2 Pesta

Rain Pov

Seminggu berlalu dengan tempo yang serupa, rutinitas yang berulang. Bagaikan roda yang berputar di satu tempat, itulah perumpamaan hidupku. Andai ada kata lain yang bisa aku gunakan selain kata bosan dan kesepian. Disatu sisi aku merasa tidak bersyukur memiliki Ray dan Selene, tapi tidak bisa dipungkiri jika aku juga butuh orang lain selain mereka. Aku harap pikiran ini selalu tersimpan rapat, karna aku tidak bisa membayangkan bagaimana kecewanya Rain dan Selene jika mereka tahu pikiran burukku.

Akalku yang begitu aktif bersinggungan dengan tanganku yang memainkan sepucuk surat. Ini dari Paul, cowok yang sempat dekat denganku itu memberikan undangan ke pesta ulang tahunnya. Sejauh aku meraba ingatan, pesta ulang tahun yang pernah aku hadiri terakhir kali saat umurku menginjak tigabelas tahun. Terang jika aku tidak punya gambaran sama sekali mengenai pesta seperti apa itu nanti. Pesta model Amerika atau Korea Selatan, aku hanya mengerti suasana pesta dari tontonan film Netflix. Parahnya aku tidak punya nyali untuk meminta izin pada Ray yang jelas akan menolak permintaanku mentah-mentah.

"Kamu baca buku satu halaman kok bisa lama banget Rain?" Tegur Shella. Aku sempat melupakan keberadaannya. Dia menarik kertas di tanganku sebelum mengusapnya pelan.

"Ini bukan ide yang bagus." Bisik Shella.

"Apaan sih lo Shell!" Gembor Luna tidak terima dengan nada yang lumayan tinggi, kami sekarang menjadi perhatian publik. Jelas saja suara berisik sangat tidak mendapat tempat di perpustakaan. Dengan tanggapan yang sejalur dengan orang lain, aku menaruh telunjuk di depan bibir.

"Kapan lagi kita bisa pergi ke pesta," timpal Luna.

"Masalahnya Rain jelas-jelas nggak bakalan dikasih izin." ujar Shella disambut putaran mata oleh Luna.

"Gue senang lo punya kakak yang perhatian, tapi kakak lo itu over Rain. Overprotective." Akupun merasa setuju dengan Luna.

"Besok deh aku kasih tahu mau pergi atau nggak," ucapku menutup perdebatan.

"Ngomong-ngomong, lo nggak lupa kan kalau nanti kita bakalan nonton rame-rame," sergah Luna mengingatkan.

Aku hanya bisa menelan ludah mendengarnya. Alarm peringatan menderu di dalam otakku yang lupa memberitahu Ray untuk pulang larut, mana sudah terlanjur janji. Tanpa berpikir lagi aku segera mengirim pesan ke Ray dan Selene, semoga mereka segera membalas. Mengingat mereka juga orang yang sibuk.

"Kira-kira jam berapa kelarnya?" Aku berharap tidak akan terlalu larut.

"Tengah malam mungkin, orang film-nya baru mulai jam sembilan," jelas Luna.

"Kalau kamu nggak mau ikut juga nggak masalah Rain." Shella lebih bisa membaca isyarat tubuhku yang gelisah.

"Mana bisa begitu, lo udah janji Ra. J.A.N.J.I." yang harus ditepati, itu maksud dari penekanan kata dari Luna. Aku sadar, namun konsekuensi yang harus aku terima untuk menepati janji satu ini lumayan memakan hati.

"Boleh deh," tekadku bulat dengan menyingkirkan berbagai macam masalah yang sedang menanti. Luna dan Shella terlihat senang dengan jawabanku. Meski sering bertentangan tapi mereka bisa membaur dengan sangat baik. Beruntungnya memiliki mereka yang banyak membantuku menyesuaikan diri dengan tempat asing yang orang sebut sebagai universitas.

***

Tatapan banyak orang membuatku bergidik tidak nyaman, yang aku inginkan adalah segera pulang. Aku bahkan tidak bisa menghubungi orang rumah karna ponselku mati, semoga ini tidak akan menambah rumit situasi.

"Gue senang Ra, setelah seribu purnama terlampaui akhirnya kita bisa nonton bareng gini," Ucap Luna sembari mengunyah pop corn yang hampir habis.

"Ini film perasaan belum dimulai Lun, tapi kenapa pop corn-nya udah habis aja." Rengek Shella yang merasa tidak adil, belum makan terlalu banyak.

"Lah, kenapa gue yang dituduh?" elak Luna.

Shella dan Luna berbalik menatapku penuh arti, dengan helaan nafas besar aku bangkit dari kursi

"On the way beli." Timpalku akhirnya, menyadari memang aku yang harus bertanggung jawab. Untungnya lampu bioskop masih menyala, jadi aku tidak kesulitan untuk menuruni tangga.

Sesampainya di concessions, Paul dengan badan tegapnya bersandar di samping tempat tunggu makanan. Celakanya hanya dia yang berada di situ, situasi yang paling ingin aku hindari. Berpura-pura tidak mengenalnya akan menambah buruk hubungan kami. Meskipun begitu aku akan menghadapinya seperti biasa.

"Hi," sapaku yang dibalas senyum, dia memilih sibuk meminum milkshake yang hampir habis. Aku mengusap tengkuk tanpa sadar, merasa canggung. Aku beralih memesan apa yang sanggup memuaskan teman-temanku. Sedangkan Paul yang selesai menerima pesanan masih bertengger di tempatnya semula.

"Tumben lo ikut anak-anak keluar Ra?" Ujar Paul membuka pembicaraan.

"Sekali-kali boleh lah ikut," jawabku masih dengan pandangan datar menatap iris mata coklatnya,

"Kira-kira lo bisa habis makan pop corn segede itu?" Tanyanya memastikan.

"Tenang, aku punya banyak perut kok," timpalku,

"Jadi perut Shella sama Luna masuk hitungan nih." ujar Paul yang mampu membuatku tersenyum. Paul memang tahu bagaimana cara menanggapiku. Rasa tidak nyaman itu mulai memudar meski baru berbincang sebentar saja.

"Kakak ke sini sama siapa?" Kini aku berbalik bertanya, membantu mencairkan suasana.

"Tu!" Tunjuknya dengan muka. Aku beralih pada blitz cafe, tempat beberapa anak sedang duduk. Ada seseorang yang sedang melihat kami, mukanya juga familiar bagiku. Tatapan kami bertemu sebelum dia beralih untuk meneruskan obrolan dengan teman perempuannya. Ini firasatku saja atau memang dia tidak terpisahkan dari kata perempuan di sekelilingnya.

"Have fun kak, aku duluan." Ujarku bertepatan dengan satu bucket pop corn telah tersedia.

Beberapa menit berlalu, film yang kita tonton segera dimulai. Satu persatu penonton mengambil posisinya. Banyak dari mereka melihatku sekilas, 'memangnya ada yang salah sama mukaku,' batinku menyahut.

Jadi ini film action yang mereka bicarakan selama beberapa minggu belakangan, dari trailer-nya sudah menjanjikan kalau film ini tidak akan membuang waktumu. Dengan menggebu-gebu aku semakin penasaran dibuatnya. Hingga sampai saatnya di mana ada berbagai macam adegan yang tidak sanggup aku lihat, bagian yang menampilkan banyak darah dari pertarungan sengit,

"Kamu kenapa Ra?" Tanya Shella yang tahu jika sejak tadi aku hanya memegang kening,

"Pusing?" Tambahnya.

"Nggak, ngantuk aja," balasku berkelit tanpa sadar mengganggu konsentrasiku makan,

"Uhukk huk..," tersedak, bodohnya aku lupa untuk membeli minum. Ini tidak berhenti, aku takut akan mengganggu penonton lainnya.

"Gue beli minum bentar Ra," sebelum Luna beranjak, ada seseorang yang menyodorkan minumnya tepat di sampingku. Dia laki-laki yang duduk tepat di belakang bangku tempatku berada. Adam.

"Belum gue minum," ucapnya masih menawarkan minuman. Karena situasinya mendesak dan aku juga tahu laki-laki itu, jadi tanganku menyambar minumannya tanpa bilang terima kasih, hanya mengangguk beberapa kali. Aku harap dia paham maksudnya, karna aku tidak bisa berbicara di tengah batuk yang tidak juga mereda.

Insiden tersedak tadi terlewati dengan nyawa yang masih utuh. Kami berhamburan keluar bioskop segera. Di luar sudah banyak toko yang tutup, penerangan juga semakin minim.

"Aku mau ke toilet," izinku cepat, ruangan bioskop terlalu dingin jadi dari tadi terpaksa menahannya.

"Kita tunggu di lobby," Balas Shella yang menggandeng Luna untuk mengikutinya.

Bersyukur aku masih diberikan keberanian untuk pergi ke toilet seorang diri. Setelah selesai dengan urusan belakang, aku meraba ponselku, sialnya tidak ada gunanya melakukan itu.

"Ra! Buruan!" Pekik Shella dengan wajah khawatir. Dia membisikkan sesuatu yang memaksaku memantapkan ancang-ancang untuk berlari.

"Sampai ketemu besok Shell," pamitku, mulai berlari berbalik arah menuju basement tempat parkir mobil.

Aku hanya ingin segera tiba di sana, kalau bisa tidak boleh ada sedetikpun terlewatkan. Benar saja, Ray sudah menyilangkan tangan saat melihatku, dengan nyali terbatas aku berjalan pelan mendekati. Masih mencoba mencari kata apa yang bisa digunakan untuk menyapa Ray.

"Masuk!" Gertak Ray seketika. Jantungku hampir copot meresponnya,

"Kakak marah?" tanyaku yang sudah tahu jawabannya,

"Kakak nggak ngerti lagi gimana harus ngadepin kamu Ra," timpal Ray yang membuatku tercekat, menundukkan kepalaku. Diluar dugaan aku malah memikirkan hal lain,

"Kak Ray tahu aku di sini dari siapa?" mataku memicing, berharap jawabannya tidak membuat kami bertengkar lagi.

"Apa itu penting sekarang?! Kamu berani keluyuran tengah malam begini!" Kembali lagi pada rules yang Ray bangun,

"Apa nggak bisa Rain main sama teman seumuran Rain?! Kakak nggak tahu julukan apa yang mereka kasih ke Rain karna nggak pernah bergaul! Mereka...," amarahku terhenti saat mendengar suara rem mobil yang cukup keras. Aku baru menyadari bahwa kita masih di tempat umum, jam segini lagi.

Nggak berniat mempermalukan diri sendiri, aku melangkah panjang untuk memilih tempat duduk belakang, jauh dari Ray yang menyetir. Sekuat tenaga aku menahan segala pertanyaan yang hanya tersimpan di benak. Selebihnya adalah tenaga yang aku simpan untuk tidak memaki kakakku sendiri.

Saat tiba di rumah, Ray menghalangi jalanku untuk pergi ke kamar. Dia adalah tipe orang yang akan membereskan masalah secepat mungkin.

"Kenapa nggak kasih kabar?" Kini nada bicara Ray lebih enak didengar oleh telinga,

"Aku udah kirim pesan tadi siang, handphone-ku mati"

"Jangan mengelak Ray! Kamu tahu kakak nggak bakal kasih izin kalau buat pergi, sampai jam satu begini," cetus Ray mencoba meluruskan titik permasalahannya

"Rain cuma nonton film Kak, nggak ngapa-ngapain. Nggak clubbing atau semacamnya. Kenapa harus marah berlebihan,"

"Itu karna kakak kecewa Ra, kamu berani membantah kakak," nadanya melemah tapi aku mendengarnya seperti petir yang menyambar tanpa hujan. Suaranya sangat mengganggu hatiku.

Sesaat kami hanya terdiam, namun hatiku mulai berkecamuk tidak ingin diadili dengan kesalahan yang menurutku tidak penting.

"Lalu.., bagaimana denganmu kak?" Kataku akhirnya.

"Siapa sekarang yang kamu jadikan mata-matamu?" Hatiku sedikit lega bisa mengatakan apa yang mengganjal di hatiku,

"Kamu bicara apa?" Ray dengan mata tajamnya masih berusaha menutupi,

"Shella?" Tanyaku yang lebih seperti meyakinkan diriku. Jawabannya sudah terbersit di raut muka Ray.

"Kamu mengulanginya kak." Belum lepas ingatanku akan Sisi, teman lamaku sewaktu SMP. Dia lebih seperti benalu dari pada seorang teman. Dia akan memberikan semua informasi mengenai kegiatanku kepada Ray di manapun itu. Terima kasih buatnya, hal itu juga yang membuatku tidak percaya dengan orang baru yang akan aku beri label sebagai teman. Tapi ini Shella, dia berbeda.

"Rain" panggil Ray pelan, dia melihatku menangis sekarang. Aku menghentikan langkahnya yang ingin memeluk. Hal yang ingin aku hindari saat ini adalah Ray, kakakku sendiri.

"Kamu keterlaluan Ray," cetusku sebelum berlari menuju kamar. Terkejutnya aku melihat Selene yang hanya berdiri diam di tangga. Tanpa memperdulikannya aku tetap menaiki tangga, yang kubutuhkan saat ini adalah privasi yang bisa aku dapatkan di kamarku.

Jika kamu bertanya seperti apa perasaanku saat ini. Aku bahkan tidak tahu harus merasakan yang mana dulu. Kecewa karna temanmu sendiri sudah berkhianat. Terluka karna dianggap sebagai adik yang buruk di mata kakaknya. Atau sedih dengan perasaan di mana privasiku sendiri sedang dikuliti tanpa henti. Lalu apa yang tersisa untukku di dunia ini. Kasih sayang mana yang harus aku pertahankan, bukan, lebih tepatnya untuk membantuku bertahan. Hal yang aku tahu pasti saat ini adalah masalah ini akan berlangsung lama.

Adam

Capek, itu kata yang bisa ngungkapin kondisi tubuh gue yang terguling lemas di lantai. Menyandang status sebagai party planner dadakan rasanya cukup menakutkan. Mulai dari kue sampai dekorasi perlu gue yang mikir, terlebih orang yang sedang berbahagia saat ini malah fokus dengan laptop-nya.

"Kenapa nggak sewa orang lain aja buat ngatur pesta lo?" Keluh gue, sedikit membujuk laki-laki jomblo di depan gue buat menggunakan uangnya dengan benar,

"Gue nggak gampang percaya sama orang," cetus Paul sembari menyodorkan gigi putihnya

"Bilang aja mau ngirit, makanya lo pakai teman sendiri buat jadi babu!" Seru gue yang membuat Paul terlihat tambah girang,

"Ingat kata-kata tante." Oceh Paul yang terdengar seperti ancaman.

Nyokap gue juga ada andil dalam perbudakan satu hari ini. Dia mengancam, kalau nggak mau membantu sepupu gue yang menyebalkan ini, gue bakal dikirim balik ke Jepang. Hidup bagai bola ping-pong susah juga, nggak diinginkan oleh kedua belah pihak yang malah saling melempar tanggung jawab.

"Hah! Gue capek!" teriak gue kencang,

"Lo sawan ya, ngeluh muluk kayak anak cewek, yang tulus dikit napa?" Perkataan Paul barusan membuat gue ingin bercita-cita sebagai seorang pembunuh, khusus buat Paul tentunya.

"Kampret! Lo nggak sadar apa? Mulai dari pasang lampu di taman belakang, sampai tiup tuh balon-balon di kolam renang. Itu semua gue yang lakuin bego!" jelas gue yang dibalas anggukan.

"Dari pada lo rewel aja dari tadi, mending istirahat di kamar," ucap Paul. Dia sepupu yang kadang nggak punya hati. Nggak mau berlama-lama di dekat Paul lagi, dari pada disuruh-suruh, gue angkat badan buat ikut saran Paul, sebelum dia berubah pikiran. Lagi pula persiapan pesta udah hampir selesai.

"Lo mau ke mana Dam?" Tanya Kathleen menghalangi jalan ke kamar Paul.

"Tidur bentar," balas gue agak risih dengan keberadaannya seminggu ini, yang udah kayak orang nggak bisa hidup tanpa melihat gue sedetikpun.

"Do you need me?" Tawarnya yang gue jawab dengan senyuman.

"Not today girl," tolak gue ramah sembari menghindarinya.

'Aktif banget tu cewek,' kini batin gue mengomentari.

Gue juga punya kriteria cewek buat di atas ranjang, nggak sembarang ada yang nawarin langsung gue sikat.

Buat berjaga-jaga biar gue nggak dilecehkan selagi tidur, gue kunci kamar Paul biar nggak ada yang ganggu. Sebelum bobok gue nggak lupa pasang alarm, takutnya pesta Paul udah kelar gue malah baru bangun dari bobok cantik, bisa-bisa dia ngamuk berbulan-bulan.

Suara keras berulang kali terdengar, alarm yang beberapa kali udah gue matikan tetap berdering dengan lantang. Gue hampir lupa kalau hari ini Paul ulang tahun, dengan pandangan yang masih meraba cahaya, gue melihat situasi dari balkon.

'Stupid!' seru gue dalam hati menyadari kalau udah nggak ada matahari. Gue yang nggak mau kena lemparan botol beer, sebisa mungkin mencari beberapa helai baju Paul yang bisa gue pakai. Tentu mandi itu pasti biar tetap wangi.

Jeans yang warnanya senada sama kaos hitam gue, ditambah Nike-black deep royal blue cukup buat pesta. Sisanya udah ditunjang sama muka dan postur tubuh gue. Semacam orang yang lagi nguber gebetan, gue mengaduk-aduk seluruh isi rumah Paul buat mencari keberadaan anak itu, yang ternyata sedang duduk santai di sofa pinggir kolam.

"Dari gue," sapa gue sembari melempar kotak kecil ke arah Paul, dengan sigap dia menangkapnya dengan baik meski memegang botol di tangan.

"Pecah banget pesta lo bro," timpal salah satu cowok yang baru datang dengan gerombolannya. Kita pernah main biliar bareng, tapi begonya gue nggak ingat namanya. Memang ada yang salah sama otak gue jika menyangkut nama orang, saking banyaknya teman.

"Nggak usah mikir, gue Kent. Gue tahu lo pasti lupa nama gue," sergah Kent.

"Dukun handal lo bro, tahu aja yang gue pikirin." Sesaat memori gue berputar balik, dia cowok yang pernah bicara sama Rain di kelas yang rotinya gue ambil paksa.

"Nggak bakalan pernah diingat lo Kent, kapasitas otaknya Adam itu terbatas." Jelas Paul yang gue sambut kekehan kosong.

Sembari melihat Paul ngobrol sama tamu-tamunya, gue melihat sekitar. Semua orang tampak menikmati pesta yang Paul gelar. Design pesta yang gue rancang emang nggak pernah gagal buat menghidupkan suasana. Lima menit lagi acara dimulai, gue harus selalu stand by di dekat MC yang udah siap di panggung. Memastikan semuanya berjalan sesuai rencana. Lima belas menit cukuplah buat acara potong kue sama sambutan dari Paul, sisanya buat pesta. Malakukan yang mereka mau di rumah ini, kecuali kekerasan dalam bentuk apapun, sama nggak dapat akses buat pergi ke lantai dua, cuma itu peraturannya.

DJ yang sengaja gue sewa buat acara ini bukan yang kaleng-kaleng, dia udah punya nama di luar sana. Minuman sama makanan yang tersedia gue jamin nggak bakalan habis, karna disediakan empat kali lipat dari jumlah tamu undangan. Kurang dermawan apa gue jadi babu seharinya Paul.

Gue juga nggak mau ketinggalan buat menikmati suasana yang langka. Waktunya buat bersosialisasi, tentu dengan cara yang gue tahu dan nggak susah buat memulainya. Biarkan kaki gue yang bakalan jadi penentu di mana gue membaur.

Ketemu, rasanya udah lama banget nggak bermain Uno Stacko. Masih di pinggir kolam, ada beberapa anak yang mengerubungi meja tanpa kursi. Mereka akan bertaruh buat lompat ke dalam kolam jika kalah dalam permainan. Patut dicoba, gue mendapat giliran ke lima, memang rawan kalah, tapi apa boleh buat. Benar aja, baru tiga putaran gue udah harus dipecundangi sama game ini. Mana udaranya dingin, bisa ditebak jika air kolam sedingin apa.

Diiringi sorakan gue bersiap lompat, dengan menyisakan jeans yang melekat. Riuh para penonton semakin menjadi saat gue nggak pakai kaos. Thanks buat instruktur gym gue yang lebih mirip macan, yang udah ngebantu membentuk tubuh gue kayak sekarang. Biar mendramatisir suasana, gue merentangkan tangan sambil membelakangi kolam. Gue membiarkan tubuh terhuyung ke belakang menyentuh permukaan air yang merenggut badan gue lebih dalam.

Di sini tenang, gue nggak bisa dengar apapun lagi. Berbanding terbalik dengan apa yang menanti di atas sana, 'Apa gue menetap aja di sini,' pikir gue dalam hati. Pikiran itu dikoyak kencang oleh insting gue yang lumpuh sesaat, butuh udara. Tangan gue sigap buat berenang ke permukaan, dentuman lagu yang keras berdengung kembali di telinga.

"Heh nyet! Buruan ganti baju." titah Paul yang nggak perlu sebenarnya, mana mungkin gue bakalan terus basah kuyup begini. Dengan badan yang gue usahain masih terlihat tegap, gue menahan hawa dingin yang menjalar ke seluruh tubuh. Tengsin kalau jalan kelihatan kayak anak kucing kecebur got.

"Gila dingin banget," kata gue sendiri saat menginjak lantai dua. Di kamar Paul gue menuju kamar mandi sebelum mengambil beberapa pakaian nyaman lainnya. Nggak gue bayangkan jika air hangat bisa menjadi penyelamat hidup. Karena nyaman, gue berencana buat berendam air hangat di bathtub. Nggak mau kalah sama putri kerajaan, gue menuang sabun banyak biar busanya juga makin berlimpah.

Suara benda jatuh menyadarkan gue dari tidur, nggak mau kalau nantinya kulit jadi keriput, gue segera membasuh diri. Laju kaki gue berjalan keluar sembari mengeringkan rambut yang basah. Kaki gue mendadak kaku, ada seseorang di kamar Paul. Dia sedang menatap album foto sebelum memberikan ekspresi yang sama ke arah gue.

"Ngapain lo di sini?" Tanya gue yang belum mendapat jawaban,

"Tamu dilarang naik ke lantai atas," timpal gue lagi yang membuatnya semakin nggak bisa menjawab,

"Sorry," itu kata pertama dari Rain buat gue.

"Lo bosen sama pestanya? Atau..., mencari tempat buat lari?" balasannya hanya anggukan pelan, mungkin jawaban dari kedua pertanyaan gue.

Rain belum mau melihat gue lagi, dia memalingkan pandangannya keluar balkon. Masih dengan earphone yang terpasang dia berbalik melihat gue kini,

"Boleh aku di sini sebentar?" Pintanya. Gue nggak sanggup menolak, sepertinya dia bisa menyihir lidah gue buat berkata 'boleh' dalam bentuk anggukan.

Rain duduk bersila di lantai balkon sembari mengamati orang-orang di bawah. Dia terlihat sedang menikmati jalannya pesta, sebagai seorang penonton tentunya. Gue yang udah berbaik hati menemani malah dianggurin. Kesan dingin yang anak kampus gembor-gemborkan tentang Rain memang benar ternyata.

Meski begitu bisa dibilang ini anugerah buat gue, menatap Rain dari jarak sedekat ini. Dalam diam gue memperhatikan setiap guratan wajah yang mengacu pada satu kata, cantik. Gue cuma minta dianggap ada aja, itu permohonan gue yang pertama. Permohonan yang nggak tersampaikan oleh mulut gue yang masih tertutup.

Harusnya gue coba,

"Lagu apa yang lagi lo dengerin?" gue berbasa-basi,

"Aku belum tahu judulnya," masih dengan jawaban yang terdengar ala kadarnya, Rain tetap mau menjawab.

"Kalau penyanyinya?" Pertanyaan gue dibalas angkatan bahu,

"Gue baru ketemu sama orang yang nggak tahu judul lagu yang dia dengar,"

Rain melemparkan senyum tipis, gue bisa melihatnya dengan jelas. Semoga ego gue bisa menahan buat nggak melakukan hal di luar kehendak gue. Ini sulit, menahan diri buat nggak menyentuhnya.

"Aku aneh ya?" gue kalang kabut menjawabnya,

"Gue senang kok berteman sama orang aneh," gue nggak henti-hentinya merutuki kalimat itu,

'gue ngomong apa sih.' batin gue berbicara. Itu sama artinya kalau gue mengiyakan kalau Rain itu aneh.

Dengan susah payah gue menelan ludah, Rain nampaknya nggak sadar sama sikap gue yang lagi gelisah merangkai kata biar dia nggak salah paham.

"Aku ngerti Adam," katanya pelan. Ini pertama kali Rain panggil nama gue. Kalau nggak punya malu, gue udah minta dia buat panggil nama gue lagi sampai gue bosen mendengarnya.

"Gue senang berteman sama orang aneh. Lo mau tahu alasannya?" Rain mulai menyimak, dia mengangguk setuju.

"Itu karna mereka lebih berwarna buat melihat dunia dengan cara pandang mereka yang beragam. Kayak lo yang punya keistimewaan sendiri, dan nggak takut buat jadi orang yang berbeda. Itu juga sebabnya mereka disebut aneh karna beda dari orang pada umumnya."

"Ternyata kamu orang baik Dam," respon Rain di luar ekspektasi.

'Lo lagi ngomongin gue Ra? Yakin lo?' tanya gue dalam batin.

"Lo satu-satunya orang yang bilang kalau gue orang baik Ra. Bahkan Paul, sepupu gue selalu bilang kalau gue ini berengsek."

"Setidaknya aku jadi yang pertama," senyuman itu lagi, gue mohon berhenti buat senyum kayak gitu di depan bedebah macam gue.

"Udah jarang gue nggak dengar kata 'aku kamu,' tepatnya dari orang-orang di sekitar gue,"

"Itu artinya aku langka, harus dilindungi biar nggak punah," gue terkekeh. Rain itu bisa melucu juga ternyata.

"Ngomong-ngomong Ra, lo nggak masalah apa? Pergi ke pesta gini." Mimik muka Rain berubah drastis, dia bahkan membuang pandangan, sekali lagi.

"Sorry Ra, gue salah tanya," apes banget jadi gue yang emang paling nggak bisa mengontrol apa yang ada di otak.

"Aku lagi butuh udara, jadi mutusin buat ke sini." Sebegitu tercekiknya Rain sampai nekat pergi ke tempat yang bisa jadi ada di daftar terakhir tempat yang mau dia kunjungi. Gue tahu Rain lagi sedih, semuanya terbaca jelas. Menurut gue Rain ini punya sisi yang tangguh, apalagi menghadapi kakaknya yang horror. Telat pulang malam dikit aja marahnya udah kayak singa nggak dikasih makan sebulan. Gue tahu karna udah jadi saksi, menonton seberapa garang kakaknya Rain waktu jemput adiknya dari bioskop.

"Kamu lagi mikir apa?" tanya Rain membuyarkan lamunan gue,

"Kakak lo," Rain memicingkan mata

"Lo kenapa bisa tahan sama orang kayak dia?"

'Kalau gue jadi lo, gue bakal kabur dari rumah,' benak gue memulai protesnya.

"Although he's been a total pain in the ass, tapi aku juga nggak sanggup buat membencinya." Ekspresi itu lagi, tanpa sadar tangan gue menyentuh pipi Rain. Dia memberikan penolakan dengan menggenggam tangan gue, menjauhkannya perlahan.

"Aku nggak butuh simpatimu," cetusnya yang membuat gue terdiam. Nada bicara Rain mulai membuat panik.

"Gue cuma nggak bisa lihat cewek sedih di depan gue," Rain tertawa sekarang. Mood-nya bagaikan cambukan pedas.

"Dasar laki-laki," ujarnya disela-sela tawa.

"Tapi aku senang bisa ngobrol santai sama cowok, udah lama banget rasanya." Tambahnya

"Lo asyik anaknya Ra, nggak bikin bosen buat diajak ngobrol,"

"Kamu juga, aku kira cowok populer kayak kamu itu bakalan menyebalkan kalau diajak ngobrol. Well dari sini aku semakin mengerti buat membaca kamu dari perspektifku sendiri. Aku nggak akan bisa memahami orang kalau cuma lihat cover-nya aja,"

"Indeed," jawab gue masih melihat Rain tersenyum.

"Pasti menyenangkan kalau punya teman kayak kamu," saat dia mengucap kata teman, muka gue berganti lebih serius. Kata itu yang paling gue benci dalam hubungan antara cowok dan cewek. Sekarang Rain mau menggunakannya buat kasih batasan sama hubungan yang belum pasti ini? Sorry Rain, gue bukan orang yang suka berbasa-basi. Kalau gue pengen elo, gue harus milikin lo, bukankah jelas kalau kata teman nggak akan mungkin bisa digunakan. Benak gue mulai mengambil alih.

"Gimana kalau gue nggak punya rencana buat jadi temen lo," sela gue yang mampu memudarkan senyuman Rain. Gue berusaha jujur Ra, pertama kali ngelihat elo di kampus. Gue udah punya tekad buat jadiin lo sebagai cewek gue. Kalau gue udah punya tekad, mau lo menghindar sampai jungkir balikpun gue masih bisa dapetin lo.

Dia menajamkan matanya, membuat jantung gue berdegup lebih kencang. Menanti jawaban,

"Kalau gitu aku nggak punya alasan buat dekat sama kamu." kata-kata Rain itu tegas. Gue sadar dia mulai membangun bentengnya sekarang. Dia beranjak bangun.

"Lo mau ke mana?" Gue mengikuti Rain dari belakang,

"Kalian di sini," sahut Paul nampak kaget mendapati kami berdua di kamarnya. Arah matanya hanya tertuju pada Rain yang balik menatap. Tangan Paul mengusap rambut Rain.

'Get off your hand from her', benak gue berseru kencang sedangkan jantung gue berdenyut nggak karuan.

Gue mengurungkan niat buat ikut campur. Rain bisa mengatasinya sendiri, dia menepis tangan Paul sembari melangkah mundur untuk mencari jarak aman.

"Setidaknya kamu bukan pengecut yang berlindung dibalik nama pertemanan," cetus Rain sambil berpacu pergi menghindari Paul yang mematung karna ucapan Rain barusan. Gue yakin pernah terjadi sesuatu diantara mereka.

Paul yang mulai sadar dari pikirannya memilih buat membanting badan di kasur. Dia menutupi matanya dengan lengan.

"Lo capek bro?" Tanya gue memastikan dia nggak pingsan,

"Gue mau tidur bentar, darah gue kesedot habis," Paul membenahi posisi tidurnya. Hanya itu yang dia lakukan sebelum tertidur nyenyak, meninggalkan sepatu yang masih terpasang. Insting pelayan gue mencuat, tanpa menunggu persetujuan gue melepaskan sepatu Paul dan menyelimuti anak itu. Terang aja kalau dia bisa tidur cepat, bau alkohol merambat memenuhi hidung gue.

Rain

Tatapan sinis semakin menghakimi, gossip tidak benar bertebaran membawa namaku. Belum usai pertikaian dengan Ray, sekarang ditambah cowok tidak tahu malu seperti Adam. Tidak bosan anak itu mengikutiku, sudah satu bulan berlalu masih saja belum menyerah. Aku tidak tahu cara apalagi yang bisa digunakan untuk menghindarinya. Mau di mana pun aku bersembunyi, dia tetap bisa menemukanku. Kesalnya meski dibentak, ditolak, dimaki sekeras apapun, cowok itu tetap balik lagi. Semacam kecoak terbang yang malah mendekat saat mau dihindari.

"Menyebalkan!" menahan kesal aku tidak bisa berhenti mengacak-acak rambut.

"Kenapa kamu Ra?" Ujar Shella sembari membantu merapikan tatanan rambutku dengan jarinya.

"Adam itu terbuat dari apa menurutmu Shell?" Tanyaku yang disambut tawa,

"Jangan terlalu benci begitu sama dia nanti jadi naksir loh," aku menatap Shella tidak percaya.

Sesekali aku melihat sekeliling memastikan wajah Adam tidak muncul tiba-tiba. Tapi tumben aku belum melihatnya sejak pagi. Apa yang aku pikirkan, apa mungkin aku mulai terbiasa dengan keberadaan Adam di sekitarku. Lupakan, aku menepis jauh-jauh pikiran gila itu.

Akhir-akhir ini kami menghabiskan banyak waktu berdua saja. Luna semakin sibuk berlatih basket untuk pertandingan antar fakultas. Jadwalnya berlatih membuat kami jarang bermain bersama. Diperparah dengan ponselku yang masih disita akibat pergi ke pesta. Ray membuatku merasa muda, lebih tepatnya seperti anak kecil yang dipandang tidak tahu banyak hal mengenai dunia luar.

"Habis makan, kita pergi lihat Luna latihan yuk," ajak Shella yang tanpa ditanya aku akan setuju. Hanya dengan menonton basket saja sudah bisa membuat jantungku menggebu-gebu.

Mau menilai dari segi manapun Shella ini orangnya tulus. Rasa kecewa tempo hari karna kebenaran yang sudah aku tahu, seketika sirna saat merasakan betapa pedulinya Shella padaku dan Luna. Tiga tahun itu bukan waktu yang cepat untuk mengetahui kepribadian orang. Sampai sekarang Shella tidak pernah merubah sifatnya.

"Ra? Ada apa?" Shella selesai dengan makannya, dia terlihat memperhatikan,

"Oh nggak papa"

"Kamu akhir-akhir ini kebanyakan melamun, apa ada masalah di rumah?"

"Nggak ada," dustaku untuk kesekian kali.

"Ayo pergi." Ajakku, berusaha mengganti topik pembicaraan.

Disepanjang perjalanan ke lapangan basket, kami banyak menghabiskan pembicaraan seputar dosen killer yang paling ditakuti. Jadwal kami biasanya terpaku pada tugas kelompok yang tidak terhitung jumlahnya. Bisa jadi ada tiga atau empat tugas yang harus dikerjakan, membayangkannya saja sudah membuat otak linu.

Hari ini cuacanya cerah berawan, matahari tidak terlalu terik. Suasana yang paling aku suka. Dari jarak yang cukup jauh Luna memanggil nama kami. Aku senang bisa melihatnya seceria itu. Luna, lebih lama berteman denganku. Kita berkenalan sewaktu kelas tiga SMA. Tapi jika diingat, banyak sekali yang berubah mengenai Luna. Perubahan yang hanya aku amati tanpa memberi komentar apapun.

Saat mau melangkahkan kaki mendekati Luna dan beberapa anak basket lainnya, aku memilih berhenti. Kenapa Adam ada di sini? Aku sempat lupa jika Paul adalah center andalan tim basket pria di fakultas kami. Sejauh dia masih belum menyadari keberadaanku, itu cukup untukku. Di tengah pikiran yang masih mengambang, Luna menghampiri yang langsung merangkul bahuku, dia menarik tubuhku untuk mendekati teman-temannya.

"Coach ini Rain yang gue ceritain." Tiba-tiba Luna memperkenalkanku dengan pelatihnya, semoga firasatku tidak benar.

"Besok sore mulai latihan," Aku yang masih bingung mencoba menerka maksud dari perkataan coach Hendra. Diamku semakin membuat banyak anak berseru.

"Kamu ngomong apa sih Lun?" Bisikku, hanya dia yang bisa mendengarnya,

"Rain ini anaknya pemalu, jadi mohon bimbingannya guys!" timpal Luna, lagaknya sangat senang melihatku kehabisan kata-kata.

"Gue Intan," Salah satu dari mereka memperkenalkan diri dan diikuti yang lainnya. Meski banyak yang bilang aku ini pintar, tapi urusan mengingat nama orang itu lain cerita. Tapi buat Intan, aku ini adalah salah satu orang yang mengaguminya. Dia itu pemain basket nasional, jam terbangnya tidak diragukan lagi. Rasanya malu jika harus mengakui kalau aku tidak pernah ketinggalan melihat setiap pertandingannya. Dia juga dikenal sebagai pemain yang menjunjung tinggi fair play, pemain yang sangat menghindari pelanggaran.

"Woy.., malah ngalamun," sahut Luna. Jujur aku tidak tahu harus berbuat apa ini terlalu tiba-tiba. Aku memperkenalkan diriku dengan canggung. Shella dan Luna dengan kompak menahan kekehan.

Perkenalan mendadak itu berlangsung cepat, jantungku masih belum mau melambat. Aku belum bisa mencerna tawaran yang tidak disangka sama sekali, dengan mengatur nafas beberapa kali, aku mencoba menenangkan diri.

"Ra!" panggil seseorang, yang aku tahu suara milik siapa itu. Tetap bersikeras menghindar aku lebih memilih untuk melihat Luna dan teman-temannya yang sedang melakukan pemanasan. Kali ini mereka berlatih bersamaan dengan tim basket laki-laki, betapa beratnya itu.

"Lo kelihatan senang Ra," ujar Adam,

"Bukan urusanmu." Balasku ketus

"Lah, masih ngambeg sama gue," Ucap Adam yang membawa flashback ingatan yang memalukan. Dia benar-benar orang yang bisa melakukan apapun semaunya. Adam menyelinap ke dalam mata kuliah yang tidak dia ambil. Pas ketahuan bukannya minta maaf, malah mengoceh tidak jelas di depan kelas apalagi ada dosen di situ. Namaku bahkan disebut-sebut sebagai alasan tindakan konyolnya, semua itu masih terngiang jelas sampai sekarang. Malunya pun tidak bisa hilang, ditambah banyaknya knalpot di dalam kelas waktu itu.

"Ke mana sih Shella?" kataku sendiri, membutuhkan orang untuk membantuku menjauhi Adam. Shella malah pergi mencari jajanan di samping lapangan.

"Ra!" Pekik Adam di dekat telingaku,

"Apa!" Seruku tidak tahan lagi dengan Adam yang menginginkan perhatian,

"Makanya kalau diajak bicara itu nyaut," pintanya dengan nada tinggi

"Iya aku dengarkan," balasku lagi, mencoba mengalah.

"Lo kelihatan bahagia banget, kenapa?" Dengusan kesalku keluar sebelum memulai cerita. Saat berpaling melihat Adam dengan tampilan rambut slicked back barunya, rasa kesalku terhapus angin seketika. Aku terkesima mengamati, tatanan rambut itu cocok sekali dengannya.

"Lo suka?" Ujarnya, menyadari arah pandanganku.

"Ngomong apa sih," ucapku sebelum mengalihkan tatapan. Kebiasaan yang sulit dihentikan.

"Ra, lo belum jawab pertanyaan gue"

"Aku direkrut sebagai pemain basket," jelasku, tidak bisa menahan senyum,

"Bagus dong kalau gitu. Jadi lo setuju buat gabung?"

"Belum," jawabku, masih dengan banyak pertimbangan yang akan membebani tim jika aku ikut terlibat. Mereka berlatih siang malam, banyak waktu yang harus dikorbankan. Sedangkan aku, waktu itu bukan milikku seorang.

"Dam, kamu tahu hal yang nggak boleh dilakukan tapi sulit buat dihentikan?" ujarku mulai melantur.

"Apa?" Adam melihat lekat, aku tahu dari ekor mataku,

"Iri," jelasku ditambah helaan nafas dalam.

"Kamu merasa jika milik orang lain sangat indah di matamu, hingga membuatmu ingin menjadi seperti mereka. Tapi pada akhirnya kamu hanya akan kehilangan dirimu sendiri. Itu adalah hadiahnya, menakutkan bukan."

Opini ini nyatanya dicerna oleh Adam. Dia mungkin mengerti.

"Kenapa nggak lakuin aja yang lo mau. Lakuin yang mereka lakuin, milikin yang mereka milikin. Nggak ada yang salah Ra, kalau di akhir lo kehilangan diri lo sendiri, setidaknya lo tahu gimana cara biar bisa menghentikan rasa iri itu. Dengan cara menurutinya."

Ini memang Adam yang aku kenal belum lama. Dia mampu membuatku mengerti lebih dengan cara pikirnya.

"Ra, kadang lo harus tahu caranya melawan."

Kini aku tidak bisa menyingkirkan pandanganku pada Adam. Begitu memikat, semakin sulit bagiku untuk keluar dari tatapannya. Mata itu semakin bersinar. Aku bisa merasakan usapan hangat tangan Adam, mengoles perlahan pipiku. Baru tersadar jika warna iris Adam sama dengan Paul, coklat berkilau.

"Ehemm..," dehaman yang dibuat-buat itu membantu anganku terjaga, Shella. Terlalu terbawa suasana, aku membiarkan Adam menyentuh pipiku, bukan awal yang baik buat diteruskan.

"Ini Ra," ucap Shella menyodorkan minuman.

Tanpa ekspresi berlebih, aku memberikan minumanku pada Adam.

"Thanks," balasnya.

Akhirnya Shella berbagi minum denganku, meski tidak merasa canggung dengan keberadaan Adam, Shella masih belum mau membaur dengan laki-laki ini. Atau dengan kata lain, belum ingin membuka diri padanya. Perempuan ini yang biasanya kalem dan hangat, berubah menjadi dingin jika ada Adam. Aku tidak ingin ikut campur, Shella punya alasannya sendiri.

Luna bekerja keras di lapangan memunculkan aura bengisnya. Aku rindu sekali bermain basket bersama Luna. Membuatku ingat dengan julukan yang diberikan pada kami dulu. Senang juga melihat Luna masih bisa melakukan hobinya sampai saat ini.

"Ra, kakakmu," Aku menyambar handphone Shella sembari menjawab orang yang ada di sambungan. Adam menatap tidak percaya, memahami situasinya.

"Aku pulang dulu," pamitku yang diikuti Adam,

"Gue antar." Katanya yang bukan seperti tawaran

"Nggak usah Adam,"

"I insist," sela Adam dengan penuh penekanan,

"Terserah kamu," balasku tidak mau repot menolak.

Lajuku cepat melewati koridor panjang menuju tempat parkir. Disela-sela kakiku melangkah, aku teringat sesuatu. Aku segera menarik tangan Adam, membuat kami berhadapan.

"Dam, I think it's not a good idea," hubunganku dan Ray semakin renggang, dengan melihat Adam berada di sekitarku hanya akan membuatnya merancang banyak rencana lain yang memuakkan.

"Maksudnya?" Adam menaikkan satu alis, membuat ekspresi seakan-akan tidak mengerti.

"Kalau sampai Ray lihat kamu, aku nggak tahu masih bakal diizinkan buat kuliah lagi atau enggak," terangku

"Lo berlebihan Ra," Adam meninggalkanku yang dengan sengaja mempercepat langkahnya

"Dam, please!" Pekikku yang bisa menahan laju Adam

"Okay, tapi ada syaratnya." Dia berbalik arah untuk mendekat, terlalu dekat hanya menyisakan beberapa jengkal.

"Syarat?" Balasku yang kini bisa mengerti rencana Adam, celaka. Bagaimana bisa dia menggunakan kelemahanku. Adam mencondongkan badannya, membuat kerongkonganku semakin kering. Dia berbisik memberikan syarat yang dia inginkan.

"Do it or..," ancam Adam yang belum bisa aku setujui.

"Okay then." Adam berjalan menjauh, menuju tempat yang menjadi tujuanku.

"Okay," balasku pelan yang mampu di dengar olehnya. Senyuman puas terbersit di wajahnya yang terlihat semakin menyebalkan. Tapi aku punya sedikit kejutan untuk orang yang berani membuatku berada di posisi ini. Seenaknya menempatkanku dalam pilihan yang tidak terpikirkan olehku. Kejutan kecil ini perlu dilakukan dari jarak dekat. Aku harap dia menyukainya. Adam masih terdiam memperhatikanku yang berjalan ke arahnya. Sengaja aku tidak melepaskan pandanganku dari matanya. Lucunya aku bisa melihat jika dia sedang merasa canggung. Aku meletakkan tanganku di bahu kirinya, dia masih melihatku dengan tatapan aneh. Percayalah dia hanya bisa melihat pandangan tajam dariku. Kami terlalu dekat, hingga aku bisa mendengarnya menelan ludah. Waktu yang tepat untuk menendang tulang keringnya.

'Bukk'

Suara tendangan pada kaki Adam diikuti seringainya menahan sakit. Sedikit puas melihat itu.

"Fu*k off!" seruku sebelum meninggalkan Adam sendiri.

Soal persyaratan dari Adam akan aku bicarakan dengan kakakku nanti, semoga suasana hatinya sendang baik. Setuju dengan syarat Adam disambut gembira oleh hati kecilku. Haruskah aku menertawakan diriku sendiri yang pengecut ini. Permintaan Adam memberiku kepercayaan diri untuk bernafas.

avataravatar
Next chapter