webnovel

Bab 1

Aji sedang duduk di pinggir ranjang kamarnya, mukanya tertunduk. Pandangannya sayu, pikirannya terbang jauh dari tubuhnya.

Bayangan wajah seorang wanita muncul di pikirannya. Seorang wanita yang cantik, tanpa ekspresi di wajahnya. Wanita yang selama ini selalu menunggunya di rumah. Wanita yang senyumnya selalu terang dalam keadaan sulit sekalipun. Wanita yang tidak pernah mengeluh, selalu mengerti apa yang orang lain rasakan dan kadang mengesampingkan perasaannya sendiri.

Dibukanya lemari pakaian yang ada di sudut ruangan. disana tergantung beberapa pakaiannya, dan ada pula pakaian wanita. Diambilnya salah satu baju terusan berwarna kuning pucat yang tergantung disana. Mata pria itu memeriksa dengan seksama baju yang ada di genggaman tangannya. Didekatkannya pakaian yang dipegangnya itu ke hidungnya, hingga menempel. Kemudian dia tarik nafas dalam-dalam, meresapi bau yang menyeruak dari kain baju itu.

"Laras..." gumam pria itu.

Saat ia menyebut namanya, ingatannya tentang wanita itu semakin membanjiri memorinya. Senyuman, sentuhan, kasih sayang dan cinta yang begitu besar. Ia ingat semua itu.

Mata pria itu terasa begitu panas, sampai ia berusaha menutup matanya sekeras mungkin. dahinya berkerut, menahan air mata yang tak terbendung. Tak mampu menahan lebih lama, didekapnya baju yang masih dipegangnya itu ke dadanya sambil terisak. Perlahan, isakan kecil itu menjadi semakin keras. Begitu keras hingga ia tersedu-sedu.

Beberapa saat kemudian, tangisannya berhenti sekejap. Pria itu seperti orang yang linglung selama beberapa detik.

"...Untuk apa..."

Pria itu mengusap wajahnya yang basah karena air mata.

"...Kalau begini, untuk apa aku masih disini?" tanyanya entah pada siapa.

Pria itu langsung memasukkan kembali baju terusan tipis itu ke dalam lemari dan keluar dari kamarnya.

Ia berjalan menuju gudang yang ada di ujung rumah.

   

***

2 Hari Sebelumnya

Malam hari pukul 9 lebih 10 menit. Di sebuah ruangan yang cukup luas, suara ketukan pintu terdengar. Seseorang di dalam ruangan yang mendengarnya dengan santai membenarkan duduknya di sebuah kursi putar. Ia memperbaiki posisi plat namanya di meja yang bertuliskan 'Wahyu Eka'.

"Masuk," jawabnya pada orang di luar ruangan.

Pintu terbuka, menampakkan seseorang pria tegap memakai pakaian tentara sambil membawa berkas di tangannya.

"Sersan Aji," sapa Wahyu.

"Lapor, Operasi Pertahanan Benteng Barat berhasil diselesaikan," sahut orang yang disapa, sambil tangannya membentuk sikap hormat. "Warga yang ada disana sudah berhasil dievakuasi. Dan saya juga menemukan informasi mengenai tujuan sebenarnya dari kelompok misterius itu," tambahnya sambil menyodorkan sebuah folder.

"Baik. Berkasnya kau taruh saja dulu di meja."

"Siap. Apakah ada maksud lain anda memanggil saya kesini?" tanya Aji langsung.

"Ya. Sebenarnya aku punya kabar buruk untukmu."

Aji mengerutkan dahi. Pikirannya mencoba mencari-cari apa yang mungkin sedang terjadi.

"Aku dapat laporan bahwa istrimu terkena musibah," kata Wahyu, menghela napas. "Dia ditemukan meninggal dunia pagi tadi."

Aji tersentak. Raut mukanya masih tidak percaya kata-kata dari atasannya itu.

Tidak. Tidak mungkin.

"Dari laporan yang aku dapat, istrimu mengalami kecelakaan di kamar mandi. Sepertinya tidak ada yang mengetahui kejadian ini sampai tetanggamu menemukan istrimu dan melaporkannya ke polisi."

Aji menunduk sedalam-dalamnya, menahan kecamuk di kepalanya yang luar biasa.

Letnan Wahyu tidak mungkin berbohong.

"Apakah dia sudah dimakamkan?" tanya Aji dengan suara bergetar.

"Ya, tadi siang saat kau sedang bertugas. Aku mau memberikan kabar ini padamu secepatnya, tapi aku takut kau malah tidak konsentrasi pada tugasmu dan membahayakan rekan-rekanmu disana."

Rasa sesak semakin melingkupi dada Aji.

"Setelah ini kau boleh segera pulang. Urusan lainnya bisa dikerjakan nanti. Cepat kemasi barangmu dan pulanglah."

"Terima kasih. Siap, laksanakan."

Dengan air mata tak terbendung, Aji keluar dari ruangan itu.

***

Sesampainya di gudang, Aji menemukan sebuah lemari yang cukup besar. Dibukanya lemari itu, menampakkan isinya berupa beberapa senjata api sekelas pistol dan pisau untuk survival. Diambilnya salah satu pistol revolver yang ada disana, dan sebutir peluru dari laci lemari.

Pistol itu mengeluarkan bunyi klik saat Aji mengisikan peluru ke dalamnya. Setelah melepas pengamannya, Aji membuka lebar mulutnya, menodongkan pistol itu kedalamnya.

Jari telunjuk sudah bersiap hendak menarik pelatuk.

Walaupun samar, tangan yang memegang pistol itu terlihat gemetar.

Bagaimanapun juga, kematian adalah sesuatu yang tidak pernah dirasakan manusia yang masih hidup. Apa yang akan menantinya di sana?

Pikiran Aji mulai ragu.

Jadi cuma begini akhirnya? tanyanya pada dirinya sendiri. Sisi lain dari dirinya ingin menghentikan kegilaan ini.

Tidak adakah satu hal saja, yang membuatku tidak ingin mati saat ini?

Aji menatap ujung laras pistolnya dengan mata berair.

Semua pencapaian yang ia dapatkan hingga saat ini, bisa ia capai karena ada Laras yang selalu ada di sampingnya. Tanpa gadis itu, apa yang bisa dia lakukan? Kebahagiaan yang ia dapatkan itupun, Laras pula penyebabnya.

Kalau Laras harus pergi dari dunia ini, lantas apa yang harus Aji lakukan agar bisa bertemu dengannya lagi?

Mati?

Ya, yang tinggal kulakukan hanyalah mati agar bisa bertemu dengannya lagi.

Tak peduli apa yang akan aku hadapi nanti disana, selama ada Laras di sampingnya, mungkin semua akan baik-baik saja.

Tangan Aji kembali bertenaga, telunjuknya perlahan menekan pelatuk pistol di tangannya.

"Laras..."

Aji menutup kedua matanya. Air matanya berlinang melewati pipinya.

"Sebentar lagi kita akan bertemu..."

Tiba-tiba pintu gudang terbuka dengan keras, dan seseorang dari luar berlari langsung ke arah Aji.

Aji yang masih mencerna keadaan, tidak mampu bereaksi dengan cepat saat sebuah bogem mentah mengenai hidungnya. Sontak ia pun jatuh tersungkur dengan hidung belepotan darah, pistolnya terlempar entah kemana.

"Sekarang belum saatnya anda untuk mati," ujar seseorang yang baru saja memukul Aji. "Ada tugas baru menanti, dan juga istri anda sedang menunggu anda."

Aji hanya memandang orang tersebut dengan tatapan kosong, sambil mengusap darah di bibirnya.

"Z-Zulfikar..."

***

"Apa maksudmu, Zul?" tanya Aji. "Kau bilang Laras sedang menungguku. Padahal kau tahu sendiri dia sudah pergi. Dia sudah meninggal!" ujarnya sambil menahan emosi.

Aji dan pria yang dipanggil Zul itu sedang berada di ruang tamu rumah Aji, dengan samar-samar cahaya matahari yang mulai tenggelam menembus jendela rumah.

"Saya tidak bercanda." Zulfikar mengeluarkan sesuatu seperti amplop surat dari dalam ransel kecilnya, menaruhnya ke atas meja di depannya.

Aji mencoba membaca ekspresi yang terpampang di wajah Zulfikar.

"Itu adalah surat yang diberikan oleh istri anda, ibu Larasati, kepada saya," ujar Zulfikar sambil melipat tangan di depan dada.

Aji mengambil amplop yang masih berisi surat itu, membolak-baliknya. Tidak ada tulisan apapun disana. Dibukanya amplop yang tidak ditutup dengan lem itu, dan dengan gerakan cepat Aji mengambil isinya lalu membuka lipatan kertas surat yang ada di dalamnya.

Teruntuk suamiku tercinta, Aji.

Kalau kamu membaca surat ini, itu berarti aku sudah pergi jauh meninggalkanmu, ke tempat yang semestinya tidak terjangkau olehmu.

Maaf, aku harus pergi seperti ini.

Mereka mungkin mengatakan kalau aku mengalami kecelakaan yang akhirnya merenggut nyawaku.

Kenyataannya, ini bukanlah suatu kebetulan yang sedang menimpa diriku.

Tapi aku tak mengapa, aku bahagia dengan semuanya.

Terima kasih sudah membuat hidupku yang singkat ini terasa begitu menyenangkan untuk dijalani.

Aku bersyukur kepada Tuhan setiap hari untuk hidupku yang begitu indah ini. Tidak, setiap jam. Atau mungkin setiap detik.

Seandainya aku bisa memilih untuk bersamamu sedikit lebih lama lagi. Itu saja sudah terlalu indah untuk aku bayangkan.

Sekali lagi aku ucapkan terima kasih, juga maaf.

Semoga kebahagiaan selalu menyertaimu.

Istri yang selalu mencintaimu, Larasati.

Aji memegang kertas surat itu dengan kedua tangannya yang bergetar.

"Apa ini... Kenapa..." Suara Aji terdengar pelan dan bergetar. Kepalanya tertunduk lemas. "Padahal dialah yang memberikan segalanya buatku... Akulah yang harusnya berterimakasih."

Keheningan menguasai ruangan itu selama sesaat.

Zulfikar pun akhirnya membuka suara.

"Surat ini saya terima tepat sehari sebelum ibu Larasati meninggal. Beliau berpesan untuk memberikan ini kepada anda setelah saya selesai membacanya dan saat anda kembali dari tugas."

Aji mencoba menenangkan diri. Diusapnya air mata yang hampir tumpah keluar sambil sesenggukan pelan.

"Ini surat perpisahan darinya. Tapi, gimana bisa? Bukannya Laras kecelakaan di dalam kamar mandi?" Aji memandangi Zulfikar penuh tanya. "Apa ini semua sudah terencana? Bahwa dia memang sudah diincar seseorang?"

"Menurut saya, ini ada hubungannya dengan organisasi misterius yang kemarin dihadapi oleh Detasemen

"Maksudmu?"

"Beliau tahu bahwa saya lah yang bisa membawa anda berdua kembali."

Aji mengalami kesulitan memahami kata-kata Zulfikar. "Apa kau mau bilang kalau dia bisa hidup kembali? Omong kosong macam apa ini, Zul?"

"Saya kira anda sudah tahu bahwa saya sangat berminat terhadap ilmu pengetahuan, fiksi sains, dan semua yang berbau sejarah," kata Zulfikar sambil melipat tangan di dada. "Apa yang sudah terjadi kepada ibu Larasati ini, sering terjadi di masa lampau dan di berbagai tempat."

"Bagaimana kalau saya katakan bahwa ibu Larasati saat ini sedang berada di sebuah tempat yang berada di dimensi lain, dan tubuhnya yang dimakamkan di sini adalah bukan tubuhnya?"

"Jangan bercanda. Ini lawakan yang sangat jelek, dan aku bisa memukulmu kalau kau tidak berhenti."

"Kalau anda tidak percaya, kita bisa membuktikannya malam ini dengan menggali makamnya lagi. Kita cek apakah di dalamnya masih ada jasad istri anda, atau ada sesuatu yang lain."

Aji menggebrak meja dengan keras.

"Apa kau gila? Kenapa juga harus dengan membongkar makam? Mana mungkin... Mana mungkin aku bisa melakukannya?"

Zulfikar mencoba mengatur nada suaranya agar tidak memicu emosi Aji lebih dalam. "Anda harus percaya pada saya. Ibu Larasati juga adalah sahabat saya. Kalau anda mau, saya bisa tunjukkan studi-studi saya sendiri terkait masalah ini."

Aji menghela napas berat, dan menutup matanya sejenak.

"Oke. Tunjukkan padaku."

****