webnovel

Family

Maverick Cornel, pria sebaya ayah tiriku itu baru tiba. Memarkir sedan import lawasnya tepat disamping mobil tua Kendrick, si penjaga Gereja. Pria itu bergaya norak, dengan rambut keabu-abuan yang disisir menutupi bagian setengah botak yang nyaris separuh diameternya. Beruntung dia punya postur tegap, sisa tempaan masa tugasnya di marinir. Perutnya masih rata, dan bahu simetris yang bergerak konstan seiring kakinya menjejak aspal dingin halaman Gereja. Dia melirik sebentar mobil di sampingnya. Barang tua itu sudah menjadi penghuni halaman parkir sejak dua hari lalu, pasal sang pemilik belum sempat mengurusi sejak penyakit encok musim dinginnya kumat lagi. Kasihan Kendrick-padahal aku sering meminta bantuannya untuk urusan Morgan. Yeah, that Morgan. My step father.

Kupandangi langit yang membentang tanpa batas di atasku. Agak abu-abu dan miris equivalent dengan kenyataan Maverick. Si abu-abu yang menyedihkan.

Musim ini membuatku jengkel. Kuintip lagi laki-laki itu sambil berjongkok dari tempatku. Kenapa dia selalu ada waktu untukku, padahal boleh dibilang dia manusia paling sibuk dengan jadwal kerjanya di Instansi Security Kota. Maklum saja, ketika dia pensiun dari kemiliteran, tenaga dan pikirannya masih diperbantukan untuk melakukan pekerjaan lain yang berhubungan dengan sistem keamanan. Pria itu mengerikan-aku sudah menduganya.

BRAKH. Tangan berbulu Maverick menggebrak atapnya, lalu sedikit terkekeh dengan kondisi spion yang menggantung rusak. Mulutnya belepotan bekas roti isi dan belum sempat diusap, tapi beringas menyeruput kopi dari cup plastik di tangan kirinya. Alis albinonya berkedut sewaktu klakson mobil Ny. Hopskin melintas, wanita itu meninggalkan halaman Gereja dengan muka pucat, mungkin gelisah dengan aksi sosial penggalangan dana untuk kemajuan Gereja. Dia terlalu aktif dan sering sakit. Kausalitas yang akhirnya membuat rancu.

Wanita itu teman Mom, meski tidak akrab. Mereka sering bertemu di rumah, terkadang dia menyapa, mengatakan Rachel, putrinya mengirim salam. Rachel gadis manis, yang sering mencuri beberapa kamus tentang keseharianku dari Alena. Ya, Alena, adikku itu. Dia cerewet, dan terlalu aktif. Semua orang di kota ini dia kenal, dan mengenalnya, termasuk Nicky. Dia memang ramah, terlebih dia putri dari ayah tiriku, yang notabene dikenal punya kredibilitas yang sempurna di mata semua orang. Jadi begitulah, Rachel dan Alena berteman untuk beberapa informasi. Demi Tuhan, aku sungguh membenci konspirasi. Ingin sekali aku mencetak kata konspirasi itu menjadi gantungan kunci.

Dia berjalan masuk ke dalam gedung, kemudian muncul lagi dengan cepat. Pria itu benar-benar mencariku. Terus terang, aku ingin bersembunyi lebih lama, tapi sore ini angin dari Utara berhembus menegangkan, dua kepalan tanganku tersimpan manis dalam saku hoody sejak tadi. Menunduk mengamati snikerku, juga selakanganku. Ada apa dengan selakanganku. Ya, tentu saja ada hubungannya.

Aku benci pria itu, Maverick, yang terkadang membuatku merasa seperti dinodai dengan senyuman mesum ketika dia mengarahkan mata joroknya pada selakanganku. Aku sudah mengira dia itu gay, terlihat dari cara dia tersenyum dan menatapku-seperti ada maksud terselubung. Aku senang seandainya yang melakukan semua itu adalah Nick. Memang kesal, menjumpainya di waktu yang kupaksa senggang ini bukan kemauanku. Tak perlu dilihat statisticnya, karena grafiknya akan terus bertambah dari sekon ke sekon. Morgan bilang, aku bersuara bagus, pantas menjadi solois Gereja untuk kebaktian lusa. Ya, hari-hariku selalu dipenuhi oleh suasana religi. Di rumah, Morgan memintaku bermain gitar dan pria dengan suara malaikat itu menyanyikan pujian dengan lantang. Mom yang selalu dipanggil Martha oleh suaminya itu, senang ada keharmonisan dalam lingkup keluarga. Dia memujiku juga. Wanita tercintaku itu bangga aku hidup dengan baik, diantara orang-orang baik yang mengenal Tuhan. Sebenarnya pun tidak perlu dipusingkan untuk menjadi orang baik, karena kupikir, menjadi orang beriman itu hanya memerlukan niat baik. Tuhan itu berada di dalam hati orang baik. Just that- Religion is only about boundery.

Aku masih bersembunyi dari pria berdarah Jerman itu. Punggungku pegal rasanya menempel pada dinding di pojokan gedung dengan nuansa Pastel dan orange. Kental bergaya Mexican, dengan artdeco cantik menghiasi menara loncengnya. Setiap minggu selalu kusambangi bersama Morgan dan Alena. Ibuku seorang Katolik. Dia tidak ikut kebaktian Gereja Kristen, tapi sesekali dia muncul untuk membantu Morgan melakukan perjamuan Kudus. Mom wanita yang baik, berpakaian sopan, dan selalu tersenyum. Dia tidak terlalu cantik, tapi kecantikan hatinya tercermin indah di wajahnya yang mulai terkikis masa senja. Dia belum lima puluh tahun, masih senang memoles wajah dengan make up sederhana. Berbeda jauh dengan Alena, yang mungkin punya gaya lebih atraktive.

Maverick, dia mengedarkan pandangan ke segala arah, mencariku. Sudah tigapuluh menit aku berdiri. Rasa pegal dan kaku karena kesinginan sudah merambat di sekujur kulit dadaku. Pakaianku terlalu tipis untuk menghadapi udara musim dingin di awal Desember ini. Aku benci musim dingin, aku benci mendengar aturan, aku benci berada di sini, benci pada gerutu Morgan ketika dia menyuruhku untuk lebih aktif lagi di Gereja. Terlebih lagi aku benci Maverick.

Kenapa Morgan harus menyuruhku belajar vokal pada pria itu, sedangkan dia sendiri bisa mengajariku melavalkan tangga nada. Aku seorang tenor. Suaraku tinggi dan manis. Akil balik mungkin sedikit merusaknya, tapi tidak berpengaruh banyak, karena bakat menyanyi turun dari Mom. Dia seorang pemazmur di Gereja Santa Maria. Kelenjar testoteronku membangun segalanya, aku bertumbuh menjadi pemuda bertubuh jangkung dan berkulit bagus. Bola mataku cemerlang, membulat menggemaskan menurut Mom. Tidak ada yang memujiku sealin dia. Alena bahkan cenderung memuji Nicky. Entah dari mana dia tau kalau Nicky juga bisa menyanyi. Tone rendahnya itu sudah dipastikan tenggelam dalam cresendro. Sejujurnya dengan tehnik vokalnya yang pas-pasan itu dia lebih mahir dengan stacato-beatnya terputus-putus untuk aliran music hip-hop.

"Apa kau melihat Charly?" terdengan suara Maverick menanyakan diriku. Entah siapa yang dia tanya- apa aku harus kabur saja. Bagaimana nanti kalau dia menghubungi Morgan dan mengadukan kelakuanku. Mom juga pasti akan tahu. Ini menyedihkan, karena pada akhirnya, mereka akan berdebat karena aku.

"Charly. Hm, I don't know." Suara gadis yang menjawab. Kuintip sebentar- dia Anna. Hm, Anna yang cantik. Jantungku berdegup. Dia putri Paman Harold, penjual antique di dekat sini. Dia masih adik kelasku.

Kelihatannya Maverick masih bersikeras ingin bertemu denganku. Hhhh... "Bisakah kau hubungi Charly agar dia mau datang. Kau tau, hari minggu besok dia akan memimpin lagu." sepertinya membujuk Anna untuk menghubungiku-tapi apakah Anna punya nomorku. Oh tidak, jika dia tau, maka suara panggilan masuk itu akan terdengar.

Cepat-cepat ku langkahkan kakiku meninggalkan pojokan gedung, tapi, "Charming!" sebuah panggilan membuatku beku. Dari arah kananku muncul Shawn. Astaga, dia itu benar-benar sialan. Sudah kubilang jangan memanggilku dengan sebutan itu. Kutarik lengannya, agar tak terlihat dari arah depan gedung. Si brengsek Maverick itu bisa melihatnya.

"Ada apa?" dia bertanya dengan muka bingung.

"Diamlah, aku sedang menghindari Maverick."

"Memangnya kenapa dengan dia. Bukannya kau ada janji berlatih menyanyi seperti katamu di sekolah tadi."

"Aku tidak suka dia."

"Kalau begitu jangan diterima cintanya."

"STUPID!"

Shawn terkekeh-matanya menyempit ketika tulang pipinya naik. Dia pria yang tampan, berwajah lembut dan ramah. Berteman dengan Shawn membuat hari-hariku seperti berada di tengah-tengah oasis.

"Apa kau berniat pergi?" Shawn menawari, tapi aku menggeleng pelan.

"Aku tidak bisa pergi, tapi juga malas jika harus sendirian bersama pria itu. Kau mau menemaniku, Shawn?"

Tangan Shawn menepuk pundak, kemudian mengangguk bijak. Mimik mukanya di buat serius, membuatku muak. Terkadang dia memang menyebalkan. Shawn itu menyukai Alena, hanya saja Alena lebih menyukai Nicky. Persetan Nicky-Hm! Aku mungkin cemburu. Tapi untuk apa dipikirkan. Tapi aku cemburu!

"Ayolah, aku senang menemanimu." ujarnya. Kami berjalan menemui Maverick. Entah kenapa Shawn merangkul pundakku, membuat kesan, jika kami ini sangat akrap. Kuputar bola mataku- masabodoh. Membiarkan pria di depanku, itu memasang dua tangannya di pinggang, sementara Anna menahan nafas untuk beberapa sekon. Aku memberinya senyum supaya dia tenang.

"Kau terlambat." Tuding si tua itu.

"Aku bersama Shawn, tadi kami..." kulirik Shawn yang tak mengerti apa-apa, tapi senyumnya sudah cukup menyakinkan Maverick.

"Aku tidak mau kau terlambat lagi, karena aku sibuk. Apa kau tau itu young men?" Omongannya tak kujawab, memilih untuk memperhatikan Anna yang masih tampak malu-malu. Dia menggemaskan-

"Charly, aku ingin melihatmu berlatih vokal." Ucapnya.

"Baiklah. Kau pasti akan terpukau dengan suaraku."

"Ya, sebenarnya aku sudah pernah mendengarmu menyanyi, dan aku memang terpukau." Anna, menyibak rambut hitamnya dari wajah. Agh, aku suka rambut berwarna hitam.

"Ek-hem, apa kau sudah siap?" deheman pendek itu sukses, mengakhiri pembicaraan. Kakiku melangkah di belakang Maverick, sementara Shawn masih menemaniku. Anna tidak berani terlalu dekat denganku, dan sekali lagi dia membuatku terpesona. Ah, entahlah- aku menyukai Nicky, tapi aku juga menyukai Anna. Apa aku pria bisexual.

"Anna menyukaimu, Charly?" bisik Shawn

"Hm, mungkin." jawabku dengan senyum, lalu kulirik gadis itu yang kemudian membuang pandangan. Dia cantik, sederhana dan selalu menunduk jika sedang kupandangi.

"Ya, sebaiknya kau segera memacarinya, atau nanti akan ada yang merebutnya." Sekali lagi mengambil sudut lirikan pada Anna, dan kali ini dia melempar senyum yang entah apa maknanya. Mendadak Shawn menyenggol lenganku, memberi cengiran ambigu yang kupelototi dengan keji. Berpikir untuk memacari gadis sudah kupikirkan sejak berumur sepuluh tahun, tapi mendadak hatiku terjebak dalam dilemma ketika aku harus melihat Nicky sedang bercinta dengan Laura sebelum peristiwa di toilet sekolah waktu itu.

Jantungku berkejaran hebat, ketika menyaksikan sendiri Nicky melakukan hubungan percintaan itu di ruang ganti aula serba guna. Saat itu memang tak ada yang menggunakan ruangan itu-sepi dan tertutup. Tidak tau kenapa aku bisa kesasar sampai ke sana, hanya karena guru kesenian memintaku mengambil gitar yang tertinggal.

"Apa kau membawa patiturnya?" nada berat Maverick menghempas lamunanku tentang Nicky, dan ku tundukkan kepala, melihat isi ransel. Kurasa aku tadi membawanya, tapi kenapa. Kuangkat dagu sejenak, kemudian menoleh Shawn yang mengerutkan kening. Temanku itu memberi tatapan protes, mungkin dia berpikir kenapa melibatkan dia dalam urusanku. Yeah, ini membuatku membeku seketika. Aku lupa, dan, gerak periltastiknya terlihat jelas ketika menelan saliva.

Beberapa detik kemudian melengos pada salah satu alas musik yang terdapat di atas mimbar. Di atas keyboard itu terdapat beberapa lembar kertas, yang kemudian diambil pria itu sesudah ditelitinya. Dia membawa satu lembar, dan menatap Anna.

"Kau mainkan keyboardnya Anna!" perintahnya.

"Tapi aku tidak begitu bisa, Sir!" ucapnya malu-malu

"Aku bisa membantumu!" Shawn mendadak menjadi volunter.

"Hm!" dengusku pelan—sedikit kesal. Maverick menyodorkan kertas itu, menyuruhku untuk melihat tangga-tangga nada dalam not balok. Beruntung aku bisa membaca not balok sejak kelas 5. Ini bukan masalah besar- sebenarnya pun aku bisa memainkan nada-nada kromatik pada keyboard itu, tapi Maverick pasti tidak akan setuju. Dia menyuruhku untuk fokus menyanyi. Sorot matanya tajam, ketika tanpa sengaja kepalaku terangkat. Kami sebentar saling menatap, kemudian kupalingkan dengan cepat. Anna melambai ke arahku, memintaku untuk menyebutkan pada nada apa aku bernyanyi. Kuangkat bahuku-dan Maverick mendiktenya untuk memainkan dalam nada yang ada-sama yang tertera pada patiturnya.

Lagu ini- beberapa pada nada yang tinggi. Mungkin batasan suaraku tidak mencapainya, terlebih kini aku mempunyai nafas yang pendek. "Ambil nafas dalam-dalam dan hembuskan perlahan!" dia sudah mulai memberikan instruksi. Sepertinya latihan ini akan berjalan lama. Kudengar Anna sudah mulai melakukan intro. Dia cukup mahir, terlebih Shawn membantunya dengan beberapa kunci.

Aku masik sibuk dengan patitur yang didalamnya aku diharuskan menyanyikan lagu dalam tangga nada diatonis minor. Lagu yang mendayu-dayu. Kubuka mulutku untuk menggetarkan pita suara, membuatnya rileks agar bisa menghadirkan timbre yang halus.

"Apa kau sedang panas dalam?" mendadak hembusan nafasku terhenti karena batuk-tersedak oleh nafasku sendiri. Apa-apaan ini? Kenapa pria itu mempertanyakan hal diluar jalur. "Bibirmu pecah-pecah." lanjutnya, sambil kemudian mengamati kondisi bibirku, menaruh tangan berbulunya itu pada dagu dan mengangkatnya. Kini dengan lebih jelas dia bisa melihatnya. Matanya nyalang seperti elang yang menukik tajam, fokus pada satu tujuan...aku.

Sumpah demi Tuhan, aku tidak merasa kekurangan apapun. Panas dalam apa? Aku baik-baik saja-tapi tak berani menepis tangan itu, meski sekalipun kini dia tampak menyudutkan cengiran. Dia mengerikan. Pasti ada sesuatu yang sedang dia pikirkan, ketika menjamah bibirku dengan ibu jarinya itu. Oh Tuhan, "I'm okay, Sir!"

"Hm, kau tidak baik-baik saja. Biarkan aku memeriksamu di ruang pengobatan."

WHAT! "No, aku bersumpah, aku baik-baik saja Sir!" Masih dengan pengharapn dia tidak akan menyeretku ke ruangan tertutup.

"Aku merasa kau membutuhkan sesuatu." tangannya mulai mengambil lenganku

"I'm Okay, Sir!" ucapku lagi, dengan nada sopan. Pria ini bisa melakukan banyak hal padaku, termasuk itu mungkin menyerangku secara fisik. dari balik manik abu-abu itu, aku melihat dia sedang memastikan ucapanku, mungkin baginya sangat menarik, menyadari kegugupanku ini menjadi sebuah pertanda bahwa aku sudah mengerti dengan niatnya. Penilaian yang dia sampaikan lewat cengiran tipis disudut bibirnya itu, seketika membuat jantungku bergemuruh. Dia itu sedang mengerjaiku. Sialan! Apa dia punya kemampuan untuk melakukan test psikology mengenai mental seorang gay. Hhh... "Okay." singkatnya, sambil kemudian menyuruhku untuk berdiri agak jauh. Telunjuknya di tudingkan pada kertas di tanganku, dan itu artinya aku sudah bisa berlatih kembali. Aku sungguh membenci sorot mata itu!

Sekitar pukul tujuh, kami baru keluar dari gedung Gereja. Mataku mengekori Maverick, sampai pria itu benar-benar berada di dalam mobilnya, baru kemudian aku menoleh ke arah Shawn yang sedang berbicara dengan Anna. Mereka tampak sedang menertawakan sesuatu.

"Ayo kita pulang!" ajakku pada temanku itu.

"Aku akan mengantar Anna."

"Hm?"

"Aku tidak bisa membiarkan Anna pulang sendiri."

Kenapa sekarang aku merasa kalau aku ini bukan pria gentle. Kenapa harus Shawn yang mengatar Anna, bukankah aku bisa melakukannya juga.

"Charming!" panggil Shawn

"Diamlah, jangan memanggilku seperti itu."

"Memangnya kenapa? Apa ada panggilan khusus lain yang kau inginkan?" kelihatannya Shawn memang senang menggodaku, terlebih di depan Anna. dia sedang mencari perhatian, dan Anna sendiri tampak senang. Dia tidak berkedip, dan terus memperhatikan raut kesalku. Sebenarnya siapa yang dia suka, aku atau Shawn.

Temanku itu berjalan mendekat, menepuk pundakku dan menghempas nafas sebentar.

"Maaf, aku hanya menggodamu. Sebenarnya dia hanya ingin kau yang mengantarnya." kekeh Shawn sambil melirik Anna. "Anna, sekarang kau bisa pulang bersama Charming."

"Charly. Apa kau dengar itu, Shawn! jangan memanggilku Charming."

"Apa daya kau memang mempesona, Sayang." kekehannya meninggalkan samping kananku, berganti dengan figur Anna yang masih menatapku dengan senyum.

"Ibuku membuat pie aple. Apa kau mau mampir?" kalimat itu dia sampaikan setelah Shawn menghilang di tikungan

"Mungkin aku hanya mengantarmu saja, kau tau aku sudah ditunggu di rumah."

Anna tidak terlihat kecewa, dia sangat manis dan mengangguk. Poninya bergerak ringan ketika angin menghembusnya. kemudian kami berjalan meninggalkan halaman Gereja. Jalanan tidak terlalu ramai, di daerahku. Kami sangat menyukai ketenangan. Anna mengenakan sarung tangan berwarna peach, dan juga syal cantik berwarna sama. Aku tau neneknya senang merajut, dan membuatkan Anna beberapa atribut musim dingin yang cantik. Seandainya aku masih punya nenek.

"Aku suka ketika kau bernyanyi Charly." ucapnya selagi kita melewati toko roti Paman Arthur. mendadak aku merasa sangat lapar, tapi tentu saja aku tidak punya uang yang cukup untuk mentraktir Anna. Morgan membatasi uang jajanku, sedangkan Mom tidak punya penghasilan lain. Yeah, aku harus tetap menuruti aturan Morgan jika masih ingin bertahan hidup.

"Jadi kau tidak suka jika aku tidak menyanyi?" Agh, gombalan macam apa ini. kubuang pandanganku ke arah jalan. Mungkin Anna sedang terkekeh setelah mendengar omonganku. Sial, kenapa aku jadi seperti ini.

SET!Rasa kaget membuat tatapanku jatuh seketika pada tangan Anna yang merangkul lengan kananku. Waits! apakah ini artinya--

TIN. Suara klakson keparat itu membuyarkan nyawaku, begitu juga Anna. Mendadak sebuah SUV hitam terparkir di sebelahku. Seseorang dari dalamnya, membuka kaca jendela. "Anna!" panggil orang itu

"Oh Tuhan!" keluh Anna

"Siapa?"

"Jason." jawab gadis di sebelahku. Lalu pria bernama Jason itu keluar dan menghampiri kami, menarik tangan Anna dariku dengan muka angker. Kucoba meraba artinya, dan kemungkinan Jason adalah kekasih Anna. Oh Tuhan. "Kenapa kau tidak menghubungiku?" ucap pria itu pada Anna

"Ku pikir kau berada di LA."

"Aku sudah pulang."

"KAu tidak bilang."

"Lalu apa kau bisa seenaknya berkencan dengan pria lain."

"JASON!" Anna melirikku. Aku sungguh merasa kesal dan juga merasa tertipu. Kenapa Anna tidak bilang kalau dia sudah punya pacar.

"Anna, aku pulang duluan!"

"HEI!" seru JAson menghalangi langkahku

"Sudahlah Jason, kita pulang saja!" ajak Anna.

"Aku katakan padamu, Brengsek, Anna adalah pacarku! Jangan sekali-sekali kau mengambil keuntungan darinya, apa kau mengerti?" Kudiamkan omongannya, karena kupikir aku tidak perlu menjawab apa-apa. Anna mungkin sedang merasa malu karena dipergoki dengan cara seperti ini. Hm, gadis yang kupuji-puji sejak tadi ternyata,

Kutingalkan mereka yang masih beradu argumen di pinggir jalan, dan memutuskan masuk ke dalam toko roti Paman Arthut. Pikiranku sedang buruk. Bukan karena masalah Anna, tapi memikirkan apa yang harus kulakukan untuk hari selanjutnya. Apa artinya diriku. Dalam pola hidupku, saat diri ini menginjak pada proses mendewasakan pikiran, bersitegang itu menjadi camilan sehari-hari. Di dalam hatiku masih tersimpan sebuah hutang masa lalu. Akar emosi yang tersimpul rumit mengenai kedua orang tua kandungku.Perta nyaan seperti kenapa ayah meninggalkan Mom dan sebagainya itu seakan-akan menjadi Momok yang mengkatalisasi jiwaku dengan kehidupan luar. Selama ini apa yang kusebut bahagia bukanlah hal mutlak. Bagi seorang brokenhome person seperti diriku, bahagia itu hanya sebuah rasa semu. ketakutanku bahwa bahagia itu bukan milikku menjadikanku enggan untuk memeluk makna yang orang pikir hebat. Aku mudah menjadi depresi dan terganggu dengan omongan kasar terlebih sikap dan prilakunya. perasaan bahwa semua kata-kata itu menyerang dan menyakitiku, membuat hatiku hancur.

Next chapter