10 SEMBILAN: MENCARI TAHU

"Segera selidiki semua hal yang berhubungan dengan Kartika Aldila, besok siang laporannya harus sudah ada di meja kerjaku." Aku memutuskan sambungan kepada seseorang yang dapat kupercaya untuk mencari informasi, sembari menggengam KTP wanita yang aku ambil dari tasnya.

Seorang wanita yang saat ini tertidur dengan damai di atas ranjang King Size milikku yang hanya menggenakan kemeja putih milikku sehingga setengah paha putihnya terlihat begitu saja. Aku memasukan kembali KTP tersebut ke dalam tas manik kecill warna hitam sembari melemparkan begitu saja di lantai. Aku melepaskan bathrope-ku, memakai celana jogger berwarna abu-abu tanpa atasan, karena aku lebih suka shirtless ketika tidur, dan naik ke ranjang di sisinya. Aku menaikan selimut tebal ke tubuhnya, berbaring di sampingnya dengan bertumpu pada lenganku dan menatap lekat wajah tidurnya.

Aku tidak salah, wanita ini adalah Chikaku, tapi aku masih perlu menyelidiki semuanya; dirinya, latar belakangnya dan kehidupannya yang tidak aku ketahui. Jika dipikir kembali, aku tidak mengetahui apapun mengenai Chika. Aku hanya mengetahui, bahwa orang-orang memanggilnya Chika yang aku tidak yakin itu nama sebenarnya atau nama kecilnya, gadis yang 5 tahun lebih muda dariku, gadis beraroma segar dengan rasa ciuman manis seperti madu dan dia tinggal di Surabaya sebelum tinggal dengan kakek Jono. Itu saja secuil informasi yang aku tahu ketika tinggal bersamanya.

Dia tidak berubah. Wajah damainya ketika tidur, embusan napasnya yang hampir mendengkur dan raut mukanya. Semuanya sama. Hanya saat ini ia terlihat lebih dewasa. Aku mengambil helaian rambut yang jatuh di wajahnya dan menyampingkannya ke belakang daun telinga. Aku tersenyum menatapnya yang saat ini ada di hadapanku. Aku mengulurkan lenganku, melingkarkan pada tubuhnya dan mendekatkan tubuh kami. Aku memeluknya erat dan ikut tertidur di sampingnya.

Kali ini, aku akan menemanimu dan tidak akan meninggalkanmu apapun yang terjadi.

-Flashback di Pesta-

Aku melepas ciuman kami, saat aku melihat Fajri muncul di hadapanku. Aku memeluk wanita ini erat, aku bisa merasakan embusan napasnya yang panas, tangannya meraih punggungku dan memelukku kembali.

"Ambil mobil, antar aku ke Penthouse, SEGERA!" perintahku kepada Fajri, ia menatapku kaget sejenak dan menghilang melaksanakan perintahku. Aku paham akan tatapannya, karena barusan aku mengatakan penthouseku. Selama ini aku tidak pernah membawa seorang wanita pun masuk ke dalam wilayah pribadi. Namun wanita ini berbeda, firasatku mengatakan bahwa wanita ini adalah gadisku. Chika-ku.

Tanpa perlu menunggu, aku menuntunnya keluar dari lorong, keramaian dan pesta bodoh ini. Mobil Mercedes-Maybach S-class berwarna hitam terparkir tepat di depan pintu klub. Aku pun segera mendudukan wanita ini di kursi penumpang dan aku pun segera masuk ke kursi sebelahnya. Fajri pun segera melajukan mobil tanpa perintahku kembali. Selama perjalan aku merasa begitu tersiksa. Wanita ini mendekatkan badannya kepadaku, aku menyambutnya, memeluk erat tubuhnya sehingga merapat ke tubuhku. Wajahnya sudah ada di dadaku, tangan kanannya meraba dada bidangku.

'Obat sialan!' makiku. Aku ingin menanyainya tapi tubuh panasnya membuatku tidak berkutik. Hidungnya yang agak mancung menyentuh leherku, hembusan napasnya membuat tubuhku merespon tidak karuan. Aku sudah menahan sekuat tenaga. Aku menatap matanya di balik topeng. Bibir mungilnya terbuka sedikit.

Aku tidak tahan. Tanpa menunggu lebih lama aku menempelkan bibirku pada bibirnya. Rasa manis itu kembali lagi dalam ingatanku. Aku melumat bibirnya, ia mengeluh di sela bibirnya. Aku melepaskannya, membiarkan dia mengambil napas, ketika kita sudah sampai di gedung penthouseku. Aku pun segera membawanya masuk. Aku tidak ingin menyiakan waktuku, aku mencumbunya kembali sesaat kami masuk ke dalam lift. Aku menghimpit badannya, ia mengalungkan lengannya ke leherku, aku melumat kembali mulut itu tanpa terasa bibir kami sedikit membengkak. aku melepaskan bibirku padanya, menjalar ke dagu dan lehernya. Sesekali aku menggigit dan menghisap lehernya. Ia merintih ketika aku melakukan hal yang sama pada tulang lehernya.

Aku mengangkat kedua kakinya sehingga ia melingkarkan kakinya di pinggulku. Aku menggendongnya dan berjalan menuju kamarku sesaat pintu lift terbuka di penthouseku. Ia mendesah ketika aku menjilat telinganya. Ia mencangkup wajahku sehingga aku menghentikan aksiku. Ia menatapku lekat dengan mata hitamnya yang bulat seperti bulan. Kami saling menatap satu sama lain. Aku meraih knop pintu kamarku yang sudah ada di depanku dengan masih tetap menatapnya. Ia menciumku lembut sesaat. Aku segera mendudukkan dirinya di ujung ranjangku dan aku duduk berlutut di depannya. Masih terengah-engah karena ciuman yang tak ada habisnya, aku membuka topeng dan cepolan rambutnya sehingga rambut panjangnya terurai, wajahnya yang rupawan membuat dadaku berdegup kencang.

Wajah yang sama dengan gadisku, tak salah lagi dia gadisku. Aku meraba punggungnya dan menemukan resliting disana. Masih dengan menatap intens aku menurunkan resliting bajunya, melepas gaunnya melewati bahu dan lengannya yang putih sampai ke perut datarnya. Lingerie tanpa tali dengan warna serupa tampak di depanku. Ia terdiam tak bergerak. Aku membuka topengku sendiri dan membuangnya begitu saja. Aku mengelus pipinya dengan punggung tanganku. Ia menatapku dengan mulut yang agak terbuka. Tangannya menyentuh wajahku, seakan menelusuri. Ia meraba dahiku, alisku, mataku, hidungku dan mulutku. Aku membiarkannya.

"Chika!"panggilku, pandangannya yang tadi mengarah pada bibirku sekarang mengarah lurus ke mataku.

"Kartika. Namaku Kartika. Tidak ada Chika." Tatapan mata yang menghitam tadi berubah sedih. Aku mengelus wajahnya. Sebenarnya banyak sekali pertanyaan yang muncul di pikiranku, tapi tenggorokanku terasa tercekat sehingga tak ada satu pun kata yang keluar. Aku mendekatkan diriku padanya dan memeluk erat tubuhnya. Napasnya terasa berat kembali. Ia mengigit leherku pelan member efek sengatan yang berhasil membuat mengerang. Ia mengangkat wajahnya sehingga sejajar denganku. Ia mengelus pelan belakang kepalaku dan mengigit bibir bawahnya sendiri yang terlihat seksi. Ia mendekatkan wajahnya padaku. Ia mengecup singkat ujung bibirku, menatapku dan terkekeh.

'Obat sialan!' batinku berteriak.

Aku mengangkat tubuhnya dan menidurkannya di tengah ranjang. Aku menaiki ranjang dan merangkak ke atas tubuhnya. Aku menatap tubuhnya yang setengah terbuka. Nurani dan hasratku sedang bertarung akan apa yang aku lakukan. Sama seperti waktu itu, namun kali ini hasratku lebih kuat dengan naruniku. Aku membuka jasku, melonggarkan dasi, melepas semua kancing kemejaku dan membuang semua begitu saja di lantai. Aku membungkukkaan tubuhku untuk mendekat kepadanya. Dengan bertumpu kepada kedua lenganku aku mengecup pelan dahinya. Ia mengecup daguku. Aku melanjutkan kecupanku yang turun ke kedua matanya, pipinya dan mulutnya sembari melumatnya. Aku memainkan lidahku di dalam sana sembari meremas pelan dadanya yang masih berbalut kain hitam berenda dari branya. Ciumanku semakin menurun ke leher, pundaknya, dadanya dan perut datarnya. Perlahan, aku menarik gaunnya hingga terlepas dari tubuhnya. Kini tubuh indahnya hanya berbalut dalaman dengan warna yang serasi.

"Ahhh..." suara desahannya terdengar ketika aku memijat pelan dadanya dan mengelus kewanitaan dari balik celanya, membangkitkan rasa yang tengah aku tahan. Bagian pangkal pahaku bereaksi. Aku menciumi setiap inci tubuhnya, pahanya, dengkul dan kakinya. Aku tidak ingin melewatkan semuanya. Tanpa paksaan aku membuka celana dalamnya dan mencium daerah sensitifnya yang mulai nampak. Ia mengerang semakin keras dan terdengar seksi. Aku mendongakan kepalaku untuk menatapnya yang tengah memejamkan matanya. Bagian kewanitannya telah basah, aku memijat pelan bibir kewanitaannya dengan tangan kiri, sesekali bermain dengan klitorisnya menggunakan jari tengahku yang mulai masuk. Ia menegang.

"Ja...Akhhhh..."

Aku kembali menatap wajahnya dan mencium lembut dengan masih bermain disana. Tanganku yang lain juga sibuk meremas pelan dadanya bergantian. Ia mengalungkan tangannya ke leherku sehingga badannya sedikit terangkat. Tanganku yang tadi bermain di kewanitannya berhenti dan mengelus panggungnya, mencari kait bra-nya. Dalam sekali hentakan aku melepas dan membuangnya ke lantai.

Kedua dadanya yang tak terlalu besar seperti yang kuingat namun tidak kecil seperti yang dulu, sekarang terasa pas pada genggamanku yang kuremas bersamaan. Ia melenguh dan bergeliat. Kutiup puncaknya yang mengeras sembari mencium singkat. Badannya sedikit terangkat kembali dan tangannya mulai menjambak rambutku. Aku pun mulai bermain dengan puncaknya; menjilat, menghisap dan sesekali menggigitnya pelan bergantian dengan sisi satunya. Ia mencengkram lenganku dengan kuat, mengejang hebat seketika dan terdiam.

'Tunggu dulu. Apa dia barusan orgasme?'

Aku mendongakan kepalaku dan menatapnya. Ia sudah terkulai lemas dengan mata terpejam. Samar-samar suara dengkuran lembut terdengar. Aku menatap tidak percaya dengan wanita di bawahku, Chika. Ia tertidur. Ia tertidur begitu saja. Semua makian mulai bersarang di otakku untuk diriku sendiri.

Obat sialan itu mempengaruhinya. Sekarang ia tumbang dan membiarkanku dalam keadaan mengenaskan.

Menyadari kebodohanku sendiri, aku pun pergi ke kamar mandi, membuka keran air yang dingin. Aku membasahi tubuhku sendiri dengan air dingin dan memukul tembok. Bisa-bisanya pertahanku runtuh begitu saja karena rasa yang telah lama kupendam padanya menjadi nafsu ganas ketika bertemu dengannya. Setelah menenangkan diri, aku pun mengambil handuk kecil di wardobe di kamar mandiku dan sedikit membasahinya. Aku menggenakan bathrope, keluar dari kamar mandi dan berjalan menghampirinya yang saat ini tertidur dengan tubuh menyamping. Dengan teliti aku membersihkan tubuhnya dari keringat dan cairan orgasmenya yang masih melekat di daerah kewanitannya. Setelah membersihkan dengan bersih, bau alkohol dari tubuhnya berkurang dan aroma tubuhnya yang memabukkan bagiku tercium kembali. Aroma perpaduan jeruk dan stroberi.

Aku tersenyum menatap wajah polosnya. Aku bangkit dari tempatku, berjalan menuju walk in closet dan mengambil kemeja putih milikku. Segera aku memakaikan ke tubuhnya, aku tidak mau membiarkannya tertidur tanpa sehelai kain. Aku tidak mau lepas kendali. Setelahnya, aku memungut pakaian kami yang berserakan dan melemparkannya ke keranjang laundry di depan lift yang menghadap langsung ke pintu penthaouseku, dimana biasanya akan ada orang yang mengambil dan mengembalikannya dalam keadaan bersih.

Aku kembali ke dalam kamar hendak tidur, namun satu benda mungil yang tergeletak pada lantai di dekat pintu kamar menyita perhatianku. Aku memungut benda tersebut dan membuka semua isinya.

Drrt... Drrt... suara getaran ponsel dan nada dering pelan di atas nakas membangunkanku. Dengan mata yang masih terpejam, aku mengulurkan tanganku dan meraba nakas untuk mencari ponselku. Setelah mendapatkannya aku langsung mengangkatnya.

"Ada apa?" tanyaku dengan suara yang agak parau.

"Perwakilan dari Dubai minta memajukan wakut pertemuan menjadi jam tujuh pagi, karena pesawat mereka berubah jam setengah sembilan pagi ini. Mereka baru mengabari tadi malam," terang Rekka dari seberang.

"Dan kamu baru memberitahuku? Jam berapa ini?" Aku membuka mataku, sekitarku masih gelap dan lenganku agak berat. Aku melirik kesampingku dan melihat wanita yang aku cari masih tertidur pulas di sampingku. Semua nyata.

"Aku mencarimu di pesta tapi kau menghilang dan ponselmu tidak bisa dihubungi. Jadi aku baru mengabarimu pagi ini sekalian membangunkanmu. Ini sudah jam lima, ayam jantan sudah berkokok"

"Shit, sejam lagi aku akan kesana," makiku pelan, tidak ingin membangunkan waniata di sampingku.

"Kamu ada dimana? Aku akan menjemputmu?"

"Aku akan ke kantor sendiri. Tunggu aku disana." Aku memutuskan sambunganku dengan Rekka, sekaligus mengirim pesan singkat ke Fajri untuk tidak memberitahukan keberadaanku sekarang padanya. Aku merasa ada sesuatu yang disembunyikan Rekka akan wanita ini, ia yang tidak pernah berbohong kepadaku, berani membohongiku. Aku tidak mau ambil pusing masalah itu, karena aku akan segera menemukan alasannya sendiri.

Aku meletakan kembali ponselku di atas nakas dan menatap wanita di sampingku yang masih tertidur lelap. Aku mengusap pelan kepalanya dan mencium dahinya sebelum aku menarik pelan lenganku yang ia jadikan tindihan. Aku bangkit dari tempatku, turun dari ranjang dan pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diriku cepat. Aku berjalan menuju wardrop di dekat kamar mandi, mengambil beberapa setelan jas lengkapku dan langsung menggenakannya, sebagai sentuhan terakhir aku menata rambutku rapi ke atas. Saat hendak meninggalkan kamar, aku memperhatikan ekspresi wajah Chika-ku yang berkerut dengan sedikit keringat keluar di dahinya. Aku berjalan mendekat, duduk di sisi ranjang, mencondongkan tubuhku ke arahnya. Aku mengusap lembut dahinya yang berkeringat.

"Kali ini, aku tidak akan meninggalkanmu lagi, Chika. Aku akan menjagamu seperti janjiku kepada kakek dan padamu," bisikku pelan di daun telinganya. Seakan ia mendengar bisikanku, ekspresi wajahnya kembali tenang. Aku meraih dagunya dan mencium singkat bibir mungilnya. Sebelum aku keluar kamar.

Klatak... sebuah suara terdengar dari arah dapur. Aku pun berjalan menghampiri dapar dan mendapati Bi Sumi, asisten rumah tangga dari rumah utama selalu datang ke Penthouseku setiap pagi untuk menyiapkan sarapan dan membersihkan tempat yang perlu dibersihkan. Bi Sumi yang tadi sibuk menyiapkan sarapan segera menuangkan secangir kopi hitam ketika ia mendapatiku duduk di meja makan.

"Maaf den Leo, sarapannya belum siap." Ia meletakan secangkir kopi itu di depanku.

"Tak apa, pagi ini aku akan sarapan diluar. Ada pertemuan penting." Aku menyesap kopiku, "tapi tetap siapkan sarapan seperti biasa dan susu hangat rasa stroberi," lanjutku. Satu hal yang aku ingat, bahwa Chika paling suka meminum susu di pagi hari, terutama rasa stroberi kesukaannya yang selalu membuat kakek Jono kesal karena harganya lebih mahal dari ikan yang ia tangkap dan jual di pasar. Bi Sumi menatapku bingung karena tadi aku bilang sarapan diluar tapi tetap menyuruhnya menyiapkan sarapan seperti biasa.

"Aku ada tamu yang menginap, setelah selesai aku minta bibi segera pulang sebelum jam delapan. Letakan sarapannya di meja dan jangan masuk ke kamarku." Aku berdiri dari kursiku setelah menghabiskan secangkir kopi dan beranjak menuju pintu depan. Aku berhenti sejenak mengingat sesuatu yang lupa aku katakan, "Jangan lupa tutup rapat tempat ini dari luar,"tambahku sebelum pergi. Aku tidak akan membiarkan Chika pergi apapun yang terjadi.

Tidak butuh waktu lama untuk sampai ke kantorku dari penthouse di pagi buta, dimana traffic tidak ramai. Aku bisa melajukan mobilku di batas kecepatan seharusnya. Di depan pintu Rekka sudah berdiri di depan pintu putar menungguku. Aku keluar dari mobil dan menyerahkan kunci pada petugas yang berjaga.

"Sarapan harus sudah tersedia di mejaku setelah rapat. Kau yang membayarnya, dilarang menggunakan uang perusahan." Aku berbisik pelan kepada Rekka yang saat ini berjalan di sampingku untuk memandu ke tempat perusahan. Samar-samar aku mendengar dengusan kesal Rekka. Aku hanya bisa tersenyum licik setiap kali berhasil merubah ekspresi wajahnya menjadi kesal.

Meski rasa kantuk menggelayuti, aku berhasil menyelesaikan pertemuan dengan lancar tanpa satu uapan lebar dari mulutku. Aku menjabat kuat sembari tersenyum kepada perwakilan dari Dubai dengan wajah khas timur tengahnya. Aku juga mengantarnya sampai di lobby. Setelah yakin mereka telah meninggalkan gedung, aku segera kembali keruangaanku dengaan ekspresi tegas yang selalu aku pasang setiap berada di kantor, meskipun tidak ada karyawan yang berkeliaran karena hari ini hari minggu, dimana harusnya waktu rehat bekerja. Sesampainya di ruanganku, aku merebahkan tubuhku di sofa panjang, melonggarkan dasiku dan menguap lebar. Aku hampir terlelap, sebelum Rekka mengetuk ruanganku dan masuk kedalaam dengan membawa bungkusan yang bisa kutebak sarapan yang aku minta.

"Bukannya aku minta sudah siap di meja," grutuku sembari bangkit dari tempatku. Aku membenarkan dudukku dan bersandar pada sandaran empuk sofa. Rekka yang sudah biasa dengan grutuanku tidak meresponnya dan meletakan sarapan di depanku, yang tak lain secangkir kopi hitam pekat, omlet dan kentang panggang bertabur lada hitam.

"Jadi, mereka memperpanjang kontrak kerja kita?" tanya Rekka.

"Ya, dalam tiga tahun mereka mengandalkan kita. Bulan depan aku harus kesana untuk melakukan survei, siapkan keberangkatanku." Aku menjawab pertanyaannya tanpa antusias karena saat ini aku sedang fokus menghabiskan sarapanku.

Ia terdiam menatapku yang tidak memperdulikannya. Ia menghela napas dan duduk di kursi depanku sembari menyesap minumannya sendiri yang ia beli bersamaan dengan sarapanku.

"Omong-omong, kamu tidak perlu menunggu rapat hari ini kan? Bukankah aku sudah memberimu libur untuk bisa menghabiskan waktu bersama kekasihmu?" tanyaku pensaran.

"Dia mungkin masih terlelap. Kemarin malam Alex dan Gading tak ada habisnya mencekokinya cocktail, meski kadar alkoholnya rendah tetap saja bisa membuat orang mabuk jika terlalu banyak. Aku baru bisa mengantarkannya pulang jam dua belas malam karena dia masih asik mengajakku berdansa," jawabnya diiringi desahan pendek sembari menekan pelipisnya. Aku hanya bisa mengangguk sembari menikmati sarapanku.

"Omong-omong mengenai mabuk, aku ingin kamu mengurus sesuatu." Aku beranjak dari sofa menuju meja kerjaku dan mendapati sebuah map cokelat. Aku segera membukanya sembari tersenyum. Fajri melakukan tugasnya, data kedua karyawan yang dengan berani memberikan obat sialan itu kepada Chika sudah ada di tanganku. Aku menyerahkan berkas tersebut kepada Rekka dan ia menatapku bingung ketika menerimanya setelah menaruh gelas minumannya. "Pecat kedua orang tersebut, kemarin mereka hampir membuat skandal di pesta,"terangku.

"Skandal apa?"tanyanya sembari membuka berkas yang aku berikan.

"Mereka hendak menjebak seorang wanita dengan memberi obat perangsang pada minumannya. Dengan bodohnya pembicaraan mereka terdengar dan Fajri segera mengamankan mereka."

"Kamu memang paling suka menguping seperti para wanita." Ia mendengus dengan senyuman mengejek.

"Hell No, aku tidak menguping bodoh. Aku ada di samping mereka." Aku berdecak kesal dan melanjutkan makananku. "Jadi apa yang kulewatkan semalam?" Aku mengalihkan percakapan dengan memintanya menceritakan apa saja yang aku lewatkan di pesta perusahaan kemarin tanpa menyinggung pertemuanku dengan Chika kepadanya. Dia seorang asisten, teman dan orang yang dapat diandalkan. Ia pun menceritakan setiap detil acara pesta sampai selesai seperti laporan rapat yang biasa ia rangkumkan kembali padaku. Aku hanya mendengarkan sembari mengangguk dan menyandarkan tubuhku di sofa setelah menyelesaikan makananku.

Drrt… Drrt… ponselnya yang di letakan di atas meja bergetar, setelahnya layar menyala menampilkan gambar wanita dan nama yang tertera. "Angkatlah, wanitamu memanggil," tegurku. Ia pun mengangkatnya di depanku, sedangkan aku memeriksa email pribadiku melalui ponsel.

"Apa maksudmu dia tidak ada?... Dia belum pulang?… apa kamu sudah mencoba menghubungi ponselnya?... Tunggu, biar aku temani kamu." Suara panik Rekka berhasil mengalihkan perhatianku dari ponsel ke dirinya.

"Ada apa?"

"Teman satu rumahnya belum kembali dari pesta kemarin," jawabnya padaku setelah memasukan ponselnya ke dalam saku dalam pada jasnya.

"Temannya yang ingin pulang duluan di awal pesta?"

"Ya. Crystal mulai panik dan merasa bersalah membiarkannya pulang sendiri. Ia ingin mencarinya. Apa kamu ada jadwal lain hari ini?"

"Tidak ada. Aku hanya ada janji dengan Robert saja siang ini. Pergilah. Temani wanitamu mencari temannya, lagipula ini waktu liburmu," ucapku meningatkannya akan jatah liburnya yang mana dia masih setia menemaniku. Setelah mendapat izinku ia pun beranjak dari tempatnya dan pergi meninggalkan ruanganku.

Setelah kepergiannya, aku pun melepas jasku dan merebahkan tubuhku kembali sebelum Robert datang memberiku laporan tentang Chika atau Kartika Aldila, nama sebenarnya yang baru ketahui.

"Hanya itu saja yang bisa saya temukan akan dirinya." Robert, informan terpacayaku memberikan sebuah map permintaanku. Aku mengangguk dan menizinkannya pergi, karena urusannya denganku telah selsai. Aku pun segera membuka berkas tersebut.

Nama Lengkap: Kartika Aldila

Tempat, Tanggal lahir: Surabaya, 03 April 1992

Golongan Darah: B

Nomor KTP: 357826030492xxxx

Nomor ponsel: 0812534xxxxx

Ukuran

· Tinggi: 165

· Berat:45

· Tubuh: 36-28-35 Inci atau 91.5-71-89 cm

· Sepatu: 40 UK/ 7 US

Pendidikan Terakhir: D3 Sekertari

Pengalaman Kerja

· 1 th SPG

· 3 th Customer Service di RDK Corp

· Trainer pada devisi Sekertariat RDK Corp (Sekarang)

Nama Orang tua;

· Ibu: Sasha Ghaisani (Meninggal karena gagal ginjal)

· Ayah: Aditya Ilham (Buruh di Irian Jaya)

Catatan Tambahan:

· Ayahnya menghilang setelah ibu Sasha Meninggal. Ada Kontak dengan keluarga satu tahun kemudian, memberikan biaya hidup kepada Adik perempuannya yang merawat Kartika

· Tinggal bersama adik Ayahnya, Sonia Maharani, di Bandung dengan suami dan anak lelakinya

· Lulus SMA, kerja di Jakarta dan tinggal dengan Saudari Crystal Purnama

Catatan Kepolisian:

· Mengajukan tuntutan dengan kasus pelecehan seksual.

Dengan amarah yang mulai merasuk, aku menutup dengan kasar berkas tersebut, memasukannya ke dalam laci bawah meja dan mengambil kunci mobil yang ku letakan di ujung meja. Aku memaki pada seseorang yang tak kukenal dan diriku sendiri dengan apa yang aku lakukan.

'Bodoh! Idiot! Apa yang telah aku lakukan padanya? Dia pasti ketakutan saat ini. aku harus segera menemuinya.'

avataravatar
Next chapter