1 CAH IRENG (BOCAH HITAM)

Beberapa hari lalu terdengar suara menggelegar, Bak Meriam yang ditembakkan, tapi suara itu berasal dari sekitaran Hutan dekat Desa Sirih,

belum tahu pasti suara apa itu, dan semua warga masih mempertanyakan, namun seolah kabar angin lewat, Darsa merasa tak perduli apa yang terjadi.

Bahkan bila nanti terjadi Gempa didesa tempatnya tinggal, dia tetap diam dibale bambu miliknya, dengan rokok ditangan kanannya, melihat botol-botol kaca dihadapannya, berlapis kain merah diatas tutupnya.

Kalau orang awam yang melihat pasti sudah dibilang Gila, Karena bicara sendiri.

Padahal, Darsa berbicara pada mahluk yang berada didalamnya, begitulah menurut pandangan ia dan Anaknya, yang bernama...

"Arjuna?"

Tepat ketika seorang anak kecil terlihat membawa karung berisi bekicot dipundaknya yang mungil, matanya membulat, wajahnya putih bersih, meski sedikit noda lumpur dibeberapa bagian tubuhnya, tapi tak menghilangkan Kharisma sebagai Anak dari salah satu perguruan yang menakutkan bagi warga disini, bukan hanya Warga disini, tapi se-antero kota yang mendengar nama itu pasti segan, mereka menyebutnya Perguruan Dewandaru.

"Iya Ayah?" Jawab Arjuna, sambil menurunkan karung dari pundaknya.

"Besok kamu kerumah Raden, tinggal disana sementara waktu, Ayah mau ketempat Mbah Dewandaru untuk beberapa hari,"

"Ibu dan Arny tetap dirumah?"

"Ya, karena hari Rabu mereka pergi, takutnya kamu tidak ada yang jaga."

"Baik," Ucap Arjuna, kembali mengangkat karung miliknya, matanya melirik pada Ayahnya, seraya berkata, "katakan padanya, aku meminta pusaka kesaktian, untuk melawan siapapun yang mengangguku."

Tawa Darsa pecah ketika pernyataan itu terdengar hingga ke telinganya,

"Kamu masih bocah, umurmu belum genap 10tahun, tidak pantas memegang pusaka." Singgungnya.

Arjuna terlihat marah sekali, ia menjatuhkan karung bawaannya, dan menatap ayahnya tajam, "coba tusuklah aku, aku kuat, aku kebal seperti Ayah." Sambil melemparkan sebilah pisau dari pinggangnya, yang dengan santai Darsa menangkap pisau tersebut.

"Cepat!" Arjuna melebarkan tangannya, seolah menyuruh Ayahnya menusuk dibagian mana saja yang ayahnya mau.

Alih-alih menusuk Arjuna, ayahnya malah tertawa terbahak-bahak.

"Kenapa tertawa? Tubuhku mungil, disentil kamupun aku tetap nyengir. Yang berarti, tubuh dan usia bukan hambatan untuk memenangkan pertarungan, bukan?"

Kali ini rahang ayahnya tetap menganga, entah mengapa tertawa terlalu lebar membuat rahang itu hampir copot dari mulutnya.

"Alah, selalu saja meremehkan." Tatapan Sinis dari Arjuna, dan melemparkan bekicot yang entah dari kapan berada ditangannya, mengenai mulutnya yang menganga, masuk kedalam rongga mulut, membuat ayahnya tersedak.

"HAHAHAHA, Sekarang gantian, aku yang tertawa karena mempunyai ayah payah sepertimu." Dan berjalan memasuki rumahnya. "Aw." Arjuna mengaduh sakit, karena bekicot kembali padanya, tapi tepat dikepalanya.

"Anak setan!" Gerutu ayahnya.

"Berarti ayah setan dong?" Pernyataan dari Arjuna, membuat Darsa menelan ludah, sambil memandangi Anaknya berjalan masuk ke salah satu ruangan.

Tapi ia harus menarik nafas dalam-dalam sebelum berteriak...

ARJUNA?!!

Karena melihat ratusan bekicot yang keluar dari karung, sekarang ia menatap lantai-lantai yang sudah dilewati beberapa bekicot, ada yang mulai memasuki rumahnya, ada yang menjalar ke bale bambu miliknya, dan tertegun heran.

"Entah untuk apa ini semua, Arjuna..." gumamnya Sambil menggelengkan kepalanya.

***

Selamat datang di Desa Kembang,

Begitu yang tertulis digapura desa yang hendak dimasuki oleh Arjuna dan Ayahnya.

Desa yang tak terlalu jauh, dari rumah yang ditempati Arjuna, sebenarnya kedua desa itu bersebelahan, tapi karena sungai yang cukup lebar membuat perjalanan harus memutar, terlebih tidak ada jembatan yang mengkoneksikan keduanya, bukan alasan untuk tak mampu membuat jembatan, sudah beberapa kali membuat jembatan lurus kedepan sejalan dengan Desa Sirih dan Desa Kembang, tapi selalu hancur yang katanya ulah seseorang bocah ireng.

Entah benar atau tidak, itulah yang terjadi disana meski masih "Katanya."

Terlihat dari kejauhan, rumah yang beralaskan tanah, serta temboknya yang terbuat dari kayu terlihat karena lampu petromaks tergantung disana, Ayahku bilang, sengaja datang malam, karena Ayahnya Pak Raden yang bernama Mahesa, jarang ada dirumah ketika pagi bahkan hingga sore tiba, ia bekerja sebagai petani, dan serabutan, menjalaninya sekedar menyambung hidup.

Tokk!

Suara pintu yang diketuk oleh jemari-jemari yang kuat dan kasar, suara terdengar sedikit keras, membuat seorang pemiliknya keluar dari dalam rumahnya, walau memang seharusnya begitu.

"Pakdhe Darsa? Ada apa?" Tanya seorang anak kecil seusia Arjuna, dengan rambut ikalnya,

"Bapakmu ada?"

"Bapak belum pulang Pakdhe." Matanya melirik Arjuna, sepupunya.

"Tapi mungkin sebentar lagi."

"Oh yasudah, bilang bapakmu kalau pulang nanti, aku titip Anakku untuk beberapa hari kedepan."

"Mau kemana emangnya Pakdhe?"

"Sudah, bilang saja begitu." Darsa membalikkan tubuh, seolah hendak pergi dari rumahnya Raden. Tapi menoleh pada Arjuna sejenak lalu menyentil daun kupingnya, "jangan nakal."

Arjuna membalas tatapannya tanpa mengaduh sakit, ia tersenyum licik.

Beberapa menit berlalu, Darsa sudah hilang ditelan gelapnya malam, Raden dan Arjuna masih bertatap, ia sudah bertahun-tahun berteman lebih dari sekedar ikatan sepupu, masih ingat bagaimana Raden menangis dibuat Arjuna karena kakinya terinjak hingga cantengan.

"Kamu kenapa diam disitu? Kenapa tidak masuk?" Tanya Raden,

"Kamu kenapa berdiri disitu? Dan kenapa pula tidak menyuruhku masuk? Bukankah aku tamu dan kamu tuan dari rumah ini?"

Raden terdiam, menyampingkan tubuhnya seolah mempersilahkan Arjuna masuk kedalam rumahnya.

"Lain kali, aku tidak mau kesini jika berjalan kaki." Ucap Arjuna, dan langsung mendarat ditikar, merebahkan badannya.

"Salah sendiri mengapa kesini?"

"Bukan salahku, salah ayahku."

Raden menghela nafas, tahu betul bahwa Arjuna tidak mau disalahkan.

"Lagi pula, mengapa tidak dipasang jembatan disungai itu." Tambah Arjuna.

"Cah Ireng yang merusaknya, karena sepanjang sungai itu miliknya."

"Darimana kamu tahu?"

"Itulah yang berkali-kali dikatakan warga."

"Halah itu cuma Mitos, Mitos didengar oleh telinga, sedangkan fakta dilihat oleh mata, maka seringkali berubah cerita karena tidak bisa membedakan apa yang kita dengar dan apa yang sedang kita lihat."

"Jikalau hanya Mitos, kenapa jembatan itu tak pernah terwujud?"

Arjuna terdiam, tak mampu menjawab pertanyaan itu, matanya menatap langit-langit rumah Raden, seolah mencari jawaban itu, tapi tidak ada dalam kepalanya, maupun langit-langit yang sedang ditatapnya.

Raden masih memandangi Arjuna, yang ia tahu sedang menebak-nebak jawaban tersebut, "gimana? Udah dapat jawabannya?"

Arjuna melirik Raden, "memang belum, tapi mari kita buktikan keberadaan Cah Ireng, bagaimana?"

Raden menelan ludahnya dua kali, "Bod-"

Belum sempat menuntaskan perkataanya, Raden dan Arjuna menatap pintu, karena seseorang baru saja memasukinya, seorang pria tua berkisar 54 tahun, dengan janggut putih, serta beberapa uban yang mendiami kepalanya.

"Bapak." Begitu panggil Raden kepada Pria yang sedang menaruh cangkul tepat disamping pintu rumahnya.

Arjuna dan Raden beranjak dari tikar, menghampiri Bapak Raden yang bernama Mahesa, seolah ingin membantu apa yang sedang dipikul oleh Mahesa.

"Sini tak Bantu Pak." Tawar Arjuna,

"Oalah, ada Arjuna toh, gak usah, biar Raden saja." Katanya, sambil memberikan sekarung beras. "Taruh didapur ya."

"Baik Pak." Ujar Raden, lantas pergi meninggalkan Bapaknya dan Arjuna.

"Sudah lama disini Arjuna? Bapakmu mana?"

"Bapak menyuruhku tinggal disini sementara waktu, karena ia ingin pergi ke tempat Mbah Dewandaru untuk beberapa hari kedepan."

"Ooo... Baiklah, kamu sudah makan?"

Arjuna memang sedikit pemalu, ia ingin menolak, namun apa daya perutnya berbunyi keroncongan karena perjalanan kesini menguras tenaganya hingga menelan segala isi perutnya.

"Hahaha, yasudah kita makan dulu." Ucap Bapak Raden, sambil melangkahkan kaki mendahului Arjuna.

***

Keesokan harinya, Desa Putih.

Disebuah rumah yang cukup besar dibanding beberapa rumah yang ada didesa itu, jika rumah yang lain hanya beralaskan tanah, berbeda dengan rumah yang menjadi tempat berkumpulnya 10 Keluarga,

Rumah yang beralaskan papan, serta beberapa tiang-tiang kayu jati untuk menopang atap dari anyaman bambu, lalu beberapa lampu petromaks yang berada dikolom kayu, jadi tak heran rumah ini rumah yang paling terang diantara yang lainnya.

Mereka duduk diatas tikar, membuat sebuah lingkaran.

Tepat ditengahnya, ada seorang kakek-kakek menggunakan Blankon dikepalanya, siapapun yang melihatnya akan segan, bukan karena beberapa keris berbaris rapih dipinggangnya yang kecil, tapi ada hal lain yang mereka sebut...

Orang sakti yang melahirkan beberapa keluarga sakti dari perguruan yang ia bangun, ia adalah Mbah Dewandaru.

"Jadi bagaimana tawaranku?" Kata Mbah Dewandaru, sambil menatap satu-persatu keluarga yang melingkarinya.

Semua terdiam sejenak, hingga akhirnya Darsa menjawab, "Arjuna, ia terobsesi padaku, ingin lebih kuat dariku. Itu impiannya, bukankah aku harus mengatakan "iya", agar ia mendapatkan apa yang ia mau?"

"Bagus, walaupun harusnya aku tidak mau melanjutkan perguruan ini, tapi aku ingin memberikan ilmu pada keturunan kalian, dengan syarat setelah aku mati, jangan membuka perguruan apapun nanti, cukup keturunan kalian yang menikmati."

"Inggih, Mbah." Ujar Darsa.

"Bagaimana?" Kata Mbah Dewandaru, pada mereka yang masih terdiam.

"Apakah anak-anak Kami akan berhasil?" Tanya salah satu keluarga,

"Jika mati adalah kegagalan, berarti hidup adalah keberuntungan, untuk anak kalian."

Mereka saling menatap, seolah tahu bahwa perguruan ini, adalah perguruan yang berbeda diantara yang lain, secara, mereka semua adalah murid dari kakek yang masih berdiri ditengah-tengah mereka, mati menurutnya hal yang lumrah, tapi tidak, jika harus kehilangan buah hati mereka yang sangat mereka cintai, tapi ini harus dilakukan, karena banyak sekali praktik ilmu hitam yang tak memandang golongan, takutnya anak dari mereka yang mati oleh seorang dukun yang amatir.

"Saya akan membawa Anjani, ketika usianya genap 10 tahun." Kata Seseorang Pria Tua sebaya Darsa, wajahnya menatap Mbah Dewandaru dengan penuh keyakinan.

"Nikmatilah warisanku yang terakhir, Mahadarsa" Ucap Mbah Dewandaru, sambil membalas tatapan Pria Tua yang bernama Mahadarsa.

***

Desa Kembang.

Arjuna dan Raden terlihat bermain dengan kerbau yang dipakai membajak sawah yang dipenuhi lumpur, tanah liat yang basah sudah memenuhi tubuh keduanya, bahkan hampir tak terlihat bahwa itu adalah Arjuna ataupun Raden, mereka menikmati masa kecil dengan penuh tawa riang gembira, saling ejek, saling pukul, walau yang akhirnya menangis adalah Raden, mungkin bagi Raden, Arjuna anak iblis, yang tak pernah menangis.

"HAHAHA, SUDAH KUBILANG, KALAU KAMU LEMAH." Kata Arjuna, sambil berdiri didepan Raden yang menangis sesenggukan.

Tangisnya semakin pecah, ketika Bapaknya menghampiri keduanya.

"Ada apa ini?"

"Enggak pak, Raden diseruduk kerbau tadi, akhirnya menangis seperti ini." Jawab Arjuna.

Raden merasa malu untuk menjawab pertanyaan bapaknya, karena kalah dalam pertarungan tadi, Raden tidak mau mendapat pembelaan dari bapaknya, ia hanya menjawab dengan tangis tanpa satu katapun keluar dari mulutnya, walaupun bapaknya tahu, bahwa mereka habis bergulat.

"Sudah-sudah, kalian pulang, sudah sore, tapi sebelum itu mandi dulu disungai,"

"Baik Pak." Ujar Arjuna, sambil melihat bapaknya Raden pergi menjauhinya. "Ayo, kita mandi, sudah jangan menangis, aku hanya bercanda tadi, memukulmu pun pelan sekali, memang saja kamu Cengeng." Sambil mengulurkan tangan pada Raden yang masih menunduk sambil memeluk kedua lututnya.

Ia mendangak, menatap Arjuna dengan penuh amarah diwajahnya.

"Pelan? Kepalamu Pelan, Jancuk! Lihat dahiku."

Arjuna tertawa terbahak-bahak, karena melihat benjolan sebesar kedondong menempel didahi Raden.

"HAHAHAHA, MAAFKAN AKU."

"LAIN KALI AKU YANG AKAN MEMBUAT KEPALAMU BENJOL SEBESAR KELAPA."

Arjuna terdiam, bukan karena pernyataan Raden, tapi ada sesuatu yang ia tangkap melalui kedua bola matanya, sekilas, disana dekat hilir sungai, sebuah bayangan hitam dibalik pohon bambu yang berbaris rapih, berlari cepat, sangat cepat.

"Apa itu?" Kata Arjuna, sambil berlari kearah dimana tempat yang sempat ia lihat tadi.

Raden tertegun sejenak, sebelum akhirnya ia berlari mengejar Arjuna.

...

"Kamu ngapain?"

"Tadi ada yang memata-matai kita, dibalik pohon bambu ini."

"Siapa?"

"Entahlah, sebuah bayangan hitam, berlari cepat, kearah hutan itu." Jawab Arjuna menunjuk sebuah Hutan yang tak boleh dimasuki siapapun, karena hutan itu dijuluki Hutan Keramat, entah atas dasar apa nama itu disematkan pada Hutan tersebut, namun konon katanya siapapun yang memasuki Hutan itu tak akan pernah kembali. "Bukankah Hutan itu, Hutan keramat?"

"Ya." Ujar Raden.

"Lalu, siapa yang memasukinya."

Raden menaikkan kedua bahunya, seolah tak tahu.

Merasa tidak peduli, karena tidak menemukan siapapun dibalik bambu yang Arjuna diami sekarang.

"Sudahlah, mending kita mandi disini."

"Jang-" Belum sempat Raden menuntaskan perkataannya, Arjuna lantas melompat kedalam Sungai yang dialiri air yang begitu segar.

"GOBLOK! NAIK, NAIK ARJUNA CEPAT!!! JANGAN MANDI DISUNGAI INI!!!"

"LHO KENAPA? AYAHMU MENYURUH MANDI DISUNGAI, KAN?"

"BODOH! BUKAN SUNGAI INI YANG AYAHKU MAKSUD!! CEPAT, KITA PERGI DARI SINI."

Sayang sekali, himbauan Raden tak Arjuna dengar, ia asik menyelam kesana-kemari, tanpa perduli suara Raden habis karena berteriak pada Arjuna.

"-CAH IRENG!" Pernyataan Raden yang sempat Arjuna dengar, hingga membuat Arjuna menuju ke tepi sungai.

"Ini masih satu aliran dengan Sungai yang katanya milik Cah Ireng?"

"Ya, makanya cepat kita pergi dari sini, sebelum malapetaka tiba."

Alih-alih pergi dari sungai, Arjuna malah makin menjadi, ia malah berenang melawan arus yang tenang.

"ANAK ANJING!" umpat Raden kesal.

Raden tak tahu harus apa, ia hanya duduk memandangi Arjuna yang sesekali mengeluarkan kepalanya diair sungai tersebut, hingga hampir maghrib tiba, Arjuna menyerah, badannya dingin karena terlalu lama didalam air, membuatnya harus beranjak ketepian.

"Ayo pulang. Kenapa wajahmu cemas begitu?"

"Jika sesuatu terjadi padamu, jangan salahkan aku dan bapakku, aku sudah memperingatkan."

"Sudahlah, itu hanya mitos lama, Cah Ireng hanya dongeng belaka bagi warga desa." Ucap Arjuna, dengan rasa bangga, bahwa dirinya baik-baik saja setelah berenang disungai tadi.

"Terserahmu." Kata Raden, dan beranjak berdiri, lalu melangkahkan kaki mendahului Arjuna.

"Kamu tak mandi?"

"Tidak, aku tidak mau mati, lebih baik aku mandi dirumah."

"Hahahaha, lemah."

***

Malam Hari, Rumah Raden.

Lauk pauk tertata rapih dimeja makan, serta bakul yang berisi nasi, dan dua gelas berisi air dihadapan

Dua bocah yang saling berhadap-hadapan, bersama nasi yang sudah didepan mata keduanya.

"Tidak menunggu ayahmu pulang dulu?"

"Sudah makan saja, paling sebentar lagi ayahku pulang, lagipula tak baik menahan lapar."

"Yasudah, baiklah kalau begitu." Kata Arjuna, bersiap untuk memasukkan nasi serta lauk pauk kedalam mulutnya.

Tiba-tiba saja angin masuk kedalam ruangan ini melalui pintu rumah yang terbuka lebar disana.

"Tutup pintunya dulu Arjuna, kayaknya mau hujan." Perintah Raden karena mendengar suara menggelegar dari langit, seperti petir.

Belum sempat beranjak dari tempat duduknya, Arjuna memandangi lampu Petromaks yang bergoyang karena angin, tergantung didepan pintu rumah Raden, tapi matanya Fokus pada satu titik, sebuah asap hitam yang menggumpal, dari kecil hingga menjadi besar dan padat lalu membentuk wujud seorang anak kecil dengan tubuh kurus kering, seluruh wajahnya hitam, rambutnya botak, serta luka dibagian dahinya, darahnya mengalir melewati pelipis matanya, darahnya hitam pekat, berjalan kearah Arjuna, perlahan, sangat pelan dan penuh hati-hati, karena setiap kali ia berjalan seperti ada sesuatu yang patah dari bagian tubuhnya.

Krekk... Krekk...

"CAH IRENG!" Teriak Raden, membuat Arjuna tak selera makan, memundurkan bangku dengan kakinya dan Berdiri, seolah menantang.

"Bocah kurus seperti ini? Hitam dan Dekil, kamu sebut ia sakti?" Arjuna mengepalkan tangannya, "Tak layak."

"ARJ-"

Terlambat, bocah itu berlari melesat cepat menabrak tubuh Arjuna, dan menghilang begitu saja walau sekilas terlihat dari pandangan Raden, bocah itu sempat mengubah tubuhnya menjadi kepulan asap hitam, dan merasuki tubuh Arjuna.

Malapetaka terjadi, Cah Ireng bukan isapan jempol belaka.

"ARJUNA-KAMU GAPAPA?"

Arjuna tak menjawab, dan memutar kepalanya, menatap Raden dengan mata yang melotot.

Brakk!!!

Suara benda yang menghatam meja makan, tapi kali ini bukan benda, melainkan kepala. Benar, Arjuna menghantamkan kepalanya sendiri ke meja makan yang berada dihadapannya.

Brakk!!!

Lagi, bukan mengaduh sakit, tapi Arjuna malah menggeram, seperti seseorang yang tengah dipenuhi Amarah.

"Kamu tidak sopan." Kata sosok yang menguasai tubuh Arjuna.

Raden hanya terdiam membisu dengan tubuh yang bergemetar hebat, karena melihat wajah, hidung dan mulut Arjuna serentak mengeluarkan darah yang mengalir begitu deras.

"Bagaimana ini?" Batin Raden.

Hampir saja Arjuna menghantamkan kepalanya lagi, Raden langsung menahan kepalanya dengan sekuat tenaganya, keringat perlahan mengucur, rasa takut hadir dalam bayang-bayang Raden, ia belum siap mati, dan belum siap untuk melihat sepupunya mati.

Brakk!!!

Lagi-lagi suara hantaman keras terdengar, tapi kali ini kepala Raden yang mencium meja. Hingga membuat mulutnya mengeluarkan darah.

"HENTIKAN!"

Raden berusaha mengangkat kepalanya yang terbenam dimeja, seolah ingin tahu siapa yang baru saja berteriak,

Ia bernafas lega, karena melihat Bapaknya sudah memasuki ruangan ini.

"Kenapa dia bisa ada disini?"

Raden tak menjawab, hanya berani menatap Arjuna yang masih dikuasai sesosok mahluk tersebut.

"Anak ini untukku." Terucap beberapa kalimat dari sesosok yang mendiami tubuh Arjuna.

"Lemparkan pisau itu Raden." Perintah Bapaknya, melihat sebilah pisau dimeja makan.

Raden melihatnya, dan langsung melemparkan dengan sisa-sisa tenaga yang ia punya.

Sekejap, pisau itu sudah berada ditangan bapaknya.

Raden berfikir, Bapaknya akan melawan Cah Ireng, dia melihat Bapaknya memejamkan mantra.

"Aaa... "

Suara erangan kesakitan, bersama suara Raden yang berteriak kencang.

"BAPAKKKK!!!"

"Jangan berisik, Raden! Hanya jari manis." Kata Bapak Raden, sambil mengambil jari manis ditanah, karena ia baru saja memotong Jari Manisnya dengan sebilah pisau. "Ini ambil, lepaskan dia." Tambahnya.

Benar saja, selang beberapa detik, Arjuna tersungkur ditanah, tak sadarkan diri, tapi sesosok itu kembali, menyeringai menampakkan giginya yang jarang.

"Pergilah." Ujar Bapak Raden, sambil melemparkan Jari Manis yang masih basah oleh darah.

Bak Anjing liar yang melihat tulang, sesosok itu melesat cepat kearah tempat dimana Jari Jemari itu terjatuh, segera memakannya seperti orang yang tak pernah makan enak.

Kretekkk!!

Suara jari yang dikunyah dengan Nikmat.

Tak lama setelah itu sesosok itu menghilang, berubah menjadi asap hitam, angin membawanya menjauhi Rumah Raden.

Raden menghampiri Bapaknya dengan langkah tertatih.

"Urus saja lukamu Raden." Kata Bapaknya, sebelum ia memotong kain bajunya dan mengikatnya pada luka yang masih mengucurkan darah segar yang begitu deras.

...

"Aww.. " Rintih Arjuna, melihat hari yang sudah mulai pagi.

"Aku kira kamu sudah mati."

"Aku kenapa?"

"Lihat saja apa yang terjadi pada wajahmu karena kesombonganmu itu." Ujar Raden, memberikan sepotong kaca padanya.

"Siapa yang membuatku seperti ini?"

"Seseorang yang kau anggap Mitos."

"BIADAB!" Kata Arjuna, sambil berusaha bangkit dari tikar.

"Kamu mau kemana?"

"Aku ingin membunuhnya."

Raden mengepalkan tangannya.

"Jika kamu beranjak dari sini, bukan dia yang membunuhmu, tapi aku." Ucap Raden, sambil menatap Arjuna. "Cukup bapakku yang kehilangan Jarinya, hanya demi kamu tidak mati." Pernyataan ini tepat ketika Bapaknya Raden menghampiri keduanya.

"Ada apa? Kok pagi-pagi begini sudah bertengkar?"

"LIHAT ITU, LIHAT!!" Ujar Raden, sambil menunjuk salah satu jemari bapaknya yang hilang.

Arjuna terdiam seribu bahasa, rasa bersalah menghantuinya.

"Sudah tidak apa-apa, jadikan pelajaran saja, Cah Ireng suka bernegoisasi, antara hidup dan mati. Mungkin satu jari-jemariku yang hilang tidak akan membuat aku ataupun kamu mati."

Arjuna masih terdiam, sambil memandangi jari Bapaknya Raden, dendam memuncak dalam dirinya, dan bersumpah dalam hatinya, "aku akan membunuhnya, suatu saat nanti." Batinnya.

"Maafkan aku Pak Mahesa, seharusnya aku tidak melakukan hal bodoh itu."

"Tidak apa, anggap itu adalah kenakalanmu, sekarang istirahatlah. Raden, jaga Arjuna sampai aku pulang." Kata Bapaknya, sambil memikul cangkul dipundaknya.

Raden mengangguk.

"Maafkan aku, Raden."

Raden masih belum mengiyakan untuk memaafkan Arjuna karena telah menghilangkan Jari Bapaknya, tapi mau tak mau, ia harus menerima segala kebodohan Arjuna, yang memang sedari dulu ia tahu.

"Jangan sampai kamu buat jari-jemari Ayahku hilang lagi."

Arjuna membalas tatapan Raden.

"Aku yang akan menghilangkan Jari jemari bocah itu, bahkan menghilangkan nyawanya, suatu hari-nanti."

avataravatar
Next chapter