2 SEDOSO ASMO (SEPULUH NAMA)

Katanya, pada Zaman itu, usia anak yang genap 10 tahun, sudah harus mengembara, kesana-kemari, untuk mencari jati diri, lagi-lagi perguruan adalah tempat yang layak bagi anak-anak mereka, entah hitam atau putih, semua orang berhak memilih, bukan?

Jangan salahkan pelaku dalam cerita, semuanya telah berlalu, dan semuanya tinggal cerita.

Perjalanan masih panjang, saya harap kalian sudah memasang sabuk pengaman, untuk sesuatu yang menegangkan.

***

Desa Sirih.

Terlihat seorang bocah bermain ayunan yang terbuat dari kain dan 2 tali yang menggantung diatas pohon untuk menopang tubuhnya yang mungil, ia menikmati semilir angin yang berhembus, menikmati bersama pohon-pohon rimbun yang diam membisu.

"Arjunaaa... "

Arjuna menghentikan Ayunan dengan kedua kaki yang menginjak tanah serta menahan.

"Ada apa Ayah?" Tanya Arjuna.

"Ada tamu, untukmu."

Arjuna tertegun heran, "siapa?"

"Pulanglah."

Arjuna mengangguk, serta berjalan mengikuti Ayahnya yang sudah berjalan mendahului, menuju rumahnya.

...

Seorang Kakek dengan Blankon dikepalanya, duduk dengan gagah disebuah bangku meski tubuh kurus serta kulit yang keriput menandakan dia sudah berumur puluhan tahun.

Kopi hitam, dan rokok yang digulung dengan daun jagung jadi teman selama Ayahnya Arjuna pergi.

Tersenyum, seorang kakek itu ketika melihat Arjuna datang bersama Ayahnya.

"Beri salam padanya, Arjuna. Ia adalah Mbah Dewandaru." Bisik Ayahnya.

Arjuna yang mendengar pernyataan itu, langsung melesat cepat kearah kakek tua yang sedang duduk.

Seperti melihat harapan, untuk menjadi kuat, atau yang paling kuat diantaranya, ambisi Arjuna semakin menjadi-jadi setelah mencium tangan kakek tua tersebut.

Arjuna melangkah mundur, dan ikut duduk bersama Mbah Dewandaru meski sekarang mereka saling berhadap-hadapan.

"Arjuna." ucap Mbah Dewandaru.

Arjuna terdiam, tubuhnya bergemetar, suara Mbah Dewandaru yang membuatnya seperti itu, karena suaranya terdengar begitu lantang,

Meski ayahnya Arjuna pernah berkata Ilmu Senggoro Macan adalah salah satu miliknya, ilmu itu dipakai para pendekar, untuk menggetarkan lawan bicaranya hanya lewat suara.

"Arjuna?"

"I–ya, Mbah."

"Kamu ingin menjadi kuat seperti ayahmu, bukan?"

Arjuna mengangguk menyutujui.

Mbah Dewandaru menatap Ayahnya Arjuna, seraya berkata "Serahkan anakmu padaku, aku berjanji, ia tak akan mati selain bunuh diri—jika, ia berhasil melewati segala ujian dariku."

Darsa terlihat menelan ludah, tak yakin akan kemampuan Arjuna.

"Gimana?" Mbah Dewandaru menegaskan.

Darsa menatap Arjuna.

"Apa kamu siap Mati? Hanya untuk ambisimu, Arjuna?"

"Mati hanya untuk orang-orang yang lemah, jadi selama ini kamu masih menganggapku lemah, Ayah?"

"Baiklah Arjuna, ikutlah dengan Mbah Dewandaru, dan pulanglah tanpa mempermalukan aku."

Arjuna tersenyum lebar, matanya berbinar, ia memang seorang anak yang penuh dengan Ambisi, hampir seperti Ayahnya, menjadi paling sakti adalah impiannya, karena menurut Arjuna, desa ini penuh dengan kebrutalan, membunuh tanpa menyentuh sering kali dilakukan, entah menyantet atau menumbalkan itu semua semata-mata hanya untuk mencari kesaktian, bahkan saat-saat ini sedang gencar berita seseorang yang membunuh secara terang-terangan, tapi beruntung Ayahnya Arjuna orang terpandang disini, dan paling ditakuti didesa ini, siapapun yang menyentuh keluarganya akan ia habisi, sendirian.

...

Desa Putih.

Sebelum Arjuna memasuki sebuah rumah, ia berhenti sejenak matanya memeriksa sekitaran rumah-rumah yang ada disini, semuanya minim penerangan, dan beberapa pohon beringin yang menjulang tinggi menjadikan tempat ini begitu penuh dengan kesan mistis walau hal itu lumrah bagi Arjuna.

"Arjuna, cepat masuk." Kata Mbah Dewandaru, saat sudah berada didepan pintu rumahnya berjalan lagi memasuki rumahnya, tanpa perduli Arjuna menuruti permintaannya atau tidak.

Arjuna berjalan, melewati 3 anak tangga yang berada tepat didepan pintu masuk.

Melewati beberapa ruangan, matanya menatap anak-anak yang seusianya duduk disana dibangku kayu yang berjejer rapih dekat tembok.

"1..2..3..4..5..6..7..8..9.. " Batin Arjuna, menghitung anak-anak seusianya.

Hanya bangku paling ujung kanan yang belum terisi, tepat ketika Mbah Dewandaru menatap Arjuna. "Duduk disana." Sambil menujuk ke arah bangku yang masih kosong.

Arjuna mengangguk, berjalan kearah bangku dengan santai, meski beberapa anak menatapnya dengan wajah tak suka.

Mbah Dewandaru mulai berjalan, mulai dari paling kiri.

"Anjani, ayahmu adalah Mahadarsa, aku akan mengajarkan Ilmu Santet, dan setelah berguru di sini, pergilah, cari roh leluhurmu, dan minta satu Ilmu lagi padanya."

Anjani mengangguk, tak lama Mbah Dewandaru berjalan kearah anak disamping Anjani.

"Batipuh, ayahmu bernama Maheswara, aku akan mengajarkan Ilmu Santet, dan setelah berguru di sini, pergilah cari roh leluhurmu, lalu mintalah satu Ilmu lagi padanya."

Batipuh mengangguk.

"Bayu Aji, ayahmu bernama Sambara. Aku akan mengajarkanmu Ilmu penyembuh, dan setelah di sini, pergilah cari roh leluhurmu, dan minta satu ilmu lagi padanya."

Bayu Aji mengangguk.

"Wibawa, ayahmu bernama Tamawijaya. Aku akan mengajarkanmu Ilmu Kebal, dan setelah berguru di sini, pergilah dan cari roh leluhurmu untuk minta satu ilmu lagi padanya."

Wibawa mengangguk.

"Satria, ayahmu bernama Sasmaka. Aku akan mengajarimu Ilmu Pelebur, setelah berguru di sini, pergilah cari roh leluhurmu untuk minta satu Ilmu lagi padanya."

Satria mengangguk.

"Respati, ayahmu bernama Pranadibta. Aku akan mengajarkan Ilmu Menghilang, setelah berguru di sini, pergilah kunjungi roh leluhurmu, untuk minta satu ilmu lagi padanya."

Respati mengangguk.

"Gentala, ayahmu bernama Wyakta. Aku akan mengajarkanmu Ilmu Meringankan Tubuh, setelah berguru disini, pergilah cari roh leluhurmu, untuk minta satu ilmu lagi padanya."

Gentala mengangguk.

"Haira, Ayahmu bernama Ganendra. Aku akan mengajarkan Ilmu Pelet, setelah berguru di sini, pergilah, carilah Roh Leluhurmu untuk minta satu ilmu lagi padanya."

Haira mengangguk.

"Janu, ayahmu bernama Ismoyono. Aku akan mengajarkan Ilmu Pesugihan, setelah berguru disini pergilah cari roh leluhurmu untuk minta satu ilmu lagi padanya."

Janu mengangguk, bersama Mbah Dewandaru yang menghampiri Arjuna, semua mata menatap Arjuna, bahkan sesekali terdengar bisikan "itu kan anaknya Pak Darsa."

"Iya, yang terkenal pernah menghabisi satu desa sendirian kan?"

"Iya itu adalah anaknya."

Mbah Dewandaru berhenti tepat didepan Arjuna.

"Arjuna, ayahmu bernama Darsa. Aku akan mengajarkan Ilmu Kekebalan yang luar biasa, tapi ini tidaklah mudah, aku berharap kamu berhasil, setelah berguru di sini, pulanglah mintalah satu ilmu pada Ayahmu, dan satu Ilmu lagi pada roh leluhurmu." Kata Mbah Dewandaru, sebelum akhirnya beranjak ke tengah-tengah, dan menatap satu-persatu anak-anak yang sekarang menjadi muridnya.

"Sebenarnya, kalian bisa saja meminta Ilmu lebih dari satu pada roh leluhur kalian, namun, mendapatkan satu ilmu saja darinya tidaklah mudah, aku harap kalian tetap memegang dua ilmu saja, jika tidak, kalian akan terbawa nafsu yang menguasai akal, aku ada contoh untuk kalian, seseorang yang serakah akan ilmu—ROMO... "

Seseorang pria muda terlihat dari salah satu ruangan, ia memegang sebuah tali.

Tali itu mengikat satu tangan kiri wanita, matanya melotot hampir keluar, rambutnya kusut dan panjang, ditangan kanannya terdapat ayam cemani yang berlumur darah, wanita itu masih asik memakan ayam mentah tersebut tanpa perduli kehadiran kami disini.

"Ini adalah Anakku, yang gila karena Ilmu." Ujar Mbah Dewandaru.

Semua terdiam sambil memandangi wanita dengan baju penuh darah itu.

"Ada satu anak yang membunuh para keluarga sakti yang berguru disini, sebelum keluarga kalian. Demi mendapatkan Ilmu lebih dari Roh Leluhurnya, ia berhasil mendapatkannya, dan berhasil membunuh para keluarga sakti itu, tapi—aku yang menangkapnya, hahaha. Kalian ingin melihat bagaimana kondisinya sekarang?" Kata Mbah Dewandaru, bersama anggukan para muridnya.

"Romo, bawa dewi kesini."

Seorang Pria Muda yang bernama Romo itu mengangguk, lalu melepas tali dari genggamannya, dan berjalan ke arah salah satu ruangan yang berada dirumah ini.

Tak lama, selang beberapa menit ia kembali, membawa beberapa tumpukkan peti berukuran kecil, lalu ia jejerkan satu-persatu peti tersebut tepat ditengah-tengah kami.

"Buka peti itu." Perintah Mbah Dewandaru.

Romo mengiyakan, tangannya mulai menarik penutup peti.

Semua mata terbelalak ngeri, satu peti itu sudah terbuka, menampakkan isi kaki seseorang yang dilumuri darah yang mengucur deras dari bagian paha yang terputus, tapi masih bergerak-gerak, layaknya ingin keluar dari peti tersebut.

"Buka lagi peti kedua."

Romo berjalan lagi kearah peti yang tengah, dan mulai menarik penutup peti itu.

Lagi-lagi, mulut kami menganga lebar, mata kami melotot, melihat peti kedua yang terbuka, menampakkan sebuah potongan tubuh seseorang, petinya penuh dengan darah, kami baru mengetahui bahwa potongan tubuh itu milik seorang wanita, karena terlihat buah dada yang hanya ditutup kain jarik.

"Buka peti terakhir."

Romo melangkah lagi ke arah peti terakhir, lalu membukanya perlahan, mulai terlihat rambut yang panjang basah oleh darah, beberapa bekas darah dipipi.

"Hanya sebuah Kepala?" Batin Arjuna.

"Masih hidup?" Arjuna tertegun Heran,

Karena kepala dalam peti itu mulai membuka matanya, dan berkata.

"BIADAB KAU DEWANDARU!!"

Mbah Dewandaru tersenyum pada kepala wanita yang berada dalam peti, seraya berkata "Ilmumu masih sebesar biji sawi, tak usah sok sakti. Hanya Ilmu Pancasona yang membuatmu hidup sampai sekarang, meski tubuhmu telah terpotong-potong, tapi lumayan untuk koleksiku HAHAHA—sudah, tutuplagi peti itu Romo."

"Baik." Ucap Romo, kembali menutup peti itu satu-persatu.

Ketika peti terakhir ditutup, sebuah kepala itu kembali berteriak.

"DEWANDARU!!! BIAD–AB!!!"

Mbah Dewandaru tersenyum pada kami, "siapa yang mau menjadi Dewi selanjutnya? Atau anakku?"

Semua sepakat menggelengkan kepala kepada Mbah Dewandaru.

"Bagus, jadilah manusia pada batasnya masing-masing, jika berdiri tak mampu, maka duduklah, jika duduk tak mampu, maka berbaringlah, jangan memaksakan untuk tetap berdiri, mengerti?"

Semua mengangguk mengerti.

"ROMO, Bawa anak-anak ini ke kamar pasarean."

"Baik, Ndoro." Romo menatap kami. "Mari, ikut saya."

"Baik." Kata kami serempak, mengikuti langkah Romo yang sudah pergi berjalan mendahului.

Hingga sampai disebuah kamar, Romo berdiri tepat didepan pintu kamar yang masih tertutup itu, "ini kamar kalian."

Semua terlihat saling menatap dan diam, sampai Romo pergi dari depan pintu itu.

Ada seorang anak, yang Arjuna tahu ia adalah anak dari Sambara yang bernama Bayu Aji.

Ia terlihat berjalan sendirian ke arah pintu masuk kamar tersebut.

Dan membukanya tanpa rasa ragu, meski sekarang ia terpaku didepan pintu yang sudah terbuka lebar.

Matanya melotot, mulutnya menganga, seolah melihat sesuatu didepannya.

"Ada apa, Bayu Aji." Tanya salah satu anak yang bernama Batipuh.

Bayu Aji hanya menggelengkan kepalanya.

Batipuh yang dihantui rasa penasaran segera menghampiri Bayu Aji, disusul anak-anak lainnya.

"GILA! YANG BENAR SAJA!" Kata salah satu anak, yang bernama Wibawa, setelah melihat isi kamar tersebut, ditengah kamar itu, terdapat satu kuburan tanpa nama, hanya bambu yang tertancap seolah menegaskan bahwa itu benar-benar kuburan.

"Gimana ini? Masa kita tidur bareng mayat."

Terlalu banyak percakapan diantara mereka, sedangkan Arjuna yang sedari tadi diam menahan ngantuk karena lelahnya perjalanan, membuat ia memasuki kamar itu terlebih dahulu, tanpa pikir panjang tubuhnya ia rebahkan tepat disamping kuburan tersebut.

"Cepatlah masuk, apa kalian tidak lelah? Tempat ini seperti wahana permainan, jantung yang berdetak kencang, lebih cepat dari jarum jam yang berdentang. Hahaha." Kata Arjuna, sambil melihat beberapa teman-temannya masih diam membisu didepan pintu.

Walau akhirnya satu-persatu menjalar ke tembok kayu, disudut sana, melihat mereka saling berbagi ruang untuk tidur, walau sebenarnya kamar ini cukup luas, namun mereka memilih tidur berdempet-dempetan jauh dari kuburan, membuat Arjuna lebih leluasa menggolekan tubuhnya.

Hingga tak terasa, lelah membunuhnya hingga terlelap dalam tidur.

Sekitar jam 2 pagi, sentuhan halus membuat Arjuna terbangun dari lelapnya tidur.

"Kenapa?" tanya Arjuna, pada seorang anak kecil yang berduduk sila didepan wajah Arjuna, yang bernama Bayu Aji.

"Anterin aku ke kamar mandi." pinta Bayu Aji dengan wajah memelas dan menunjukkan rasa takut.

"Ah kamu, ganggu aku tidur saja." Arjuna beranjak dari tempat tidurnya."Ayo, sekalian aku juga ingin kencing."

Arjuna melangkahkan kaki menuju pintu kayu yang tertutup, membukanya perlahan mengeluarkan suara decitan pintu kayu.

Arjuna tersentak kaget dengan apa yang ia lihat didepan matanya.

Seorang anak kecil yang meminta Arjuna untuk menemani ke kamar mandi, sekarang, sudah berada didepan pintu.

"Kamu kenapa? Kok wajahmu kaget begitu?" Tanya Bayu Aji, setelah melihat Arjuna menatap kebelakang, seolah mencari sesuatu.

"Kamu abis darimana?"

"Kamar mandi." Jawab Bayu Aji.

Arjuna tak menjawab, ia segera melangkahkan kakinya lagi ke arah kamar mandi, memang sebenarnya ia ingin membuang air kecil.

Sesampainya dikamar mandi, ada seseorang didalamnya, Arjuna mengetahui, karena bilasan air terdengar ditelinganya.

Hanya selang beberapa detik, seseorang didalam kamar mandi itu keluar.

Arjuna semakin heran bukan kepalang, karena ternyata didalamnya adalah Bayu Aji.

"Lagi-lagi Bayu Aji, Setan!" umpat Arjuna.

"Kamu kenapa?" tanya Bayu Aji, melihat Arjuna berwajah masam.

"Gapapa, sudah minggir." Kata Arjuna, melihat Bayu Aji masih berdiri didepan pintu masuk kamar mandi.

Bayu Aji hanya menyampingkan tubuhnya, memberi ruang Arjuna untuk melangkah masuk kedalam kamar mandi.

Tak lama, Arjuna keluar. "Kok, kamu masih disini?"

"Gimana aku mau ke kamar, jika lampu petromaks masih ditanganmu."

Arjuna menyadari, bahwa satu-satu penerangan menuju Kamar, adalah lampu petromaks yang berada ditangan Arjuna.

"Yasudah, kita bareng-bareng ke kamar."

Bayu Aji mengangguk meyutujui, mengikuti langkah Arjuna  yang sudah berjalan mendahuluinya.

Arjuna dan Bayu Aji terdiam disebuah pintu yang sudah terbuka lebar.

Lagi-lagi Arjuna dikagetkan oleh sosok yang mirip sekali dengannya, dia tersenyum dan duduk diatas kuburan itu.

Sedangkan para teman-temannya saling berpelukan, seolah takut melihat apa yang ada didepan mata mereka.

"RUMAH APA INI—DIMANA-MANA ADA SETAN!" teriakan Arjuna berhasil mengusir sosok yang menyerupainya.

Teman-temannya tampak menyoroti Arjuna, memasang wajah bangga terhadap Arjuna, karena berhasil mengusir setan.

Arjuna yang masih lelah, memilih untuk tidak menggubris para teman-temannya, berjalan memasuki kamar, lalu merebahkan lagi tubuhnya tepat disamping kuburan itu, karena hanya itu ruang yang cukup luas membuatnya lebih pulas tertidur, setelah beberapa hal yang menganggu tidurnya.

avataravatar