mataku.

Kenneth, aku sudah bisa menjalani kehidupanku dengan ringan. Aku bukan lagi gadis yang menyukai warna merah, sama sepertimu, sekarang aku menyukai warna hitam. Entah sudah sesering apa aku berterima kasih kepadamu. Terima kasih, Kenneth. Aku merindukanmu.

Akhirnya air mataku turun, dan aku menyesal karena tidak sempat mengatakan padanya bahwa aku menyukainya.

Dan ini adalah pertama kalinya aku menyukai hitam.

Dan ini adalah pertama kalinya aku menyukai seseorang.

Kepada kalian, pergunakanlah waktu kalian dengan baik, karena hidup hanya satu kali, dan tidak akan terulang lagi. Dan juga, penyesalan selalu datang diakhir.

End.

Gue ngepost ini cuman untuk ngetest wkwk

zdratcreators' thoughts