1 Dia yang Mengawasiku

Rain Pov

Tanganku tetap terdiam menahan secarik kertas yang sejak tadi menunggu untuk dibalik. Halaman yang sama tetap pada satu kata yang bahkan belum sampai tanda titik. Mungkin setengah jam sendiri pikiranku yang penuh menghentikan badanku, dia menyela. Aku menyerah yang akhirnya memilih untuk menyandarkan kepalaku di samping ranjang, membalikkan buku novel tebal begitu saja di atas lantai. Kakiku mulai merasakan dinginnya lantai marmer kamar. Helaan nafasku mulai beruntun, pandanganku masih belum mau melepaskan langit-langit kamar yang berwarna abu-abu di dalam kegelapan.

"Bosan," kataku sambil memeluk kedua lutut di pinggir ranjang.

"Kenapa bisa sebosan ini." Ulangku sendiri.

"Rain!" Pangilnya yang membuyarkan lamunan. Kakakku bertengger disela pintu kamar dengan tangan dilipat, hanya mengenakan celana boxer dan kaos dalam.

"Tuli ya kamu." Tambahnya

Aku beranjak bangun menghampirinya, sembari memutar mata,

"Nggak bisa ketuk pintu dulu apa." Sanggahku mempertahankan privasi.

"Kamu pikir kakakmu ini nggak punya tata krama, udah beribu kali Ra."

Tonyoran tanganku tepat mendarat di mukanya, menghentikan kalimat hiperbola lainnya yang mungkin saja akan keluar.

"Okay, let's eat," balasku mengerti maksud kedatangannya kemari. Di ruang makan, Selene menyambut kami dengan senyum manisnya.

"What do we have for dinner?" tanyaku mengalihkan perhatian. Malas melihat kakakku yang sudah menggelayut manja pada tunangannya itu. Istilah dunia hanya milik berdua sering kusaksikan sendiri.

"Sup ikan." Jawabnya sembari sibuk menyiapkan meja makan.

"Dewi bulanku, kamu nggak boleh terlalu lelah." ujar Ray, membuatku bergidik mendengarnya, menahan untuk tidak memuntahkan isi perut. Meski sering kudengar tapi panggilan sayang untuk Selene masih begitu asing yang belum membuatku terbiasa.

"Tentu, kan yang cuci piring Rain" ucap Selene yang disambut kekehan Ray.

'Sial, susah juga menjadi yang paling muda' kataku dalam hati.

"Iya, dari pada aku nggak dapat makan besok" gerutuku sebelum setuju. Disela-sela kunyahan ketiga, Ray mulai mencuri pandang sesekali.

"Spit it out Ray," cetusku bisa membaca pikiran Ray dengan mudah.

"Besok kakak antar jemput kamu ke kampus, dan jam malam masih berlaku juga buat semester ini." Jelas Ray memberikan peraturan-peraturan yang sudah sangat tertanam di benak.

"Atur aja semau kakak," sergahku menanggapi.

"Rain." Panggil Selene pelan, mengantisipasi nadaku yang mulai terdengar menyebalkan, tentu bukan untukku.

"Do you listen to me?!" Pekik Ray yang membuatku semakin kesal dibuatnya.

"I do brother, I do." Ulangku dengan dengusan keras.

Jika semester baru dimulai, entah apa yang membuat Ray selalu waspada. Aku tidak mau menanyakan apapun yang menjadi alasannya, karna aku yakin itu hanya untuk kebaikanku, dia sudah membuktikannya sejauh ini. Aku bisa menjadi seperti sekarang juga berkat Ray yang selalu ada di sampingku.

"Kamu tahu kan kak, jika aku selalu menurutimu." Tegasku dengan sunggingan senyum. Dibalas anggukan pelan dari Ray yang membuatnya makan lebih lahap.

Selene melihatku sekilas sebelum mengusap rambut Ray beberapa kali. Ini hanya imajinasiku saja atau memang Selene terlihat lebih mirip seperti ibu Ray ketimbang kekasihnya. Aku benar-benar tidak habis pikir, apa yang bisa membuat Selene menerima Ray sebagai tunangannya. Pikiranku terbawa ke berbagai macam pertanyaan tanpa jawaban. Setidaknya aku bisa merasa bebas di dalam pikiranku sendiri.

***

Pagiku dimulai dengan lengkingan Selene yang hampir memicu hilangnya daya pendengaran. Ditambah dengan Ray yang terlalu lama berada di kamar mandi sempat membuat Selene murka. Terima kasih juga buat Ray yang lupa menaruh kunci mobil, kini aku di ambang pertikaian kecil antara Ray dan Selene. Terlambat di hari pertama masuk kuliah bukanlah hal yang bisa dibanggakan.

"Rain cepat sedikit, nanti terlambat!" Teriak Ray dari arah ruang tamu.

"Ulah siapa jika aku sampai terlambat." cetusku pelan yang hanya bisa didengar Selene yang sibuk mengemasi bekal makan siang untuk Ray,

"Kenapa nggak jadi ibuku aja?" ucapku.

"Jika kamu nggak keberatan aku tidur dengan Ayahmu," jawaban Selene yang datar aku balas dengan mulut terkatup rapat. Kadang aku berpikir jika Selene ini adalah psikopat yang sedang berpura-pura menjadi orang baik. Bagaimana dia bisa mengatakan hal seperti itu dengan sangat santai.

"See you later." Pamitku segera meraih bekal Ray yang hampir terlupakan.

"Stop!" Cegah Selene yang membuatku tersentak kaget.

"Kamu nggak akan pergi ke kampus seperti itu kan?" Tambah Selene sembari merogoh sesuatu dari kantung sakunya.

Dengan seksama aku melihat diriku sendiri, sepatu chuck taylor converse, light-washed jeans dan sweatshirt,

"Apa aku terlalu formal?" Tanyaku penasaran.

Selene yang tidak mau membuang waktu menghampiriku yang masih terdiam mematung, dia mencondongkan wajahnya lebih dekat.

"Pakai ini dulu biar nggak terlihat pucat," Selene mengusapkan lip tint merah muda dengan perlahan di permukaan bibirku.

"Perfect!" Sanjungnya dengan wajah ceria,

"Gimana bisa kamu tetap cantik tanpa make-up, bikin iri aja." Racau Selene yang disambut bunyi klakson mobil Ray tanpa henti.

"Ini buatku?" Aku agak gusar dibuatnya.

"Simpanlah, ini hadiah untukmu" tukas Selene yang tanpa seijinku sudah menyelipkan lip tint itu di saku.

"You're the best." Ucapku sambil memeluk Selene, sebelum beranjak.

Di sepanjang jalan aku hanya melihat ke arah luar. Ingatan akan semester lalu tidak terlalu berkesan, hanya tumpukan tugas dengan batas waktu yang hampir bersamaan. Apakah kali ini akan sama? Aku membenamkan diriku sendiri dengan pikiranku. Tidak menyadari jika Ray menggenggam tanganku yang basah penuh keringat.

"Semuanya akan baik-baik saja Rain," Ray sanggup membuatku tenang.

Akhirnya kami tiba di depan gerbang kampus. Saat mau beranjak dari mobil Ray masih belum mau melepas genggamannya. Aku hanya bisa menatap matanya, caraku membaca apa isi kepala Ray,

"I'll be fine," jawabku sebelum mengecup pipi Ray.

"I'm here Rain." Senyumku merekah mendengar kata-kata yang selalu diucapkannya itu. Jawabanku hanya anggukan sekenanya, ingin segera mengakhiri drama pagi yang menurutku sudah terlalu lama berlangsung.

Adam

"Woy! Lihat kemana mata lo." Sapaan Paul yang tiba-tiba hanya gue balas dengan tatapan datar.

"Jangan dilihat muluk nanti luntur tuh cewek." tambahnya lagi.

"Pagi-pagi udah berisik," hujat gue pada kawan lama.

"Nyerah aja deh lo, kalau yang lo taksir itu Rain," kini gue mulai menyimak.

"Rain?! Cewek pakai hoodie biru itu Rain?" Tanya gue lagi buat memastikan.

"Iya goblok, skip satu semester aja udah bikin lo tambah bego ya. Mau bertanya berapa kali emangnya. Lo jarang aja ketemu sama dia, orang ketemu juga kalau lagi ada makul gabungan kayak gini. Sedangkan kerjaan lo paling males masuk kelas kuliah umum," Paul lekas membeo. Ini bocah benar-benar bisa menghancurkan mood.

"Adam Akira, playboy kambuhan. Mau lo usaha bagaimanapun, nggak bakalan bisa dapetin tu cewek." Jelas Paul yang terdengar mengada-ada.

"Emang dia lesbian?" Gurau gue sambil sesekali mencuri pandang kembali.

"Cenayang ya lo sekarang," sergap Paul yang membuat gue tertegun. Jangankan mau mendekat, jika benar yang dikatakan Paul, tentu melihatnyapun udah bikin nggak minat.

"Kok bisa?" Rasa penasaran gue semakin menjadi, dan Paul adalah salah satu informan terpercaya disini, gue persempit lagi kalau dia itu satu-satunya.

"Rumornya sih gitu walaupun gue nggak percaya," terang Paul yang bikin gue sedikit mengerti situasinya.

"Rumor? Sejak kapan lo ganti profesi jadi ibu-ibu kompleks. Gila aja, cewek secantik itu dianggurin." Gue masih menolak setuju sama penjelasan Paul.

"Dude, lo pikir gue nggak pernah nyoba?" Perkataan Paul yang gue balas kernyitan dahi,

"Tu cewek terkenal dingin, banget malah. Males gue jadinya, lagi pula...,"

"Apa?" Sergah gue menarik keluar kalimat Paul yang terhenti

"Dah lupain" Paul nggak meneruskan,

"Gue tanya serius ni.., Dinginan mana sama Elsa,"

"Mana gue tahulah, gue bukan Olaf." Tutup Paul, membungkam mulutnya ketika melihat Dosen udah masuk.

Setengah jam berlalu tapi angan gue dimasuki pertanyaan seputar Rain, bahkan sampai Paul juga menyerah buat mendekati, berarti ada sesuatu yang aneh sama cewek ini. Meski kelihatan autis, tapi tampang Paul di atas rata-rata, gentleman dan tajir pula. Paul juga orang yang paling mengerti cara memperlakukan cewek. Dia itu idaman anak-anak populer lainnya. Rasa penasaran ini salah, gue menyadari seperti apa gue. Semakin dibuat penasaran, tentu semakin gue nggak mau menyerah sebelum mendapatkannya, jelas dengan segala macam cara.

Jam kuliah pertama udah kelar, waktunya menjalankan rencana yang gue susun dua jam tadi. Intinya gue nggak konsen selama mata kuliah Statistika Bisnis. Gue emang berbakat dalam melakukan banyak hal yang nggak guna dan ini salah satunya.

"Gue cabut dulu," pamit gue yang dibalas tatapan aneh dari Paul.

"Ati-ati deh lo." jawab Paul yang udah hafal sama perilaku sahabatnya ini.

"Ke mana tu cewek pergi?" Pandangan gue menyapu seluruh selasar yang berserakan orang. Akhirnya ketemu, dia pergi menuju lapangan basket sama kedua temannya. Beralih profesi sebagai ninja, gue mengamati setiap tingkah laku Rain dari kejauhan. Perlu dicatat, kalau gue punya target baru artinya gue perlu tahu sedikit mengenai kebiasaannya. Padahal bentar lagi ada jam kuliah tapi gue masih duduk anteng aja di sini. Rain dan temannya mengambil tempat duduk lumayan jauh, berseberangan sama gue.

Selang beberapa waktu kedua temannya meninggalkan Rain sendirian. Itu perempuan duduk di bawah sinar matahari langsung, kebayang gimana cantiknya, celakanya nggak cuma gue yang lagi perhatiin dia.

'Kenapa nggak cuma gue aja yang jadi satu-satunya cowok di kampus,' pikir gue.

Sekarang Rain mulai memperhatikan sekitar, gue yang sadar buru-buru mengalihkan pandangan ke layar ponsel yang hitam.

Gila tu cewek bisa-bisanya tidur pakai tas sebagai bantal.

'Nggak malu apa?', tanya gue dalam hati.

Secara spontan gue pasang kamera buat mengabadikan momen langka. Walaupun perempuan rambut pendek bukan tipe gue, tapi selalu ada pengecualian. Dia cantik banget, melebihi para dewi. Gue masih belum puas mengagumi keindahannya, tiba-tiba ada suara yang manggil nama gue berulang kali.

Entah dari mana, segerombol cewek mendekat bersamaan dengan pawangnya.

"Gue bawa semua fans lo," tegur Paul sembari menyodorkan minum.

"Hi ladies." Sapa gue berbasa-basi, yang bahkan nggak ingat nama mereka. Lupa jika pernah bertemu sebelumnya.

"Lo ngak lupa sama kita kan Dam?" Baru aja masuk kuliah, eh gue udah ketemu aja sama saudaranya Vision yang bisa baca pikiran.

"Mana mungkin," jawab gue mengeles.

Sialnya bukan cuma itu pertanyaan yang dia tanyakan, masih ada banyak lainnya. Dengan menaruh harapan lebih gue melihat Paul yang menahan seringai.

"Percuma guys, dia lagi naksir sama Rain. Mau lo tanya banyak hal pasti nggak bakal nyambung ni cunguk," tukas Paul yang nggak sepenuhnya benar.

Sahabat gue punya masalah hidup apa? Malah menjerumuskan temannya begini. Kalau nggak di tempat umum udah gue tonjok dari tadi.

"Cewek sombong itu?" komentar perempuan itu gue jawab kernyitan dahi

"Lis, coba lo panggil Rain." Paul meminta Lisa yang ternyata nama cewek tadi, dia melihat ke arah Rain dengan santai. Gue mengikuti arah pandang mereka yang baru sadar jika Rain udah bareng sama dua temannya dengan posisi duduk bersilang kaki.

"Rain!" Pekik Lisa dengan suara yang gue yakin mampu membuat gajah lompat.

Dari kejauhan Rain melihat ke arah kami dengan melambaikan tangan, disertai senyum lebarnya yang dipasang tanpa aba-aba.

'This is insane!' Jerit hati gue. Senyumnya terlampau indah, meski terdengar berlebihan tapi gue merasakan waktu berhenti seketika. Gue hanya bisa melihat Rain seorang di depan gue. Senyuman itu, gue pengen banget memilikinya, hanya buat gue. Nggak ada yang boleh menikmatinya selain gue.

"Heh kampret! Sadar lo!" Paul memukul kepala gue lumayan keras.

Demi menjaga image dengan susah payah gue menahan kata-kata umpatan yang udah ada di ujung bibir.

"Ganggu aja lo." Tukas gue sembari melangkah pergi meninggalkan mereka.

***

Belum luntur kesal gue akibat ulah Paul tadi pagi, dia yang merasa nggak bersalah terus menempel kayak lem, membuntuti kemanapun gue pergi. Bahkan sampai ke parkiran mobil. Di situ udah banyak anak-anak lain mengerubuti tumpangan gue, shelby mustang. Memang susah jadi cowok ganteng. Gue enggan meladeni mereka yang cuma mau numpang pulang. Sedangkan Paul malah menawarkan orang-orang asing itu tumpangan.

"Lo pikir gue ojol," kata gue lirih tepat di samping telinga Paul.

"Berbaik hati sedikit kenapa," rengeknya

"Ini cabe-cabean emangnya tinggal serumah, lagian lo nggak pulang kerumah lo?" tanya gue yang berniat mengusir Paul juga,

"Gue kangen sama tante, jadi mau main dulu ke rumah lo." Ujar Paul yang gue sambut lirikan mata tajam.

"Bilang aja lo mau merengek ke nyokap gue, buat kasih hadiah yang lo mau minggu depan." Balas gue membaca dengan benar maksud Paul berkunjung ke rumah.

Disela-sela pembicaraan kosong ini, mata gue terpaku pada mobil yang melaju pelan, mencoba buat parkir nggak jauh dari tempat kami berdiri.

"B*#gsat," cetus Paul dengan raut wajah sinis.

Seorang laki-laki dengan setelan jas single breasted keluar dari mobil Lexus LS. Pandangan kami sempat bertemu beberapa saat sebelum dia merubah arah pandangnya. Terang laki-laki itu jauh lebih dewasa, dia memberikan senyumnya ke arah lain. Merasa penasaran, gue mengikuti arah matanya. Hal yang nggak gue inginkan terjadi dengan cepat. Senyuman itu buat Rain, seperti anak anjing, Rain dengan langkah besarnya memeluk laki-laki tadi dengan erat. Pria yang masih mendekap Rain itu juga memberikan ciuman di kening Rain.

Diam adalah pilihan tepat saat ini, itu membantu buat menelan amarah gue sendiri. Tanpa diperintah gue langsung cabut dari tempat itu bersamaan dengan Paul. Meski pikiran gue tetap tinggal dengan apa yang baru aja gue lihat. Paul yang biasa berkicau melebihi burung beo juga ikut membisu. Tumben aja, biasanya dia yang duluan jadi kompor.

"Kalau lo masih ngarep bisa dekat sama Rain, hadapin dulu abangnya." Cetus Paul yang masih melihat keluar jendela mobil.

"At least dia abangnya lah, kirain siapa. Main nyosor aja." Akhirnya Paul mau ngomong. Hati gue sedikit lega mendengar penjelasan Paul. Tadinya gue agak minder, sumpah itu cowok semisal pacarnya Rain, gue mending mundur. Gantengnya nggak ketulungan, pantas Rain bisa cantik banget kayak gitu. Gen keluarga ternyata yang menjadi penyebabnya.

"Lo bilang gitu karna belum pernah ketemu kakaknya langsung," tepis Paul yang menganggap laki-laki itu punya kuasa penuh terhadap Rain.

"Emang lo pernah?" Pertanyaan gue kali ini dibiarkan berlalu tanpa jawaban,

"Woy!" sentakan gue menggelegar.

"Sebelum lo masuk kampus, tu laki main ngata-ngatain aja yang intinya kalau gue nggak pantas buat Rain." Terang Paul yang membuat gue malas mendengar cerita selanjutnya. Gue terkenal sebagai anak yang pantang mundur. Kalau cuma gertakan jelas bisa gue lewati dengan mudah.

"Lagi pula Dam, Rain kayaknya nggak cocok deh sama lo. Tu anak lurus Dam jalannya, sedangkan elo udah berliku-liku, muter-muter lagi."

"Kampret, semangatin dikit sepupu lo ini. Jadi saudara nggak guna banget," ucap gue yang disambut toyoran keras di kepala.

"Terserah lo kalau masih kekeh, tapi jangan pernah cari gue kalau lo kenapa-napa," balas Paul yang kini sibuk mengunyah snack coklat.

"Emang pernah?" Tanya gue sembari mengingat.

"Nggak usah berlagak lupa Dam, ibarat barang, gue ini mesin penyedot debu. Segala masalah pribadi lo, gue yang harus ngatasi." Sahut Paul dengan memamerkan giginya yang penuh coklat.

Gue hanya tersenyum geli menanggapi kekonyolan Paul. Meski gue bisa memperhatikan Rain dari jauh, bukan berarti gue bisa sabar menunggu waktu yang tepat buat dekat sama Rain. Mungkin ini alasan kenapa bokap gue mengirim gue balik ke Jakarta. Di hari pertama masuk kampus aja cuma bisa mengurus masalah hati, sungguh nggak guna. Tapi gue juga nggak sepenuhnya merasa jika itu hal yang salah buat dilakukan. Ego gue berkata lain, hal nggak bergunapun bisa dipahami oleh otak gue.

Rain

Aku membuang tas entah ke arah mana. Ray kadang memang bisa di luar batas, yang aku ingat hanyalah kata 'nggak' dengan nada tingginya. Mau melawan bagaimanapun dia pasti menang. Andaikan aku tidak melepaskan beasiswa waktu itu, mungkin aku tidak akan terlalu bergantung pada Ray seperti sekarang.

Percuma menyesali keputusan. Aku mencoba mencari cara untuk menenangkan diriku sendiri. Tubuhku yang terasa lelah karna berdebat dengan Ray membujuk untuk mendekati kasur, tanpa aba-aba aku sudah membanting tubuh, mencari posisi yang paling nyaman sebelum merebahkan diri.

"Are you okay?" Suara Selene terasa sangat dekat, dia sudah duduk di tepi kasur tanpa aku sadari.

"No, I'm not," jawabku jujur

"Apalagi kali ini?" Tanya Selene sembari mengusap pipiku dengan lembut.

Aku mengambil nafas panjang, berpindah posisi agar bisa menyandarkan kepalaku di atas paha Selene.

"Ray keterlaluan. Kenapa aku nggak bisa ikut UKM pilihanku sendiri." Selene terdiam, tanda untukku lanjut bercerita,

"Kakak tahu kalau aku suka sekali sama basket. Tapi Ray nggak setuju, dia bilang.., arghh you know the reason," dengusku menahan amarah.

"Kakak coba bicara dengannya dulu, sapa tahu dia akan berubah pikiran." Janji Selene yang bisa dipercaya seluruhnya.

Aku sangat beruntung memiliki Selene sebagai keluarga kami. Dia memang selalu bisa menjadi penengah selisih paham antara aku dan Ray. Meski kadang gagal, setidaknya aku masih bisa menaruh harap padanya.

"Sekarang istirahat Rain," anjur Selene yang kubalas anggukan, sebelum beralih posisi berbaring menjauhi Selene.

Ini tidak mudah, waktu makan malam terasa begitu tidak nyaman. Selene memberiku jawabannya dengan gesture yang sangat bisa aku pahami. Kakakku, Ray adalah orang yang sangat keras kepala. Jika ada batu yang dilemparkan ke kepalanya, aku yakin jika batu itu yang akan hancur berkeping-keping. Jika bisa aku akan membuktikannya.

Setelah makan malam Selene mencoba menghiburku dengan menonton film kartun kesukaan kami. Aneh memang, jika kami dengan umur terbilang tidak muda masih suka menonton kartun.

"Rain," sela Ray dengan membawa sesuatu di tangannya. Hadiah yang tidak aku harapkan. Meski begitu aku menerimanya dengan senyum yang agak dipaksakan.

"Dibuka Rain," tambahnya.

Oh my Gosh, memejamkan mata adalah reaksi pertamaku setelah melihat kamera di dalam kotak hadiah. Ada sesuatu yang menganjal hatiku, dan itu bukan sesuatu yang baik. Badanku terasa panas, saat membuka mata kembali yang ada di pikiranku hanyalah mencari cara menghancurkan kamera itu. Tanpa sadar aku sudah mengangkatnya bersiap untuk membanting. Beruntungnya aku masih bisa mengendalikan diri. Selene menutup mulutnya saat melihatku, ungkapan terkejutnya melihat respon yang aku berikan. Sedangkan si pembuat masalah masih bungkam, dengan bersusah payah aku menahan air yang perlahan keluar dari mataku.

"Kamu keterlaluan kak," ucapku dengan nada bergetar.

Untuk terhindar dari rasa malu saat menangis, aku kembali ke kamar. Sudah sering aku merasakan jika kekangan yang Ray berikan membuatku sesak. Ini bukan kali pertama. Cara seperti apa yang harus aku lakukan agar bisa keluar dari kurungan yang Ray buat. Terlalu tinggi, terlalu kuat, terlebih itu menyakitkan karna semakin lama membuat diriku sendiri kesepian, merasa terasingkan dari dunia yang bisa teman-temanku rasakan.

Butuh waktu yang lama bagiku untuk berhenti menangis, dan aku tidak tahu bagaimana harus menghadapi Ray besok. Dengan berhati-hati aku mengalihkan pandanganku pada kamera yang tergeletak di dekat bantal. Satu jemariku menelusuri cangkang luar kamera. Aku hanya tahu satu cara untuk berdamai dengan Ray, memang hanya ada satu jawaban. Selalu sama.

***

Pagi ini Ray sudah mendapat jawaban. Aku menuruti keinginannya untuk masuk UKM fotografi yang dipilihnya. Setidaknya aku bisa membuat Ray senang, meski harus merasakan kekecewaan.

Lamunanku teralihkan dengan bau parfum yang berasal dari orang yang baru saja lewat. Dia duduk agak jauh tapi tidak keluar dari pandanganku. Dia melihatku sekilas sebelum membuang muka. Wajahnya sudah beberapa hari ini kulihat. Meski belum familiar dengan keberadaannya dibanding dengan yang lain. Aku hampir hafal semua nama temanku, tapi tidak dengannya.

"Lihat ke mana lo Ra?" Tanya Luna penasaran. Aku menggunakan gerakan kepala untuk menjawab.

"Oh.., Adam," sahut Luna yang aku balas tatapan menanti informasi lebih,

"Dia bukan anak baru, cuma skip semester kemarin doang." timpalnya.

"Kok aku baru lihat?" tanyaku lagi,

"Jangankan dia, teman yang dari semester satu aja belum tentu lo tahu. Makanya bergaul dikit," saran Luna

"Aku hafal kok," jawabku tidak mau kalah,

"Masa sih? Kalau gitu panggil nama cowok itu." Luna menunjuk salah satu laki-laki yang duduk di deretan bangku depan. Dengan memberanikan diri aku mencoba meraih punggung teman kami yang Luna maksud.

"Kenapa Rain?" Dia tersenyum ramah memamerkan giginya yang rapi,

"Rico udah sarapan tadi?" tanyaku basa-basi,

Raut wajahnya terlihat bingung sebelum menjawabku

"Udah, kenapa? Mau traktir?" Timpalnya lagi. Aku hanya menjawab dengan anggukan. Memberikan janji kosong.

"See!" Gelagatku dengan mengangkat kedua tangan, menyombongkan diri di depan Luna.

"By the way," ucapnya pelan,

"Nama gue Kent, bukan Rico." Tambahnya lagi sebelum memutar badan kembali ke posisi awal.

"Puft, haha..ha," Luna tertawa terbahak-bahak, disusul Shella yang dari tadi hanya menyimak. Aku kikuk bukan main, sudah merasa kalau aku tidak salah sebut nama akhirnya malah malu sendiri.

"Tuh kan, lo butuh bukti apalagi Rain, kalau lo itu kuper,"

"Iya," balasku kesal. Merasa bersalah aku mengeluarkan roti isi dari dalam tas. Aku menyodorkan roti untuk Kent, anggap saja sebagai kompensasi kebodohan.

"Buat gue? Serius?" tanya Kent dengan muka ceria.

'Ini cuma roti Kent bukan uang segepok,' kataku dalam hati, merasa heran dengan respon Kent yang kegirangan.

Luna benar, aku tidak punya banyak teman, tidak seperti dirinya. Luna itu mampu membuat orang lain nyaman di dekatnya. Anak yang tidak pernah pilih-pilih teman, dia juga tahu pasti caranya menghadapi orang baru. Makanya teman Luna bisa terbilang banyak dari fakultas berbedapun ada. Diingat dari banyaknya orang yang menyapa Luna saat keluar dari daerah fakultas kami. Beruntung memiliki Luna yang mau berteman denganku.

"Heh Ra," tangan Shella membuyarkan lamunanku,

"Cowok tadi lagi ngelihatin kamu Rain." Bisik Shella seraya mengarahkan kepalaku dengan tangannya,

"Duh fans baru," ujar Luna yang sedang terfokus pada cermin kecilnya.

Dengan tatapan datar aku melihat cowok yang dimaksud Shella. Adam, tipe cowok yang paling dibenci Ray. Dari segi screening penampilan yang aku lakukan cukup akurat dengan kenyataan. Pria bertindik dengan para perempuan yang mengerubuti, jelas mimpi buruk bagi Ray.

Bisikan lain menghentikan. 'Memangnya dia mau sama aku,' benakku turut mencampuri.

Disela-sela lamunan, aku melihat ke belakang. Perasaanku selalu sama semenjak hari pertama masuk kuliah. Terlihat semua anak sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Aneh, aku selalu merasa ada seseorang yang sedang menatapku. Mungkin itu cuma perasaanku saja, atau memang ada seseorang yang diam-diam mengawasiku.

avataravatar
Next chapter