1 1. TERBANG BEBAS

Ribuan tahun setelah kehancuran alam semesta, dunia baru tercipta dengan segala macam aturan di dalamnya. Manusia terlahir dengan sayap agar mereka bisa melihat segala keindahan dunia dari langit, seperti burung yang terbang bebas. Setidaknya, itulah yang dipelajari oleh Ren, seorang murid dari sebuah akademi sejarah yang sangat tertarik dengan sejarah terbentuknya dunia dan kehancuran bumi yang pernah terjadi.

"Ren!"

Ren mendongak ke langit ketika mendengar ada seseorang yang memanggil namanya. "Oh, Ozi!" sapa Ren sambil melambaikan tangan dengan senyuman lebar. Ozi adalah sahabat yang dimiliki oleh Ren dari kecil. Melihat sahabatnya bisa terbang setinggi itu, membuatnya sedikit iri.

Ozi memerlukan waktu sedikit lama untuk mendarat karena dia terbang setinggi sepuluh meter saat terbang. "Aku membawa apa yang kau butuhkan!" ucap Ozi dengan riang. Dia mengangkat sebuah buku tebal bersampul coklat gelap dengan tulisan berwarna emas.

Ren langsung menyahut buku tersebut dengan mata yang berbinar. "Woah! Dari mana kau mendapatkannya? Bukankah ini terlalu mahal untuk kau beli sendiri?"

Ozi mengendikkan bahu sambil menggaruk belakang kepalanya. "Aku mengambilnya dari perpustakaan pribadi milik ayahku," ucap Ozi sambil meringis.

Seketika, raut wajah Ren berubah menjadi datar. "Kembalikan ini!" ucap Ren dengan malas sembari menempelkan buku itu di dada Ozi. Ozi memegang buku tersebut.

Ozi menghela napas. Raut wajahnya menjadi sedih. "Ren, kau sangat membutuhkan ini. Bukankah kau sangat ingin terbang?"

"Ayahmu pasti sangat marah jika tahu tentang hal ini," ucap Ren dengan sedikit kekecewaan. Apalagi, dia tahu bahwa selama ini Ayah Ozi tidak menyukainya. Terlebih lagi, dia harus kembali menerima kenyataan. "Kau pun tahu bahwa aku sengaja meminta bantuanmu untuk mencari di perpustakaan awan ... karena aku tak mungkin bisa ke sana."

Terlahir sebagai manusia yang memiliki sayap yang indah bukanlah hal istimewa bagi Ren, jika pada akhirnya dia tak bisa menggunakannya untuk terbang. Sejak kecil, hal yang dia dambakan hanyalah ingin melihat keindahan desa dari langit.

"Ren, suatu saat kau pasti bisa terbang seperti kami. Jangan menyerah dan terbanglah bersamaku suatu hari nanti. Kita lihat keindahan dunia yang belum pernah kau lihat," ucap Ozi sambil menepuk pundak Ren sambil tersenyum. Lesung pipinya terlihat cukup dalam di satu sisi. Itu hampir membuat Ren menganga karena terpesona dengan manisnya wajah lelaki di sebelahnya ini.

"Bisakah kau membawaku ke atas tebing besok?" tanya Ren sambil tersenyum tipis. Ozi menjawab dengan anggukan.

***

Hanya dua wilayah yang terbentuk di Negara Aves. Desa Aves Putih adalah tempat yang sangat asri sejauh ini. Masih banyak hutan dengan berbagai hewan di sana. Membuat udara sangat bersih dan sejuk. Satu wilayah lainnya adalah Kota Aves, yaitu wilayah yang penuh dengan polusi. Gedung-gedung tinggi dibangun demi memperlihatkan kesan mewah kepada dunia.

Ren menghela napas lelah dan menutup buku yang sedang dibaca. Dia sedang duduk di cabang besar sebuah pohon di depan akademi. "Kenapa kedua wilayah ini sangat berbeda? Kenapa kedua wilayah ini tidak bekerja sama supaya lebih rukun? Kenapa mereka tidak—"

"Kenapa kau sangat ingin tahu tentang itu?" Ozi memotong rentetan pertanyaan Ren yang sedang berbicara sendiri. Dia bersandar di pohon dengan posisi berdiri, lalu melemparkan sebuah apel ke arah gadis itu yang langsung ditangkap dengan sempurna.

Ren mendengkus. "Salahkah aku jika kita berdamai dengan wilayah lain?"

"Tidak salah. Itu hanya tidak mungkin terjadi," ucap Ozi dengan santai sambil mengunyah apel di tangannya. Pagi yang segar untuk makan apel merah yang baru dipetik.

Ren memang tau bahwa hal itu sangat sulit dilakukan. Kedua wilayah yang telah lama berselisih, menimbulkan kesan bahwa mereka tak memiliki kepercayaan satu sama lain. Tapi, dia pun tau bahwa tak ada yang mustahil di dunia ini. Maka dari itu, dia terus berharap atas sesuatu yang dianggap tidak mungkin oleh kebanyakan orang.

Tiba-tiba, sisa apel dilemparkan ke kepala Ren hingga membuatnya mengaduh. "Apa?!" tanya Ren dengan raut kesal. Ozi memberi isyarat menggunakan dagu. "Paman?"

Seorang pria paruh baya mendekati mereka. "Bisakah kau turun dari sana?" Ren mengangguk dan turun tanpa protes. "Apakah kau yakin bahwa kau pobia terhadap ketinggian?"

Ozi langsung memasang wajah terkejut yang dibuat-buat. Ren menepuk pundaknya sambil melotot. Dia pun langsung menyatukan kedua tangannya sebagai permohonan maaf. "Paman Nobi, tinggi batang ini hanya sekitar dua meter. Itu tidak ada apa-apanya dibandingkan tebing di ujung sana," ucap Ren menjawab cibiran pamannya yang sebenarnya sebuah bentuk candaan.

Ren sudah terbiasa dengan candaan yang berhubungan dengan pobianya. Lagipula, dia tak perlu selalu bersedih karena kekurangannya. Justru, keberadaan Paman Nobi dan Ozi malah membuatnya cukup senang. Namun, ada satu hal yang tidak dia sukai dari pamannya.

"Paman Nobi, apakah kau punya jokes hari ini?" tanya Ozi memancing Nobi untuk mengeluarkan jokes andalannya.

"Kau tahu kenapa apel bisa jatuh ke bawah? Apakah karena gaya gravitasi?" Ozi dan Ren saling menatap dan mengendikkan bahu. "Kalau jatuh kan memang ke bawah, bukan ke atas!" ucap Nobi sambil tertawa terbahak-bahak. Ozi hanya tertawa hampa sambil mengangguk-anggukkan kepala, sementara Ren hanya tertawa malas. Itulah jokes yang sangat cringe yang selalu diberikan oleh Nobi. Sebuah jokes bapak-bapak yang sering mereka dengar dari bapak-bapak lain.

Setelah puas dengan ketawanya, Nobi langsung diam dan teringat dengan tujuan awalnya mencari Ren. "Oh iya. Malam ini kau harus pergi ke dokter untuk mengecek kondisi sayapmu."

***

Pada siang hari yang cerah, Ozi menepati janjinya untuk menemani Ren ke atas tebing. Mereka sering pergi ke sana hanya untuk melihat pemandangan desa atau membantu Ren untuk mengatasi pobia yang dimilikinya.

"Naiklah!" Ozi meminta Ren untuk naik ke punggungnya. Ren pun naik ke punggung Ozi dan mengalungkan lengan ke leher Ozi. Setelah itu, Ozi membawanya terbang. Namun, dia terus menutup mata selama berada di udara.

Ozi akhirnya berhasil mendarat di ujung tebing. Tapi, Ren tak kunjung turun dari punggungnya. Setelah dia menoleh untuk melihat wajah Ren. Ternyata, Ren masih memejamkan mata sekuat-kuatnya. Lelaki itu pun hanya tersenyum senang melihat ekspresi Ren saat ketakutan dari dekat. "Buka matamu. Kita sudah sampai," ucap Ozi sambil mengusap-usap poni milik gadis itu.

Mendengar itu, Ren membuka matanya dan turun dari punggung Ozi. "Oh, sudah sampai. Aku tak menyadari karena angin yang bertiup cukup kencang," ucap Ren dengan gugup dan merasa sedikit malu.

"Bagaimana kau bisa terbang jika kau takut dengan ketinggian? Mulai sekarang, kau harus mencoba untuk menghadapi ketakutanmu," ucap Ozi, memberi ejekan sekaligus saran. Dia sudah sering menggendong Ren. Bahkan, mereka sudah melakukan itu sejak kecil. Jadi, dia mulai merasa bahwa Ren sudah cukup lama terjebak akan ketakutannya.

"Ozi!" panggil Ren setelah duduk di tepi tebing. Ozi menyahut dengan deheman sembari duduk di sebelahnya. "Kau ingat saat pertama kali menggendongku ke atas sini? Saat itu, aku melompat kegirangan saking senangnya. Ya memang aku tak bisa membuka mataku saat di udara. Tapi, itu pertama kalinya aku merasakan angin saat berada di udara," ucap Ren sambil tersenyum lebar. Dia sangat senang ketika mengingat hal yang baru saja dikatakan olehnya itu.

Ozi tertawa ketika mengingat kejadian tersebut. "Hahaha! Kau masih sangat imut waktu itu."

"Ah iya. Kau benar sekali. Aku bahkan bingung bagaimana mendapatkan pipi cubby itu lagi sekarang?" ucap Ren yang juga tertawa. Namun, tawanya tiba-tiba terhenti ketika dia mendengar kebisingan dari belakang.

"Oh noooooo!" teriak seseorang yang terbang dengan kecepatan yang tidak wajar ke arah Ren. Ren dan Ozi langsung terbelalak dengan mulut menganga. Beberapa saat kemudian, dia menabrak Ren dengan keras dan terjatuh dari atas tebing. Ozi langsung berdiri dan terbang ke bawah untuk mencoba menyelamatkan Ren.

Ren merasakan tubuhnya tertarik oleh gravitasi. Sekilas, dia melihat seseorang berusaha mengatur sayap hitamnya agar kembali terbang. Sebisa mungkin, dia menggerakkan sayap agar dirinya tak terjatuh ke tanah. Sekalipun, itu terasa mustahil baginya.

"Ren!" teriak Ozi terbang ke bawah secepat kilat.

Ren tak mendengar. Dengan tubuh yang menghadap langit, dia memfokuskan diri untuk setidaknya menggerakkan otot sayapnya. Hingga akhirnya, sayapnya berhasil terbentang pada ketinggian 5 meter. Itu membuatnya berhasil mengalahkan gravitasi dan mendarat dengan mulus. Ozi mendarat dan terkejut dengan apa yang dilihat.

Ren mematung di tempatnya berdiri. Jika orang lain masih tak percaya, dia lebih tidak percaya terhadap dirinya sendiri. Ini bagai mimpi di siang bolong yang tiba-tiba terwujud.

Bersambung....

avataravatar
Next chapter