webnovel

Hidden.

Seorang wanita terbunuh dan aku adalah orang terakhir yang bersama dengan korban. Dan sialnya bukan hanya satu orang, ternyata ada satu korban lagi, dan satu lagi yang masih hilang. Wanita juga dan aku adalah orang terakhir yang bersama semua korban. Ini gila! Apa yang sebenarnya terjadi? Apa aku pelakunya? Apa aku yang membunuh mereka?

NurNur · Horror
Not enough ratings
30 Chs

» Dimas, Alexi, Kasturi, dan si Pembunuh. 

Ketika Dimas datang, ia melihat seorang pria yang berjalan memutar, menuju bagian belakang rumah.

*****

Kasturi masih berbaring di ranjangnya ketika ia merasakan sebuah tatapan menusuk punggungnya. Kasturi berbalik dan membuka matanya, dan di sanalah ia melihat seorang pria duduk dengan kaki disilangkan.

"Siapa?!" Kasturi yang tersentak, segera bangun dan bersandar di dinding. Bersikap defensif.

Pria yang duduk di sebelah ranjang menampakkan senyum antusiasnya. Rasa jenuh karena terlalu lama menunggu lenyap sudah. Ia tersenyum lebar, memperlihatkan barisan gigi yang putih dan berjajar rapi. Ia sudah berkunjung lebih dari sekali, tapi tidak pernah merasa begitu bosan seperti hari ini.

"Alexi?" Kasturi berkata lagi setelah yakin siapa yang berada dalam kamarnya.

"Sepertinya tidurmu enggak nyenyak?" Alexi mengubah gaya duduknya. Ia menuangkan air ke dalam gelas yang ada di meja tidak jauh dari jangkauannya. "Apa bertemu Kakakku dalam mimpimu?"

"Apa maumu?!" Kasturi balik bertanya menantang.

Alexi mengambil gelas yang baru ia isi dan meminumnya dalam sekali tegukan. Seolah ingin memberi tekanan mental pada Kasturi, dan membuatnya takut, Alexi memandang Kasturi dengan tatapan cabul kemudian tersenyum menjijikkan.

"Brengsek!" kutuk Kasturi.

Alexi terbahak. "Aku bahkan belum melakukan apa pun," katanya.

"Jangan bermimpi!" tandas Kasturi. "Dewa enggak akan melepaskanmu jika aku terluka sedikit saja karena ulahmu."

"Begitu? Apa dia akan membunuhku seperti dia membunuh Kakakku?"

"Dewa bukan pembunuh!" tepis Kasturi cepat.

Kasturi mengerutkan kening. Kebencian yang ia lihat di mata Alexi terlalu banyak. Terlalu dalam. Alexi telah berubah dari kelinci tukang mengeluh menjadi serigala pembenci.

Kasturi memang tidak terlalu sering bertemu atau berinteraksi dengan Alexi, tapi Kasturi pernah sangat akrab dengan Rindang sebelumnya. Dan Kasturi cukup sering mendengar keluhan Rindang mengenai sikap adiknya.

"Ada korban lain selain Kakakku, kamu tahu? Kamilia Ulfa, wanita itu dibunuh setelah pulang dari reuni sekolah. Dewa hari itu datang juga bukan?"

Kasturi tidak ingin menanggapi setiap kalimat yang Alexi ucapkan. Baginya semua itu hanya omong kosong.

"Itu enggak berarti apa pun," Kasturi menegaskan.

"Seorang PSK belum lama ini dilaporkan menghilang dan kamu tahu, orang terakhir yang ditemuinya adalah Dewa. Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri wanita itu memasuki mobil Dewa." Alexi melanjutkan kalimatnya. "Seorang teman SMA meninggal begitu pulang dari reuni sekolah, Kakakku yang terbunuh, dan seorang PSK yang menghilang. Semua berhubungan dengan Dewa. Bukannya terlalu aneh kalau hanya kebetulan?"

Kasturi menggelengkan kepalanya tidak percaya. Tetap pada pendiriannya.

Ketika seseorang berubah menjadi pembenci, informasi positif apa pun yang ia terima mengenai orang yang dibencinya tidak akan bisa dicerna. Sementara jika itu informasi negatif, meski sesat, akan diterima dengan cepat. Kemudian disangkutpautkan dengan berbagai hal yang telah terjadi.

"Sayang sekali, nyatanya Dewamu telah diciduk oleh beberapa orang polisi sejak dua jam lalu. Kalau bukan sebagai pelaku harusnya dia sudah kembali sekarang.

"Pembohong!" pekik Kasturi mulai resah.

Alexi kembali terbahak. "Setelah tahu dia menyembunyikan banyak hal, kamu masih mempercayainya?" Alexi berusaha menggoyahkan keyakinan Kasturi. "Aku tahu ada banyak keraguan dalam hatimu. Juga kemarahan. Kalau enggak, kalian enggak akan bertengkar."

Kasturi terkejut. Bagaimana bisa Alexi tahu mereka baru saja bertengkar. Juga tentang kemarahan yang ada dalam hatinya.

Meski ada beberapa hal yang benar, tetap saja Dewanya tidak mungkin membunuh. Hatinya tidak pernah meragukan hal itu. Tidak sama sekali. Ia mengenal Dewa luar dalam. Hafal kebaikan hatinya. Untuk menjadi seorang pembunuh, hanya bisa terjadi jika Dewa bukan lagi Raditya Dewangga.

Tapi bagaimana jika polisi-polisi itu tidak mempercayai Dewa. Bagaimana jika mereka melakukan kesalahan dan membuat Dewa seolah pelakunya. Bagaimana jika mereka tahu ada bagian dari ingatan Dewa yang hilang pada malam itu.

Melihat ekspresi panik di wajah Kasturi, senyum Alexi tersungging. "Rindang telah pergi untuk selamanya. Dia enggak akan mengganggu lagi, enggak akan memisahkan kita."

Mendengar kalimat Alexi, Kasturi menatapnya tajam. Itu kalimat yang Dewa ucapkan di tengah-tengah pertengkaran mereka.

"Benar. Aku tahu kalian bertengkar. Aku mendengar semuanya. Aku melihat dua orang polisi datang dan membawa penjahat itu pergi. Aku menunggu sampai perawatmu pergi agar kita bisa bicara berdua." Alexi mengatakan semuanya.

"Dasar gila! Kamu sama seperti Kakakmu. Enggak punya malu dan hobi mengacaukan orang lain!" sengit Kasturi.

Alexi meraih gelas yang ada di atas meja dan melemparnya hingga membentur dinding dan pecah menjadi serpihan.

"Jangan bawa-bawa Kakakku!" Alexi menegaskan. "Kamu pikir aku enggak berani menyakitimu?!"

Kasturi tersenyum sinis. Sama sekali tidak merasa takut. "Memang kenapa? Kamu pikir aku takut?!" Kasturi meninggikan suaranya. Balik menantang. "Kalian kakak-beradik telah menghancurkan kebahagiaanku! Kalian merebut Dewaku satu-satunya!"

Kasturi melempar semua yang ada di jangkauannya. Bantal, guling. Kasturi kembali histeris. Memikirkan Dewa tidak akan kembali pulang membuat pikirannya kacau. Berpikir Dewa tidak akan pernah kembali ke sisinya membuatnya tidak bisa mengendalikan diri.

"Berhenti!" Melihat Kasturi yang histeris membuat Alexi panik. "Berhenti kataku! Atau aku akan membunuhmu!" Alexi mengambil pecahan gelas di lantai dan mengacungkannya ke arah Kasturi.

Alexi mencoba mendekat ke arah Kasturi ketika seseorang mendadak menyerangnya. Pecahan gelas yang ada di tangannya terlepas dan ia terpelanting. Orang yang baru saja menjatuhkannya hendak kembali menyerang, namun Dimas datang dan menyergap penyerang Alexi.

Perkelahian tak lagi terhindarkan. Adu bogem panas pun terjadi.

"Berhenti kalian!" Alexi memberi komando. Ia sedang dalam posisi menyandera Kasturi. Pecahan kaca ditodongkan begitu dekat dengan leher Kasturi.

Melihat apa yang Alexi lakukan, Dimas dan Anja berhenti bertarung. Dimas sedang mencekik Anja dengan lengannya dari belakang. Padahal ia yakin akan mengalahkan Anja. Hanya masalah waktu. Tinggal menghantamkan beberapa pukulan lagi.

"Apa yang ..."

"Berani menyakiti Ibuku, kubunuh kau!" Ancaman Anja penuh kebencian. Suaranya yang keras meredam kata-kata Dimas.

"Ibu?" Alexi nyaris terbahak. "Siapa kau? Ini enggak ada urusannya denganmu jadi jangan ikut campur!"

"Alexi apa yang kamu lakukan?" Kali ini Dimas yang berbicara. "Kasturi enggak ada hubungannya. Orang yang kamu benci Dewa. Jadi, lepaskan dia!"

"Kamu tahu apa yang Dewa bilang? 'Rindang telah pergi untuk selamanya. Dia enggak akan mengganggu lagi, enggak akan memisahkan kita.' Dan wanita ini diam-diam selalu mengumpati Kak Rindang dan mensyukuri kesialannya. Kalau aku enggak bisa memberi pelajaran lalu apa artinya dendamku?" Alexi merajuk, ingin dipahami. Setidaknya oleh Dimas. Seseorang yang sama sedih dan kehilangan seperti dirinya.

Sebelumnya Dimas telah merasakan firasat buruk. Tatapan mata Alexi, obsesinya untuk membalas dendam. Seharusnya sinyal-sinyal itu cepat ia tanggapi. Seharusnya perasaan seperti itu tidak ia anggap sepele. Alexi terlalu ceroboh. Terlalu bodoh. Dendamnya tidak akan menghasilkan apa pun kecuali kehancuran pada dirinya sendiri.

"Akan aku lakukan. Biar aku yang ..."

"Rindang, aku membantunya saat dia datang kepadaku untuk mencari pekerjaan. Tapi di setiap kesempatan dia selalu mencari celah untuk menggoda suamiku. Diam-diam menginginkannya." Bibir Kasturi bergetar marah. "Aku berhak marah, aku berhak membencinya. Bahkan jika aku mengutuknya dengan sumpah serapah mematikan pun, aku berhak!"

Kasturi menatap nyalang. Tidak terima dirinya dipersalahkan. Ia juga korban di sini. Korban dari perasaan Rindang yang tak kenal moral dalam menancapkan cumbunya. Tidak ada perasaan takut di hatinya meski pecahan kaca dari lehernya hanya berjarak beberapa senti.

"Jadi, Kakakku satu-satunya yang bersalah. Apa karena dosa itu dia pantas dibunuh?!"

Memanfaatkan kelengahan, Anja menyikut ulu hati Dimas, menarik pisau yang ada di sakunya dan melempar ke arah Alexi.

Tepat sasaran.

Dimas terbelalak begitu melihat pisau yang Anja lempar ke arah Alexi. Menancap di bahu Alexi. Meski terlalu cepat menarik kesimpulan, Dimas menyadari sesuatu.

Dalam laporan yang Dimas terima. More menganalisa bentuk senjata yang mungkin digunakan pelaku berdasarkan ukuran dan bentuk luka di tubuh Rindang. Bentuk pisau milik Anja masuk dalam daftar senjata tajam yang sama yang pelaku gunakan.

"Kamu ... yang membunuh Rindang?" Rahang Dimas mengeras, tangannya terkepal erat.

Meski dalam rasa sakitnya, Alexi masih mendengar kalimat Dimas. Begitu pun Kasturi. Anja menyeringai. Senyumnya terlihat congkak, jahat, dan penuh percaya diri.

Suara sirene mobil polisi meraung-raung di luar. Ia tahu ada banyak polisi di luar dan mereka tengah bersiap. Ia tahu ia telah dikepung dan sulit untuk bisa melarikan diri hidup-hidup. Jika tertembak dan langsung mati, ia akan sangat bersyukur. Tapi jika tidak langsung mati dan sekarat, ia akan merasa sakit yang berkepanjangan.

Anja menyeringai lagi. Ia tahu pasti wanita itu yang memanggil bantuan. Ia yang membuat perangkap dan berhasil menjebaknya. Ia terjebak dengan dua musuh di dalam dan puluhan polisi bersenjata di luar.

Anja mendekat ke arah Kasturi, kemudian berjongkok agar tinggi mereka sejajar. Tatapan Anja lembut, penuh kasih sayang. Penuh kepedulian. Sifat menjaga dan melindungi. Kepribadian lain. Bertolak belakang dengan keangkuhan dan sikap kejinya saat membunuh.

"Sepertinya saya akan pergi dalam waktu lama," kata Anja pada Kasturi.

Plak- Kasturi menampar Anja dengan segenap kemarahan dan rasa kecewanya. Anja tidak terkejut, tidak meminta maaf, tidak membela diri. Ia tetap tersenyum.

_abcde_