2 YOUR TEARS ARE THE BEGINNING.

Jerit tangis terdengar begitu lama bahkan terdengar suara sesenggukan. Rumah yang ditempati seorang wanita cantik itu gelap, tak ada secercah cahaya yang terlihat.

Di sela-sela suara tangis terdengar racauan dari sebuah kamar yang berada di lantai dua rumah itu. "Reyhan... Rey, Reyhan ... Aku takut," racau seorang wanita yang meringkuk di pojok kamar.

"Gelap ... aku takut," racaunya sesenggukan. Sambil memeluk badannya sendiri, ia terus menangis.

Wanita itu, Margaretha Agnesya Christin Bautista. Wanita berusia 25 tahun itu memiliki penyakit Achluophobia yang membuatnya ketakutan bahkan histeris jika tak ada cahaya yang ia lihat.

Hampir 20 menit lampu rumah yang ditempatinya itu mati dan membuat Achluophobia yang beberapa bulan tidak kambuh itu kembali.

"Sayang, kamu nggak apa-apa?" Seorang wanita paruh baya masuk ke kamar Agnes dengan sebuah senter di tangannya.

"Ma...," lirih Agnes membalas pelukan ibunya dengan sangat erat. Sementara wanita paruh baya yang bernama Luna Kristina itu mengelus punggung Agnes, berusaha memberinya ketenangan.

Tak lama setelah itu, lampu rumah itu menyala. Keadaan Agnes pun seperti sebelumnya, ia sudah lebih tenang dan menjadi terlampau tenang. Raut wajah Agnes terlihat datar tanpa ekspresi, sorot matanya menatap lurus namun tidak berisi.

"Sayang," panggil Luna namun tak direspon sama sekali. Agnes hanya diam dengan pipi yang masih meneteskan air mata.

Luna menatap Agnes dengan mata yang berkaca-kaca. "Maafkan mama dan papa ya sayang tidak bisa menjagamu dengan baik sampai kamu jadi seperti ini," sesal Luna dalam hatinya sambil membantu Agnes kembali ke tempat tidur.

"Gimana keadaan Agnes, Ma?" Seorang laki-laki yang mungkin berusia tak jauh dari Luna muncul di depan pintu.

Luna menoleh, menggelengkan kepala sambil menghembuskan nafasnya. "Seperti sebelumnya, Pa. Kesadarannya menurun, lagi...."

"Kita panggil dokter pribadinya aja," ujar Mr. Bautista lalu menelfon seseorang.

Sejam kemudian...

Dokter pribadi keluarga Agnes yang menangani kasus penurunan kesadaran yang dialami Agnes sejak kecelakaan waktu itu, datang ke rumah dan langsung memeriksa keadaan Agnes, kini Agnes sudah sadarkan diri namun butuh waktu hampir dua jam untuk sadar.

"Penurunan kesadaran yang dialami Agnes 7 tahun terakhir cukup sulit ditangani! Terlebih penyebabnya adalah cidera kepala dan syok atau trauma yang masih belum sembuh."

"Satu-satunya jalan yang masih bisa ditempuh, masih sama sekarang kita harus lebih ekstra untuk menghindari penyebab yang membuat traumanya kembali, terlebih sebelum kita berhasil menghilangkan traumanya."

"Tapi, penurunan kesadaran yang dialami Agnes bukan sesuatu yang parah kan, Dok?" cemas Luna, entah sudah berapa kali ia menanyakan hal yang sama selama bertahun-tahun.

Dokter itu menggeleng. "Penurunan kesadaran yang dialami ini termasuk keadaan Apatis dan hanya membuat Agnes tidak merespon apapun. Tapi, menang tidak mudah untuk hal ini bisa hilang."

Agnes mendengarkan dengan tatapan pasrah, ia sudah mencoba banyak cara untuk sembuh namun ternyata semuanya nihil. Cidera kepalanya akibat kecelakaan waktu itu memang sembuh! Tapi, trauma yang menyebabkan phobianya itu terhadap gelap itu tidak kunjung hilang.

"Kasus penurunan kesadaran, Achluophobia dan mimpi buruk yang dialami Agnes disebabkan oleh trauma terhadap kecelakaan yang membuatnya syok setiap kali ada trigger yang terjadi."

Agnes menghela nafas berat. "Kenapa Reyhan selamatkan aku dari kebakaran itu," celetuk Agnes tiba-tiba dan membuat semua orang menoleh padanya.

"Karena ... Reyhan sayang sama kamu, dia nggak mau kamu kenapa-kenapa. Jadi, dia lebih memilih menyelamatkan kamu daripada kehilangan kamu," saut Mr. Bautista.

Agnes tersenyum miris. "Dia memang nggak kehilangan aku, tapi aku kehilangan dia. karena perbuatannya," ujar Agnes meneteskan air mata.

"Agnes, ingat! Jangan trigger diri kamu dengan ingatan-ingatan yang bisa membuatmu syok atau mengundang trauma itu!" papar dokter pribadi yang sudah sangat akrab dengan keluarganya.

Agnes mengangguk.

"Ya sudah, kalau begitu saya pulang dulu. Saya tidak meresepkan obat apapun supaya Agnes tidak kecanduan dengan obat-obatan."

"Mama sama Papa anter ibu dokter keluar dulu, ya Nak. Kamu istirahat," ujar Luna tersenyum tulus sambil mengelus puncak kepala Agnes.

Agnes mengangguk lalu menatap punggung orang tua dan dokternya sampai menghilang dibalik pintu.

*****

Pukul 00.00

Cahaya terang masih terlihat dari kamar dari wanita keras kepala, yang tak kunjung move on itu. Wanita yang kini berprofesi sebagai dokter bedah umum yang di rumah sakit keluarganya itu terlihat sedang memandangi satu-satunya foto dirinya dan Reyhan yang tersisa.

"Kamu di mana Rey? Apa kamu masih hidup? Tapi, kenapa aku nggak bisa menemukan keberadaanmu kalau kamu masih hidup," gumam Agnes.

Saat sedang menatap nanar pada foto dirinya dan lelaki bernama Reyhan. Secara tak sengaja Luna, ibu Agnes lewat di depan pintu kamar anaknya itu berhenti dan melihat Agnes termenung menatap foto di nakas, Luna memutuskan masuk ke kamar Agnes.

"Kamu belum tidur, sayang?" tanya Luna sambil menghampiri Agnes. Hati Luna begitu sedih melihat keadaan Agnes, namun ia juga tidak bisa berbuat banyak demi keselamatan Agnes. "Kamu kangen Rey lagi ya?"

Agnes terkejut dengan kehadiran mama yang tiba-tiba lalu dengan cepat ia mengusap air mata yang sempat menetes dan berbalik menghadapnya dengan senyum.

Ini bukan pertama kalinya Agnes begitu. Setiap kali ia merindukan laki-laki yang ia panggil Rey itu, ia selalu duduk di pinggir ranjang sambil menatap foto di nakas sampai tak jarang Agnes terlelap sambil memeluk foto itu.

Agnes mengangguk. "Agnes kangen banget, Ma."

"Nes! ini udah 7 tahun, Sayang." Luna duduk di sebelahnya.

"Agnes gak tau, Ma! Agnes nggak bisa ngelupain Rey," jawab Agnes lirih.

"Maafin mama ya Nes, kalo aja waktu itu mama dan tante gak maksa Agnes buat datang ke hotel itu pasti semua ini nggak akan terjadi," sesal Luna memeluk anaknya itu.

"Ini semua bukan salah mama dan tante. Mama nggak usah khawatir, kalau emang Rey masih hidup dan kita berjodoh! Pasti Agnes ketemu lagi kok sama Rey, Mama tunggu aja," jawab Agnes penuh harap. "Karena Agnes yakin Reyhan masih hidup dan Agnes harus nunggu sampai Reyhan balik."

"Kalau Reyhan nggak balik?" ujar Luna spontan.

Agnes menoleh dengan tatapan yang sulit di artikan. "Sekarang Agnes mau tidur dulu. Besok Agnes masuk pagi," ujar Agnes mengalihkan pembicaraan sekaligus mengakhiri pembicaraannya dengan Luna.

Luna menghela napas, ia paham betul dengan kebiasaan anaknya jika sudah membahas laki-laki lain. "Ya udah tidur yang nyenyak ya, Sayang. I love you." Luna mengecup kening Agnes lalu keluar dari kamar Agnes.

"Love you to, Ma," jawab Agnes walaupun sepertinya Luna sudah tidak mendengar lagi.

Setelah Luna keluar Agnes membuka matanya menatap langit-langit kamarnya mengenang masa kecil yang bahagia bersama Rey sampai akhirnya Agnes terlelap.

"Aku gak tau Rey, apakah Aku bisa lupain kamu atau nggak, karena semakin hari rasanya aku semakin kangen kamu," ucap Agnes lirih.

Ingatan tentang masa-masa sekolah saat Agnes dan Reyhan bersama dan tidak terpisahkan, semua itu tergambar jelas dibayangan Agnes, mereka bahkan selalu menghabiskan waktu bersama sebelum akhirnya Reyhan perlahan menghilang.

Air matanya yang tadi menumpuk di pelupuk matanya kini mengalir, membasahi pipi yang sudah dipakaikan skincare malamnya. Agnes sungguh tidak perduli berapa mahal skincare di wajahnya, ia membiarkan air matanya luruh seperti derasnya air sungai ciliwung.

"Andai saja kejadian itu nggak terjadi, apa sekarang kita bisa bersama sebagai sepasang kekasih, Rey?"

Setiap malam, saat ia sedang sendirian, Agnes selalu mengingat Reyhan dan selalu menyesali keputusannya untuk pergi ke gedung itu.

Tapi, Agnes sangat pintar menyembunyikan perasaannya, ia selalu terlihat ceria dan bahagia apalagi ketika sudah berada di rumah sakit. Senyum palsunya berhasil menipu semua orang, tak ada satupun yang tau keadaan hatinya yang sebenarnya kecuali keluarganya dan keempat sahabatnya.

Tiga puluh menit sudah Agnes menatapi langit-langit kamarnya, ia pun sudah berkali-kali menguap bersama suara isakkan yang masih terdengar samar-samar.

"Rey, aku selalu berharap kita akan ketemu lagi dan aku janji, kalo kita ketemu aku bakal ungkapin semuanya," ucap Agnes penuh harap lalu mematikan lampu kamarnya dan menutup matanya perlahan.

*****

Pukul 09.30 ...

Cahaya matahari yang sudah menampakkan dirinya sejak beberapa jam lalu baru saja berhasil menggugah Agnes agar ia terbangun. Sesekali matanya terbuka lalu menutup kembali menyesuaikan cahaya yang ada di kamarnya. Helaan nafasnya terdengar sebelum akhirnya tersadar sempurna walaupun tubuhnya masih enggan untuk bergerak dari tempat tidur.

"Astaga kesiangan lagi," ucap Agnes saat melihat ke arah jarum jam di kamarnya kemudian menghambur ke kamar mandi.

Gemercik air terdengar sangat tergesa, tak sampai 10 menit Agnes keluar dan menyelesaikan ritual paginya. Lalu beranjak keruang makan mencari sesuatu yang bisa dimakan. Sampai di depan kulkas dia menemukan sebuah note yang ditulis oleh Luna.

"Agnes mama sudah siapkan makanan di kulkas, dipanasin ya nak kalau mau makan. Mama nemenin papa ke kantor. Semangat hari ini sayang! Mama papa love Agnes."

Agnes membuka kulkas dan memanaskan makanan yang telah dibuat oleh mama. Setelah selesai makan dia kembali ke kamar mengecek setiap notifikasi yang masuk di room chat yang belum dibukanya sejak semalam.

Agnes menbuka grup chat bersama sahabat-sahabatnya.

Amanda :

'Gaesss.. tau gak tau gak?'

Lulu :

'Wis masih pagi bund udah ngajak gibah aja.'

Amanda :

'Agnes belum bangun ya?

Lulu :

'Tumben nyariin Agnes pagi-pagi?'

Amanda :

'Iya, soalnya tadi malam gue lupa bilang kalo gue liat orang yang mirip banget sama Rey di rumah sakit.'

Kening Agnes berkerut, cukup syok membaca chat dari Amanda. "Apa itu benar-benar Reyhan? Atau cuma mirip saja?" gumam Agnes.

Lulu :

'Kalo iya itu beneran Reyhan, ngapain dia di sana?'

Amanda :

'Gue lihat kayanya ibunya dirawat di sini deh ... pasiennya Dokter Brian.'

****

Setelah itu, Agnes segera menyiapkan diri untuk berangkat ke rumah sakit. Butuh sepuluh menit untuknya bersiap-siap sebelum akhirnya dia mengambil kunci mobil dan bergegas menyusuri keramaian kota menuju rumah sakit.

"Apa bener Reyhan ada di rumah sakit ini?" gumam Agnes setelah memarkirkan mobilnya. "Kalau iya, kenapa kita nggak pernah ketemu?" lanjutnya dengan kerutan di kening.

Drttt Drttt Drttt

Ponsel Agnes berbunyi, ia mengambilnya dari dalam tas namun ponselnya terjatuh ke lantai mobil. Saat ia berusaha meraih ponselnya, laki-laki yang ia cari tak sengaja melewati mobil sambil melirik ke arah mobil Agnes.

"Pake jatuh segala," ujar Agnes saat ia berhasil meraih ponselnya, ia membaca notifikasi bar sekilas lalu turun dari mobil dengan snelli yang sudah melekat ditubuhnya, menandakan dia adalah dokter di rumah sakit ini.

"Han ...," teriak seseorang membuat Agnes pun menoleh ke sumber suara lalu menghendikkan bahunya. "Teriak-teriak di rumah sakit dasar people," celetuk Agnes pelan lalu melangkahkan kakinya masuk ke lobby rumah sakit.

Agnes tidak sadar bahwa lelaki yang dipanggil tadi itu memperhatikannya sampai ia menghilangkan di balik lorong.

***

___________

Achluophobia : Merupakan ketakutan atau fobia terhadap kegelapan atau suasana gelap, salah satu penyebabnya adalah trauma.

Penurunan kesadaran : kondisi ketika seseorang kurang atau tidak mampu memberikan respon terhadap rangsangan apapun.

Apatis : Keadaan yang segan berhubungan dengan sekitarnya, sikapnya acuh tak acuh, tidak tidur, tidak bicara dan pandangannya hampa.

Trigger. : Pemicu terjadinya suatu hal.

__________

Haii !!!

Enjoy the story!

I hope, You guys ... like it!

Nice to meet you all.

avataravatar
Next chapter