34 Silent.

Tak banyak yang berubah selama tiga hari terakhir meski ia baru saja benar-benar melepaskan seseorang, mungkin lebih tepatnya membiarkan ia pergi tanpa ingin menahan atau dipertahankan, tapi kertas berisi sederet bahasa perjanjian dengan cap noktah darahnya tetap tersimpan rapi di dalam laci kamar. Tiga hari setelah pertemuan terakhir mereka di ujung koridor rumah sakit—semua tetap baik-baik saja, Meira menjalani aktivitas normal—entah saat berada di kampus atau pemotretan—yang biasanya ada Riska di samping gadis itu, bedanya hanya ia lebih sering sendirian.

Seharusnya seperti itu, Riska mungkin hanya singgah, hanya menjadi tamu yang akan pamit setelah isi cangkir keramik yang disajikan tuan rumah telah habis, ternyata setiap teguknya menyimpan cerita-cerita penuh makna. Bagi Meira semua hanya lelucon, cinta yang tak mampu terbalaskan mungkin hanya mainan, hanya sebuah ungkapan tanpa makna apa-apa di dalamnya, sebab mencintai seseorang yang mengaku—takkan pernah didapatkannya adalah nyanyian tengah malam, ia tak lagi ingin mendengarkan.

Mungkin Meira juga tak tahu jika laki-laki yang tak lagi terlihat oleh bola matanya tiga hari belakangan tengah berada di Bali bersama teman-temannya untuk melakoni agenda diving, memang anak Mapala memiliki banyak agenda dengan alam.

Sejak pulang dari rumah sakit tempo hari, Meira tak ingin bertemu Luna atau siapa-siapa lagi, ia juga sudah mengganti kode masuk apartemennya, hanya Trias saja yang tahu sekarang. Kehidupan Meira kembali seperti semula—saat tanpa Riska, sebab Riska hanyalah sebuah angan, dan Meira benci harus terus berangan-angan.

Perempuan itu duduk di depan meja rias ruang wardrobe studio foto, ia baru saja menyelesaikan pemotretannya, Meira tampak menunduk seraya memangku majalah fashion. "Ikat tinggi aja rambut gue," tutur Meira pada Metta.

"Tumben, biasanya senang digerai, Mey. Ah ya, gue mau tanya sesuatu."

"Tanya aja."

"Lo udah putus lagi dari Riska?" Pertanyaan Metta membuat Meira mengangkat wajah dan menatap pantulannya di cermin, ia tak senang mendengar pertanyaan tersebut. "Ada yang salah, ya, Mey?" Metta tersenyum canggung, ia mengumpulkan semua rambut Meira menjadi satu dan mengikatnya tanpa mendengar jawaban dari pertanyaannya tadi, sebab ekspresi Meira langsung berubah.

Setelah Metta menyelesaikan pekerjaannya, Meira menutup majalah dan meletakan benda tersebut di permukaan meja rias, ia meraih tasnya—menyingkir dari hadapan Metta tanpa mengatakan apa-apa.

"Sekarang Meira sensitif banget, ya," gumam Metta saat pandangannya tak lagi menemukan Meira di ruangan itu.

Ponsel berada dalam genggaman, sampai hari ini masih saja beberapa orang sibuk mengharapkan kedatangannya untuk kencan buta, tapi Meira bahkan tak menjawab, padahal ia tak lagi memiliki urusan dengan Riska—yang pernah memintanya untuk tak melakoni blind date lagi.

Ia keluar menghampiri mobilnya di parkiran, masuk ke sana dan tancap gas tanpa ingin memikirkan apa-apa lagi. Sore ini langit terlihat begitu cerah, pukul empat seperti pukul dua belas siang saja, keadaan juga ramai seperti biasa, tapi mungkin rasa sepi membelenggu seseorang sampai mimik wajahnya tak pernah berganti sejak mendengar pertanyaan Metta tadi.

Untuk mengikis sedikit kejenuhannya ia menyalakan musik, tapi yang terdengar lagu melankolis, ia matikan saja dan terus mengemudikan mobilnya dalam suasana hati yang berkabut. Tiba di perempatan lampu merah yang menyala mobilnya berhenti, Meira meluruhkan kaca mobil dan menoleh ke kanan, ia tertegun beberapa saat tatkala halusinasinya berlangsung.

Sepasang kekasih menaiki motor, si perempuan menggamit perut lelakinya dari belakang seraya menyandarkan kepala di punggung. Meira menelan saliva melihat semuanya sampai ia mencengkram kemudi. Apa yang tengah ia pikirkan sekarang?

"Nggak usah sinting, Mey. Tobat lo, Mey. Tobat," gumam Meira seraya menaikan lagi kaca jendelanya ketimbang ia terus berhalusinasi seolah melihat sepasang kekasih di dekat mobilnya adalah sebuah kenang yang benar-benar mengusik.

Saat lampu hijau menyala, ia yang paling pertama melajukan mobilnya seraya menyingkirkan resah yang tiba-tiba singgah.

***

Cerita berbeda datang dari kawasan Pantai Nusa Dua di Bali, lebih tepatnya di area Pantai Tanjung Benoa yang memiliki spot scuba diving cukup aesthetic untuk dikunjungi wisatawan luar negeri atau dari Indonesia sendiri. Riska serta keempat temannya baru saja menepi setelah menyelam sesuka hati menelusuri birunya laut Nusa Dua yang dikenal sebagai salah satu pantai paling bersih di Bali. Siapa yang tidak jatuh cinta melihat birunya lautan di sana, belum lagi beberapa tempat wisata yang disuguhkan, resort serta hotel juga tersedia sesuai keinginan.

Saat sore tiba, Riska serta teman-temannya yang sudah melakukan scuba diving saat pagi hari—kini tengah bersantai menikmati sore yang menyenangkan di pesisir pantai, takkan habis cerita jika harus berkisah tentang indahnya alam, jauh dari Jakarta dan menikmati suasana yang lain—salah satunya pantai di Bali memang cukup efektif mengenyahkan rasa penat. Salah satu keuntungan menjadi anak Mapala adalah mereka memiliki banyak agenda kegiatan alam yang cukup menyenangkan, segala sesuatu yang terhubung dengan alam takkan pernah membosankan.

Riska hanya sendiri saat memutuskan berdiri di bibir pantai, teman-temannya sibuk merayu beberapa wisatawan asing berbikini yang kebetulan tengah berjemur—mumpung sorot matahari masih terasa panas.

Kaus pantai warna biru muda serta celana pendek membalut tubuh laki-laki yang membiarkan sepasang kakinya telanjang, sebuah kacamata lensa cokelat bertengger di hidungnya.

Ia membiarkan ombak saling mengejar dan merayunya untuk melangkah ke tengah, harusnya Riska tergoda oleh birunya air laut, tapi ia bersikeras untuk tetap diam saja sampai sebuah panggilan masuk di ponselnya membuat laki-laki itu mengalihkan fokus dari pemandangan eksotis di depannya.

"Ka, kamu kapan pulang?" Suara Luna terdengar.

"Besok pagi, kenapa?"

"Nggak apa-apa, aku butuh teman ngobrol aja, soalnya sikap Meira sejak hari itu malah makin dingin. Kayaknya aku salah banget ya sama Meira, Ka."

Riska mendesah, sudah berapa hari ia tak mendengar nama tersebut? Kali ini justru Luna yang mengatakannya. Entahlah, Riska merasa tak memiliki daya untuk menghadapi Meira lagi, anggap saja mereka tengah berjalan ke arah yang berbeda, tapi jika jalan yang dimaksud membentuk sebuah lingkaran, pasti di kemudian hari akan bersinggungan lagi.

"Iya besok aku pulang, tunggu aja, ya. Baik-baik aja kan di sana?"

"Baik kok, boleh minta oleh-oleh?"

"Boleh."

"Gelang tridatu ya, Ka. Couple tapi, nanti buat kamu sama aku."

"Oke, nanti aku cari."

"Ya udah, selamat menikmati liburannya." Panggilan pun berakhir, Riska membuka kamera ponselnya dan mengarahkan benda pipih tersebut untuk menangkap panorama di depannya, biru nan membentang luas dengan hamparan kapas-kapas putih nan berarak sesuka hati.

***

Apa yang Luna inginkan selalu Riska turuti—termasuk gelang yang diharapkannya, sore setelah Luna meminta pun Riska langsung mencarinya. Riska sudah tiba di Jakarta pagi tadi, ia hanya mampir ke rumah sebentar sekadar meletakan ranselnya dan berbenah sebelum datang ke apartemen tempat Luna berada. Perempuan itu seperti prioritas utama bagi Riska.

Riska menyusuri lorong lantai 25 setelah keluar dari lift, ia membawa sebuah tote bag di tangan kiri, Riska pikir ia melangkah sendirian di lorong, tapi suara derap langkah di belakangnya menegaskan jika tak hanya Riska yang berada di sana. Kini ia sampai di depan pintu unit Luna, tangannya sudah terangkat hendak menyentuh permukaan pintu—mengetuknya, tapi ketika sepasang indra pendengarannya merasa familier dengan suara seseorang—ia menoleh, rupanya Riska benar. Meira masih melangkah sekitar satu meter di belakangnya seraya bertelepon dengan seseorang.

Riska tertegun menatap perempuan itu, sudah berapa lama ia tak melihatnya? Lucu, tatkala mereka saling bersinggungan Meira sama sekali tak menoleh pada laki-laki yang sejak tadi enggan berkedip barang sedetik saja, Riska seperti tak terlihat. Meira terus saja melangkah seraya berbicara hingga tiba di depan pintu unitnya, ia merangkai kode, masuk ke dalam dan lenyap dari pandangan Riska.

Dia marah banget sama gue?

Pintu unit Luna terbuka, gadis itu tersenyum menyambut kedatangan Riska, anehnya Riska seolah tak mendengar suara Luna saat ia terus saja menatap ke arah berlalunya Meira.

"Riska? Kamu lagi lihatin siapa?" Ia menepuk bahu Riska, membuatnya tersadar dari lamunan.

"Enggak. Bisa aku masuk sekarang?"

"Ayo." Luna menariknya dengan senang hati memasuki apartemen, pintu tertutup rapat dan membiarkan cerita mereka berlanjut di dalam sana.

***

Sore sekitar pukul lima Riska mengakhiri pertemuannya dengan Luna, lucunya saat ia membuka pintu—tepat saat Meira juga keluar dari unitnya, gadis itu berpenampilan casual. Pandangan mereka bertemu meski hanya sepersekian detik saat Meira sengaja memutus kontak mata, ia mengangkat dagu saat melangkah menyusuri lorong dan tetap bersikap tak acuh saat melewati Riska yang lagi-lagi membeku.

Riska tak mengenal Meira sebelumnya, mereka hanya dipertemukan oleh ketidaksengajaan saat Meira hampir saja menabrak motor Riska di dekat gerbang kampus beberapa beberapa waktu lalu. Tiba-tiba cerita mengalir begitu saja sesuai skenario yang dipersiapkan, Riska mampu mengulik beberapa kisah kehidupan Meira, tapi tidak sebaliknya. Mey tak tahu apa-apa tentang dunia Riska yang seakan begitu tertutup.

Riska juga tak tahu sedingin apa sikap gadis itu sekarang, jika sebelumnya mereka memang tak saling mengenal, apa kisahnya akan sama? Meira yang asing di depan Riska.

Lehernya terasa kaku untuk digerakan saat ia tak bisa untuk tidak terus menatap punggung gadis itu hingga tiba di depan lift, tapi Meira menoleh ke arahnya meski hanya sejenak, harusnya Riska tahu dan bisa membaca apa yang tersimpan di balik tatapan sayu Meira, sebuah rasa kecewa yang begitu besar.

Salah jika Meira sekarang diam? Ia sudah memutuskannya tepat di hari mereka debat di ujung koridor rumah sakit, Meira sudah mengatakan segala yang harus Riska dengarkan. Ia sudah menyerah, ia angkat tangan dan ia mundur sejauh-jauhnya.

Apa begini? Apa benar begini?

***

avataravatar
Next chapter