46 Woman in army.

Riska melepas dekapannya saat dengkuran lirih Meira terdengar, mereka terbaring di ranjang dalam posisi yang membuat Meira nyaman saat setengah jam lalu ia meminta Riska menemaninya tidur, Meira sempat menyembunyikan wajahnya di dada Riska hingga benar-benar berdamai dengan situasi menyedihkan malam ini, setidaknya hanya sejenak saat kelopak matanya tertutup rapat.

Riska menopang sisi kepalanya menggunakan tangan kiri seraya memperhatikan wajah Meira, ia menyingkirkan beberapa helai surai nan jatuh menyentuh wajah kekasihnya sebelum kecupan lembut di hidung Meira—disemogakan membawa lelapnya lebih nyaman.

Riska belum bisa berbuat banyak, terlebih dalam urusan keluarga Meira yang bisa disebut privasi, tapi ia beruntung bisa mengetahui segalanya lebih awal. Riska beranjak seraya merogoh ponsel dari saku celana, ia menghubungi nomor seseorang yang sempat disimpannya tadi.

"Hallo, Om. Jadi, kita bisa ketemu di mana?"

***

"Maaf, Om. Bisa minta nomornya? Nanti kita ketemu kalau Meira udah baikan, dia perlu pulang," tutur Riska seraya menatap Sehan, ia cepat tanggap terhadap situasi yang dihadapi kekasihnya.

"Iya." Sehan meraih ponsel yang diulurkan Riska dan mengetik dua belas digit nomornya sebelum benda tersebut kembali ke tangan Riska.

"Saya permisi antar Meira pulang dulu, maaf sekali ya, Om." Riska menyingkir dan kembali pada Meira yang sudah menunggunya sejak tadi, Riska memiliki urusan tersendiri setelah ini.

Sebuah coffe shop membuat ketiganya bertemu di balik meja bundar di sudut tempat tersebut, Riska memang masih asing terhadap mereka berdua, tapi menyangkut Meira mendesaknya untuk bisa mengerti situasi malam ini.

Seorang waiters berapron cokelat membawa nampan dan meletakan tiga gelas kopi yang sama, dua di antaranya kopi hitam tanpa gula, dan sisanya latte.

"Jadi, gimana keadaan Meira?" tanya Sehan membuka obrolan mereka, ia datang bersama Rendra yang sama bingungnya menghadapi situasi ini, padahal sejak lama ingin sekali bertemu putri kandung ayah tirinya, tapi setelah bertemu sikap yang diperlihatkan Meira bertolak belakang. Mungkin ya, tak semua orang bisa menerima saudara yang muncul dengan status seorang anak tiri. Terhadap Luna saja Meira masih ogah-ogahan, lantas muncul satu lagi bernama Rendra.

"Mey udah tidur di apartemennya, Om." Suara Riska begitu lirih, sepasang tangannya bersembunyi di bawah meja.

"Kamu pacarnya?" tanya Rendra, dan anggukan Riska membuatnya manggut-manggut. "Namanya siapa?"

"Riska."

"Sebentar dulu, Ren. Papa masih bingung, buat apa Mey tinggal di apartemen? Sama Ashila juga?"

Riska mengusap tengkuknya, ternyata dalam jangka beberapa hari saja ia diseret begitu jauh masuk ke dalam kehidupan pelik Meira, Riska hanya sebatas kekasih, tapi lebih terkesan dia seorang wali yang memiliki segala hak tentang Meira.

"Maaf sebelumnya, Om. Tapi, saya enggak punya hak buat menceritakan apa pun soal itu, biar nanti Mey sendiri yang bilang." Riska mengerti batasannya. "Saya minta bertemu karena mau kasih tahu kalau Meira butuh waktu, dia syok." Ia mengingatnya tentang perubahan sikap Meira yang tiba-tiba, meminta Riska mengantarnya pulang, lantas mendengar obrolan sarkas Meira di lorong bersama Ashila. Setelah itu melihatnya menangis di  bawah meja, yang paling membuatnya luluh lantah adalah saat Meira mengungkap kekecewaaanya untuk Sehan serta Ashila yang sudah memiliki kehidupannya masing-masing, sedangkan Meira—ia masih beriringan dengan masa lalu.

"Apa saya bisa bertemu Meira?" tanya Sehan, ia memperlihatkan wajah sendunya.

"Bisa, Om. Tapi, nanti—kalau Meira udah baik-baik aja, pasti saya kabari kalau Mey udah siap ketemu sama, Om."

Sehan mendesah, ia menunduk sejenak seraya menarik napas panjang untuk memenuhi rongga dada nan sesak sebelum kembali menatap Riska lagi. "Saya tahu perasaannya sekarang, dia pasti terkejut."

"Padahal saya senang bisa bertemu sama anak kandung papa, tapi mungkin lain waktu bisa ketemu lagi dalam keadaan yang lebih baik," tutur Rendra tampak bijak, "mama saya juga ingin bertemu Meira, dari lama. Semoga bisa cepat ya, sebelum semuanya terlambat."

"Ren." Sehan menyentuh bahu Rendra seraya menggeleng. "Ucapan adalah doa, papa mau semuanya baik-baik aja."

Rendra mengangguk. "Iya, Rendra cuma khawatir aja, mama kan—" Ia berdecak, tak layak juga menjelaskannya di depan Riska yang bukan keluarga.

"Baik, Om. Saya mau pulang dulu, nanti kalau ada apa-apa pasti saya hubungi lagi." Riska menyesap kopinya sebagai formalitas, ia beranjak mengajak dua orang di depannya bersalaman. "Permisi."

***

Meskipun semalam Meira bisa sampai menangis darah atau membuat seluruh isi dunia meraung, tetap saja hari selanjutnya ia harus menjalani kehidupan normal dan menganggap rasa sakit kemarin malam adalah sesuatu yang sudah lalu, tak semudah itu. Meira harus tetap melangsungkan kuliah dan pemotretan, terlebih pagi ini Lolita menghubunginya untuk pemotretan siang nanti, sejak ia kecelakaan tunggal beberapa hari lalu—baru sekarang ia mendapatkan job lagi.

Meira tak bisa selalunya ogah-ogahan, ia harus memenuhi kontrak yang dijalaninya dan tinggal menunggu beberapa bulan lagi sampai kontraknya di Agency Louisa Portrait selesai, pagi tadi saat ia terbangun tak ada Riska di sampingnya. Namun, Riska memberi kabar lewat chat jika ia sudah pulang lebih dulu sebab mengurusi hal lain, Meira paham jika mereka memiliki dunia masing-masing. Riska tak bisa selalu bersamanya.

Apa pun yang terjadi Meira masih berusaha membahagikan diri sendiri, terlebih untuk masalah yang menghampirinya dengan senang hati akhir-akhir ini.

Penampilan lama ditunjukan Meira, ia tak lagi mengenakan kemeja serta celana panjang, pagi ini perempuan itu mengenakan dress hitam serta blazer putih yang cukup menutupi tubuh rampingnya. Tepat saat Meira membuka mata, ia menemukan Ashila berdiri di sana, tersenyum menyambutnya meski sikap yang Meira bagi takkan pernah berubah. Sampai kapan mereka harus perang dingin seperti ini, Ashila selalu mengibarkan bendera putih, tapi Meira tak pernah memedulikannya.

"Ada apa," ucap Meira datar.

"Semalam kamu nangis, Mey. Tell me about something."

Meira mengalihkan pandang, ia belum ingin menangis hari ini, rasanya sudah sangat terpuruk, tapi dunia yang ditinggalinya seolah menegaskan jika konflik belum berakhir, dan Meira harus siap untuk segala hal lain di kemudian hari.

"Mama tahu kenapa? Semalam aku ketemu papa."

"Papa?" Ashila masih belum percaya. "Di mana? Sama siapa?"

"Sama anaknya, seperti mama dan Luna, papa juga punya anaknya sendiri. But, not me." Meira mendesah. "Tahu nggak sih, Ma. Sekarang aku tahu harus gimana ke depannya, i'm looking into my own future, without a father or a mother, because you have a child you love, but not me. It breaks my heart to realize this, but i realized in the future that i would walk on my own."

"Mey, kamu jangan bicara seperti itu, ada mama di sini, memang banyak perubahan, Mey. Tapi, kita masih bisa mengatasi ini, mama enggak meminta lebih, tolong jangan benci mama lagi, Mey." Wanita itu mengiba, meraih tangan Meira meski sang putri menepis kasar. "Kamu nggak sendirian, Mey. Ada mama di sini, mama yang paling cinta sama kamu. Mama harus apa biar kamu memaafkan mama, Mey?"

"Mengubah masa lalu, Ma," tandas Meira berbagi jawaban yang bisa disebut mustahil, mereka tak memiliki mesin waktu untuk kembali ke masa lalu, Meira sedang membiarkan pemikirannya seperti anak kecil yang manja, sebab ia memang tak pernah merasakannya. Ia hanya ingin orangtuanya kembali bersama meski hal tersebut sangatlah mustahil, melawan arus.

"Mey—"

"Bisa nggak? Kalau udah bisa Mama langsung kasih tahu aku, dan anak ini akan menerima Mama lagi dengan senang hati." Ia menyingkir memberikan sebuah pemikiran berat yang kini hinggap di kepala Ashila.

Riska memang tak mengatakan jika akan menjemput kekasihnya, tapi ternyata Riska sudah menunggu Meira di lobi, duduk sendirian di sofa yang tersedia. Senyum laki-laki itu merekah saat menemukan Meira baru keluar dari lift, tapi perlahan lengkung bibir di wajahnya sirna saat menanggapi penampilan Meira.

"Hey, udah baikan?" Ia menepikan ego untuk tidak memprotes lebih dulu.

"Udah kok, makasih udah ditemenin semalam." Mereka merangkum tangan dan keluar menghampiri parkiran.

Riska berdeham. "Kenapa pakai dress ketat lagi kayak gini?"

"Gue lagi usaha menjual image gue sebagai seorang model, beberapa bulan lagi kontrak gue habis, dan secepatnya gue harus udah masuk ke agency yang baru, gue butuh duit banyak, Ka."

"Tapikan enggak kayak gini juga, sama aja lo ngebebasin semua orang menelanjangi lo. Paham maksud gue?"

Meira berdecak. "Please, Ka. Gue lagi enggak mau debat, bisa langsung ke kampus kan? Kalau enggak gue naik taksi aja."

Riska mengalah dan pasrah, ia terlalu prihatin atas apa yang dialami Meira, diberikannya helm pada perempuan itu sebelum ia duduk di jok motor. "Nanti habis kelas selesai gue mau ajak lo hang out, bisa kan?"

Meira masih berdiri di sisi motor. "Enggak bisa, siang ini gue ada pemotretan, kemungkinan bakal sampai sore, soalnya Lolita bilang bakal banyak kostum yang gue pakai."

"Kostum apa?"

"Swimsuit, semacam produk buat endorse juga."

Riska memelototkan mata, apa tadi swimsuit? Kenapa semua kostum yang Meira kenakan harus terlihat menelanjangi, kenapa bukan dress saja yang panjang, tak ada bedanya, Meira selalu cantik untuk semua pakaian yang melekat di tubuh.

"Kapan lo mau berhenti dari kerjaan ini." Mimik wajah Riska berubah, ia tak bisa lagi tenang dan santai, ditatapnya Meira dari ujung kaki hingga kepala, lantas turun lagi ke kaki seolah mengamati sesuatu.

"Gue enggak bisa berhenti, Ka. Gue butuh banyak uang, apalagi sekarang nggak punya mobil, nggak selalunya lo bisa antar gue ke mana-mana kan."

"Gue bilang kemarin kalau bakal selalu ada buat lo, apa usahanya masih belum cukup?" Ia turun dari motornya. "Please, Mey. Gue enggak akan nuntut apa-apa. Tinggalin pekerjaan lo, cari yang lain."

"Apa yang lain? Tempat apa yang kasih gue uang satu milyar dalam jangka setahun? Tempat prostitusi online, hah?" Meira sampai sesarkas itu, emosinya memang sedang tersulut oleh api yang disebut Riska. "Ka, lo bisa memahami kondisi gue apa enggak sih? Gue hidup sendiri, mau apa-apa ya pakai uang sendiri, gue perlu kerja keras biar manusia ini bisa bertahan lebih lama sampai besok dan besoknya lagi, karena apa? Nggak ada yang hidupin gue, nggak ada yang kasih gue uang, mama sama papa udah punya anak yang perlu mereka bahagiakan. Lo ngerti maksud gue kan?"

Mendengarnya membuat Riska ingin sekali marah, tapi bukan terhadap Meira—melainkan pada orang-orang yang membuatnya sampai seperti ini, masih ada usaha berdiri di atas kakinya meski berkali-kali ia jatuh dan meninggalkan banyak jejak luka. Riska menarik tangan kekasihnya dan berakhir dalam dekapan, ia tak segan mengecup puncak kepala Meira meski di area terbuka.

"Maaf, maafin gue."

***

avataravatar
Next chapter