webnovel

Bab 2 "SERENDIPITY"

serendipityđŸ„€:

menemukan sesuatu yang indah tanpa mencarinya.

**

"Kau yakin tidak ikut kembali ke Jenewa?"

Mark menghempaskan dirinya ke ranjang hotel, tidak terlihat tertarik sedikit pun pada kegiatan Jeffrey yang nyatanya sudah sibuk mengemasi seluruh barang-barang. Hari ini adalah hari terakhir tim Muse.ic menginap di Hotel Bellevue Palace setelah sukses besar menyelesaikan penampilan mereka di kota tersebut.

"Aku titipkan Alicia padamu, ya!" pesan Mark. "Kalau dia sudah sampai di rumah, kirimkan aku setidaknya satu pesan."

Malas menyahut, Jeffrey lantas memberikan acungan ibu jarinya ke atas, sebagai tanda bahwa dia menyetujui pesan titipan dari Mark. Bukannya tidak berani menolak, tapi Jeffrey lebih merasa seperti Mark sudah cukup lelah dengan segala kegiatan musiknya. Sejujurnya menjadi manajer pribadi Mark tidaklah pernah terasa berat, terlebih lagi karena lelaki itu terbiasa mandiri akan setiap urusannya. Hal-hal besar yang kerap kali dia minta malah selalu berpusat pada keselamatan Alicia, bukan dirinya sendiri. Jadi Jeffrey tidak punya pilihan selain setuju, kan?

"Tapi kenapa sih kau memilih diam disini sendirian?" tanya Jeffrey heran. "Alicia sudah tahu hal ini memang?"

"Sudah. Dia iya-iya saja," sahut Mark tanpa beban.

"Alasanmu?"

"Aku akan menikah."

Jeffrey berdecak tidak percaya. Daripada berusaha membalas, dia lebih memilih untuk ikut duduk di tepian ranjang. Berbanding terbalik dengan Jeffrey yang sudah berganti memakai kaos hitam polos, rupanya Mark belum juga mengganti setelan jas hitam sisa penampilan hari ketiganya di Konzert Theater Bern.

"Aku menyadari kau diam-diam mengganti list lagu saat pertunjukkan tadi," komentar Jeffrey setelah cukup lama hening. "Berani sekali, ya?"

"Aku sudah mengonfirmasi hal itu sebelumnya pada pihak agensi. Kau saja yang tidak tahu," balas Mark tenang. "Oh ya, pukul berapa kalian terbang besok?"

"Delapan pagi."

Mark menghela nafas berat. Dengan berat hati, dia beranjak bangun dari ranjang dan berdiri dengan kelopak mata sayu, jelas terlihat begitu mengantuk. Ada satu hal menarik selama pertunjukkan malam ini. Mark memang lelah, tapi setidaknya dia sempat mencuri lirikan ke arah Adora di bangku belakang, seperti kebiasannya selama tiga hari terakhir. Mereka saling melempar senyum yang entah bermakna apa. Malam itu Mark menyadari dia bukan lagi luluh karena lantunan musik klasik, melainkan karena senyum tipis dari sudut bibir Adora.

Penampilan gadis itu selalu mencolok, tidak pernah gagal menarik perhatian setiap orang. Mark ingat bagaimana gaun cream pucat Adora menjuntai dan menyapu permukaan keramik marmer yang menjadi alas ruangan. Kali itu rambutnya terurai rapi tanpa hiasan, tidak lagi digelung seperti hari-hari sebelumnya. Ketika netra gelap Mark disambut pemandangan cantik itu, maka Bern yang diselimuti salju mendadak terasa hangat di sekelilingnya.

Adora adalah seni. Seni kedua setelah musik yang berhasil membuat Mark jatuh cinta dalam satu kali kerjapan mata.

"Istirahatlah! Aku akan kembali sebelum tim kita berangkat besok."

Tangan Mark sudah nyaris menyentuh gagang pintu besi dingin disana. Dia hendak melangkah keluar dari kamar, tapi ternyata suara Jeffrey yang lebih seperti sebuah gugaman kecil berhasil menahan langkahnya maju.

"Apa yang kau lakukan setelah pertunjukkan usai hari pertama, Mark?" Jeffrey bertanya masih dengan lengan yang menutupi sebagian wajahnya.

"Saat aku terlambat mengunjungi wartawan maksudmu?"

"Ya."

"Aku bertemu Adora Hils dan beberapa tamu undangan lain."

"Tanpa pengawalan?"

Mark berdecak kesal. "Aku bukan artis besar atau pejabat negara yang penting. Kau pikir mereka berniat menculik seorang pianis dari kota lain?"

"Tunggu dulu!" cegat Jeffrey tiba-tiba. "K-kau tidak benar-benar akan menikah, kan?"

"Apa aku terlihat sedang bercanda?"

Jeffrey memucat, gagal mengatupkan bibirnya untuk tidak menganga lebar. "Jangan bilang kau sudah menargetkan Adora Hils sejak awal?"

"Kalau iya, kenapa? Kalau tidak, kenapa?"

"Jadi ini alasan kenapa kau selalu memesan satu kursi paling depan?"

Satu anggukan Mark berikan. "Tapi Adora juga selalu menolak. Dia terlalu rendah hati. Pilihannya tetap jatuh pada kursi di barisan paling belakang."

Enggan memantik api di tengah malam, Jeffrey akhirnya berakhir mengalah. "Sudahlah, lupakan saja. Semenjak kakekkmu mengejar tanggal pernikahan, kau semakin liar saja."

**

"Sebentar lagi musim semi akan tiba," kata Alicia ketika dia sudah berdiri di sisi Mark. Berbeda dengan seluruh tim Muse.ic yang membawa koper besar mereka sendiri, koper milik Alicia malah terlihat ada dalam pengawasan Mark sejak awal.

Menjadi cucu sulung dan juga anak sulung jelas membuat Mark terbiasa menjadi tumpuan seluruh keluarganya. Entah itu untuk saudara sepupu ataupun kandung, selama Mark ada bersama mereka maka segala hal menjadi tidak lagi mengkhawatirkan. Mark adalah tipe kakak lelaki idaman, terbukti dari seberapa besar perhatiannya pada cucu Adams yang lain, entah itu Alexa, Rose, Natt, Alicia, dan bahkan Aaron sekalipun.

"Apa yang akan aku katakan pada kakek kalau dia bertanya tentang kepulangan kakak yang ditunda?"

Mark menoleh, agak merunduk untuk dapat bertatapan langsung dengan Alicia. "Katakan saja ini karena ulahnya sendiri."

"Dia menyiapkan pernikahan mendadak," bisik Jeffrey ikut bergabung. "Yang mendadak biasanya tidak bertahan lama."

"Hush!" Alicia mendelik sembari menyikut perut lelaki itu agak keras. "Masih untung Kak Mark yang maju menikah. Kalau Alexa bagaimana? Bisa runtuh dunia."

"Alexa juga dikejar menikah?!"

"Ya. Lalu kalau Alexa menolak, dia akan langsung mengejar Rose, begitu terus. Intinya sekarang keluarga Adams memang sedang mencari tumbal," sahut Mark di tengah gelak tawanya.

"Mengerikan," desis Jeffrey miris. "Kalian mempermainkan pernikahan semudah ini."

"Maka dari inilah kau seharusnya mendukung niatku untuk menetap sementara di Bern. Ketika aku menjatuhkan target pada Adora, itu berarti aku akan menguji keseriusanku sendiri."

"Masih ada tiga musim lagi sebelum kau menetapkan pilihan, kak. Pikirkan baik-baik dulu. Kalau memang sudah tidak ada jalan lain, Kak Rose pasti bisa membujuk kakek."

Jeffrey baru hendak ikut menimpali ketika mendadak beberapa mobil hitam besar menepi ke arah halaman depan hotel. Tim muse.ic lainnya segera menyelesaikan doa mereka masing-masing lalu memberikan lambaian kecil pada Mark yang tidak beranjak dari tempatnya berdiri. Alicia pun turut bergerak. Dia mengambil alih kopernya dari tangan Mark kemudian menyempatkan diri memeluk lelaki itu agak lama, sebagai bentuk perpisahan.

"Bern bukan kota yang asing untuk kita, jadi aku yakin kau akan baik-baik saja disini," bisik si gadis lembut.

Mark mengangguk pelan seraya menepuk punggung adiknya beberapa kali. "Kau bisa mempercayakan semuanya padaku, seperti biasa."

"Wah, ini pertama kalinya kita berpisah setelah tujuh tahun bersama, ya? Aneh pasti membayangkan bagaimana tenangnya gedung agensi tanpa permainan pianomu." Jeffrey berkata sambil menepuk pundak Mark pelan.

Selesai menghantarkan Alicia dan seluruh tim Muse.ic ke dalam mobil perusahaan, Mark mengalihkan fokusnya pada pemandangan langit yang masih putih. Tumpukan salju kian menepis, mengangkat hawa dingin ikut pergi bersama mereka perlahan-lahan. Lama tenggelam dalam rindu kenangan masa lalu, Mark sampai tidak menyadari bahwa kini seorang gadis sudah berdiri di sisi kanannya.

"Kau datang terlambat," dengus Mark.

Adora terkekeh, menyelipkan anak-anak rambutnya yang berantakan tertiup angin ke belakang telinga. "Maaf. Jalanan agak macet karena tumpukan salju."

"Kau menumpang?"

"Ya."

"Sayang sekali kau tidak sempat bertemu dengan Jeffrey tadi."

"Bukan masalah," balas Adora tenang. "Sejak awal harapanku memang kecil sekali."

"Lantas kenapa?" tanya Mark agak mendesak. "Apa yang ingin kau tahu dari Jeffrey? Kenapa juga kau bisa mengenal manajer Muse.ic?"

"Sepertinya kau salah paham, Mark. Aku tidak memiliki niat mengenal Jeffrey, tapi ada orang lain di dekatnya yang ingin aku temui."

"Siapa?"

"Rahasia," bisik Adora tertawa. "Daripada kita membingungkan hal yang aneh-aneh, bagaimana kalau kau ikut pergi berjalan-jalan bersamaku di sekitar sini?"

Jadilah karena merasa mustahil menolak ajakan yang Adora tawarkan, Mark membiarkan gadis itu menarik langkahnya ke segala penjuru kota. Mereka naik ke sebuah bus dan menikmati pemandangan bekunya sungai aare sepanjang perjalanan. Hening setia menyelimuti. Tidak ada salah satu diantara mereka yang berniat mencairkan suasana sampai pada akhirnya Mark mulai bersenandung pelan.

"Bait pertama Chopin, winter wind?" tebak Adora tiba-tiba. Dia menoleh, membalas senyum Mark yang langsung bungkam di tempat.

"Aku tidak bisa melanjutkannya lebih jauh lagi, tapi jariku sudah ingin sekali menari."

"Kau memang menyukai musik? Atau mungkin karena sekedar paksaan?"

Mark berdecak geli. "Siapa memang yang bisa jatuh cinta karena paksaan? Ibuku dulu juga seorang pianis dari Jenewa. Dia menikah di dan tinggal menetap disana."

"Sampai hari ini?"

"Tidak. Setelah Alicia resmi bergabung bersama Muse.ic, mereka pindah kembali ke Manhattan, tempat dimana rumah keluarga besar Ayah berada. Kakekku berperan layaknya seorang raja, jadi dialah yang mengatur semua semua hal."

Kepala Adora mengangguk-angguk, entah mengerti atau hanya sebatas respon belaka

"Bagaimana keluargamu?"

"Aku?" Adora menunjuk dirinya memastikan. "Tidak ada yang istimewa. Sama sepertimu, setelah adikku, Johnny, mendapatkan pekerjaan di Zentrum Paul Klee Museum, ayah dan ibu memilih berhenti menjadi bagian dari orkestra dan menikmati kehidupan masa tua mereka disini."

"Orkestra? Berarti kau juga lahir dari darah seni?"

"Begitulah. Ayah dulu seorang maestro dan ibu seorang pemain biola. Seperti gaya musik mereka, kisah cinta mereka pun sangatlah terkesan klasik. Keduanya sama-sama bertemu pertama kali di Konzert Theater Bern, tempat dimana kau menampilkan pertunjukkan musikmu."

Mark mengangkat salah satu alisnya, terkesan menggoda. "Jadi kau juga selalu datang ke gedung itu karena sebuah alasan, kan?"

"Jodoh maksudmu?" Adora tergelak. Dia menjulurkan lidah pura-pura kesal. "Tidak ada yang namanya jodoh. Semuanya pilihan. Pilihanmu untuk menikah, pilihanmu untuk tidak menikah, pilihanmu untuk berpisah."

"Ibuku juga memiliki pikiran begitu, tapi karena keluarga sudah terlanjur mendapat kehormatan tinggi, maka pilihan yang kedua dan terakhir terpaksa harus ditendang keluar."

Adora meringis, bersamaan dengan laju bus yang mendadak berhenti. Dia menyimpan kalimatnya di dalam hati, lebih memilih agar cepat-cepat menarik tangan Mark turun dari bus tersebut. Ketika kaki mereka memijak aspal jalanan yang tertutupi timbunan salju, Mark berjengit kaget, merasakan bagaimana hangatnya telapak tangan Adora kini bergerak menggenggamnya erat-erat. Padahal mereka tidak sedang menyebrang, tapi genggaman itu terasa semakin erat dari langkah ke langkah.

"Kau pasti kedinginan," kata Mark gemas.

Adora merunduk, melihat kembali pakaiannya. Dia sudah memakai kaos panjang di balik coat cokelat tebal dan juga sebuah syal putih terlilit agak berantakan di lehernya. Untuk sesaat, dia masih bingung akan ucapan yang baru saja Mark lontarkan. Barulah ketika matanya tanpa sengaja melirik genggaman tangan mereka sekilas, Adora tampaknya pelan-pelan mengerti.

"Aku takut kau akan tersesat disini!" serunya malu-malu.

"Benarkah? Lupa ya kalau Bern juga salah satu kampung halamanku?"

Adora hanya mencibir, enggan mendongak untuk menatap balik si lawan bicara. Dia kemudian mencoba mengalihkan fokus Mark dari wajahnya dengan cara menarik lelaki itu mendekat ke arah sebuah Bundeshaus yang merupakan gedung parlemen Swiss. Mark menganga, menatap antusias seluruh lapangan beku di hadapan mereka. Beberapa orang, bahkan anak-anak kecil terlihat saling bergandengan tangan dan meluncur di atas permukaan es. Ketertarikan Mark akan hal-hal kecil nyatanya sukses membuat Adora menarik sudut bibirnya membentuk seulas senyum.

"Aku pikir hidupmu sudah luar biasa."

"Salah besar," balas Mark singkat. "Bolehkah aku bermain juga?"

Adora mengangguk.

"Jujur, ini kali pertama aku datang ke Bundesplatz saat musim dingin." Mark berkata sambil pelan-pelan mencoba melangkah di area seluncur es. Dia awalnya sempat kesulitan memasang sepatu ski, tapi untunglah ada seseorang yang mengerti segalanya.

"Baguslah pilihanku tidak salah," gumam Adora lega. "Tadinya aku takut kau ternyata sudah mengenal seluruh tempat menakjubkan di Bern."

"Jarak umurku dan kelima saudaraku sangatlah dekat. Jadi saat musim dingin tiba di Bern, kami yang masih berumur kecil hanya dapat duduk bersama di depan perapi- Ah!"

"Pelan-pelan!" Adora berseru panik. Dia menangkap lengan Mark dengan sigap ketika dilihatnya lelaki itu nyaris limbung ke arah depan. "Ini kan pengalaman pertamamu! Cobalah untuk tenang sedikit!"

Mark tertawa keras sekali sampai kedua matanya menyipit membentuk bulan sabit. Dia balik menyentuh telapak Adora yang masih bertengger di bahu kirinya lalu mendadak bungkam. Entah karena sensasi akan terjatuh tadi atau karena memang dia sudah terlanjur jatuh cinta, Mark merasakan jantungnya seperti sedang dipompa habis-habisan.

"Kau baik?" Adora bertanya khawatir. "Kita kembali sekarang?"

"Tidak perlu. Aku baik-baik saja."

Adora mengangguk pelan, kembali berusaha memposisikan Mark untuk berdiri dengan tegap di atas sepatu skinya. "Kupikir kakimu di atas es akan selihai tanganmu di atas tuts piano."

"Berbeda, bodoh!"

Adora merunduk spontan saat tangan Mark terjulur naik ke atas kepalanya. Dia pikir dia akan mendapatkan satu pukulan lembut di atas kepala, tapi bukannya pukulan, Adora malah merasakan usapan lembut disana. Netra hitamnya mengintip takut-takut, menemukan wajah Mark yang teduh sibuk menyingkirkan debu-debu salju di atas kepalanya.

"Aku tidak tahu musim dingin akan terasa sehangat ini," bisik Mark. "Atau mungkin karena kau bersamaku, ya?"

"Sembarangan!" Adora memekik tajam seraya menarik telinga Mark. "Apa kau sudah lelah?"

"Tentu saja tidak."

Seharian penuh akhirnya mereka habiskan untuk bermain ski di lapangan Bundesplazt yang beku, bahkan tak jarang saling iseng melemparkan bola salju ke arah satu sama lain. Mark tidak tahu dia bisa tertawa sepuas itu, tapi hari ini dia merasakannya. Bukan hanya tawa canggung seperti yang biasa dia lakukan di sekitaran gedung agensi Muse.ic, tawa kali ini benar-benar terasa berbeda. Mark tahu dirinya bahagia ketika matanya terkunci hanya pada sosok Adora.

"Kau mendorongku!" Adora berteriak di tengah tawa merdunya. Dia jatuh terduduk di atas permukaan es dengan kedua tangan yang menggapai-gapai naik meminta pertolongan.

Mark mendengus, menjulurkan tangannya untuk membantu tapi bukannya bangkit berdiri bersama tarikan Mark, Adora malah balik menarik tubuh Mark sekuat tenaga hingga lelaki itu ikut terjerembab hampir menimpanya.

"Menyingkir dari kakiku, dasar kau berat!"

"Salah siapa?"

Adora mendelik tidak terima.

"Iya iya salahku."

**

"Ke rumah siapa?"

"Rumahku, Mark Adams." Adora mengulang, lebih tegas dari sebelumnya. "Kau mungkin akan membutuhkan waktu yang lama untuk berkunjung lagi ke tempat ini. Jadi kalau ada waktu sekarang, kenapa menunda-nunda?"

"Tapi ini baru hari pertama."

"Orang tuaku juga berkenalan resmi di hari pertama."

"Oh jadi sekarang kau sedang membandingkan kita dengan kedua orang tuamu?" goda Mark jahil. "Kau ingin menikah juga? Bagus, kebetulan aku juga butuh seorang mempelai."

"Kau belum siap menikah!" gerutu Adora. "Kau masih terlalu kekanakkan!"

Mark memutar bola matanya jengah. Dia menyimpan kedua telapak tangan di dalam saku lalu berjalan mendahului Adora, membiarkan gadis itu menarik-narik kembali lengannya sambil mengucapkan kata maaf berkali-kali. Bukan kesal tapi Mark lebih merasa agak tersinggung. Ucapan Adora jelas ada benarnya. Dia belum siap menikah, dia belum siap membangun sebuah rumah baru dan bahkan dia belum siap akan kehidupan pernikahan yang mengikat.

Pernikahan para keluarga Adams sejauh ini tidaklah pernah berakhir di tengah jalan. Mereka jarang berkonflik, walaupun orang tua Aaron nyatanya telah gagal membangun rumah yang harmonis. Cinta mereka pudar di tengah jalan, menjadikan Aaron sebagai satu-satunya alasan kenapa mereka memilih tetap bertahan. Tidak jauh berbeda dari orang tua Aaron, Kakek Adams pun rupanya mengalami hal yang sama. Di umur pernikahan mereka yang kelima puluh, dua tahun sebelum Nenek Adams meninggal, keluarga diam-diam mengetahui satu rahasia besar lain.

Sang Nenek ternyata tidak pernah mencintai Kakek Adams.

"Kelangsungan pernikahan yang baik bukan kita dapat dari keturunan," gumam Adora tiba-tiba. "Tidak ada yang menjamin pernikahanmu akan berhasil."

"Untunglah bukan dari keturunan," sahut Mark cuek. "Pernikahan keluargaku juga tidak sempurna-sempurna sekali."

"Kenapa kita malah membahas ini?"

"Kau yang mengungkitnya lebih dulu."

Adora menggelengkan kepala ribut. Tangannya naik ke atas dan menunjuk salah satu rumah beratapkan genting cokelat disana. "Lupakan! Kau lihat rumah yang bercerobong asap paling ujung? Itu rumahku."

"Kau masih tinggal di rumah? Wah, aku iri sekali."

"Mana mungkin!" Adora mengelak. "Aku tinggal di apartemen Armotti Lorraine di Lorrainestrasse, tidak jauh dari bundeshaus tadi."

"Kau bekerja sebagai?"

"Salah satu dosen Universitas Seni Bern di Fellerstrasse."

"Pantas saja aku mudah jatuh cinta. Seni ternyata benar-benar melekat pada dirimu."

"Ada yang mungkin akan lebih jatuh cinta hari ini."

Mark mengendikkan alisnya sesaat, merasa heran atas perubahan raut Adora yang sangat cepat. "Siapa?"

Gadis itu tersenyum geli sambil mendorong pintu kayu di hadapannya, mempersilahkan Mark masuk lebih dulu ke dalam rumah. Butuh waktu beberapa menit bagi Mark untuk memberanikan diri melangkah maju. Rumah kelahiran Adora masih mempertahankan balok kayu sebagai bahan utama, sangat jauh dari kesan mewah. Meskipun begitu, dekorasi di dalam ruangan diatur serapi dan semenarik mungkin. Agak banyak Mark jadi merasa seperti dia sedang berada di rumah kakeknya. Perabotan-perabotan yang lampau tapi unik menandakan gaya hidup orang tua Adora nyaris sama dengan gaya hidup Kakek Adams di Manhattan.

Oh, kalau sudah begini, Kakek Adams pasti akan cepat memberinya restu, kan?

"Adonia, kau sudah datang?"

"Adonia?"

"Nanti akan kujelaskan," bisik Adora buru-buru. "Sekarang kau masuk saja dulu. Mengerti?"

Layaknya anak kecil, Mark lantas mengangguk tanpa jeda. Dia mengulurkan tangannya ke arah si gadis, meminta sebuah genggaman, yang hebatnya langsung diterima senang hati oleh Adora.

"Aku pulang!"

"Oh, benar! Tunggu, siapa itu?"

Mark membungkuk sedikit, lupa bahwa genggaman tangannya dan Adora belum terlepas. Adora tersenyum kaku, mau tidak mau berakhir ikut membungkuk karena terikan pada pelan pada lengannya.

"K-kau- Bagaimana kau bisa membawa seorang Mark Adams ke rumah?!" Ibu Adora memekik terkejut. Dia meletakkan nampan penuh hidangan makan malam di atas meja dapur, susah payah menahan kakinya agar tidak lemas.

Ayah Adora ikut mengintip dari balik sebuah pintu kamar. Matanya mendelik lebar menatap sosok Mark di ruangan tengah mereka. "A-Adora, apa yang kau sudah lakukan? Masalah lagi?"

"Tentu saja bukan, Ayah! Mark adalah temanku. Baik, teman baru maksudnya. Kami baru bertemu tiga hari lalu di tempat Muse.ic melakukan pertunjukkan seni," jelas Adora jujur. "Kenalkan ini Ayah dan Ibuku. Thomas dan Paulina."

"Apa kau sudah makan? Bergabunglah bersama kami malam ini. Bagaimana?"

Mark mengusap tengkuknya kaku. "Ka-kalau memang tidak merepotkan-"

"Tidak! Tidak pernah merepotkan!" sela Paulina nyaris berteriak. "Aku baru saja membaca artikel beritamu di kolom internet. Walaupun tidak turut hadir disana, aku yakin pertunjukanmu pasti sudah berjalan luar biasa."

"Kau membawakan lagu La Campanella?"

"Iya!" Adora menyahut antusias. "Ayah harus mendengarnya lain waktu. Di Bern, ini kali pertama ada seseorang yang membawakan lagu La Campanella serapi itu."

Thomas tersenyum tipis. Dia berbalik dan berjalan menuju salah satu ruangan tanpa ada pintu sebagai pembatas. Mark pun didorong Adora untuk mengikuti langkah Ayahnya sampai mereka bertiga sampai pada sebuah tampilan grand piano antik berbahan kayu di depan jendela kaca.

"Lantas kenapa tidak mencoba sekarang saja?"

tbc

Next chapter