webnovel

7. Malang

Cecil hanya diam sepanjang acara makan malam. Estian khusus menyisihkan waktu hanya untuk menebus kesalahannya meski tidak ada kata maaf yang terucap.

Estian memesan menu spesial karena dia menyadari, ternyata dia tidak mengenal apa2 tentang Cecil. Bahkan makanan apa yang tidak bisa cecil makan, atau makanan apa yang tidak cecil sukai, hal sekecil itu sama sekali tidak dia ketahui.

"Apa kau suka?" tanya Estian setelah makanan tersaji.

"Iya!" jawab Cecil masam.

Steak yang sangat menggiurkan selera. Sayang, rasa lapar itu tiba-tiba hilang.

"Kenapa? Apa kau tidak suka?"

"Bukan. Aku hanya... Emmm aku tidak lapar."

Estian menukar piringnya dengan piring Cecil. Tentu saja steak yang ditukar sudah dipotong rapi oleh Estian.

"Kenapa ditukar?" tanya Cecil.

"Tidak lucu juga kalau kau diam karena tidak bisa memotong steak."

"Padahal saya baru saja mau mengucapkan terimakasih, Tapi sepertinya Anda tidak layak menerimanya."

"Aku bisa hidup walau tanpa ucapan terimakasih darimu!"

Benar-benar pasangan dengan ego yang sangat tinggi. Makan malam di privat room yang seharusnya menjadi romantis, ditambah dengan suasana dan dekorasi yang indah, hancur begitu saja karena sebuah realita.

"Aaaaaaa..." Estian menyodorkan potongan steak yang ditusuk dengan garpu.

"Apa yang kau..."

Hap...

Satu suap sudah masuk ke dalam mulut Cecil. Tentu saja bukan cara yang lembut. Estian bukan pria yang memiliki sikap seperti itu.

"Enak? Mau aku menyuapiku lagi?"

"Ak--aku bisa makan sendiri."

Dengan cara seperti itulah, Estian memancing Cecil supaya menghabiskan makanannya.

Suasana kembali hening. Hanya ada suara garpu yang bersentuhan dengan piring.

Beberapa saat berlalu, makanan sudah habis tanpa sisa. Terakhir, Cecil meminum jus. Jus itu menetes di dagunya. Gelas sudah menyingkir dari bibir Cecil.

Estian mendekat, tangannya meraih kepala Cecil. Manis, lembut, rasanya seperti menjadi candu. Tentu saja rasa bibir Cecil yang saat ini berada di dalam bibir Estian.

Pranggg...

Estian tidak bergeming meskipun gelas yang ada di tangan Cecil terjatuh.

Estian memainkan bibir bawah Cecil dengan bibirnya, terasa penuh dalam mulut. Cecil tidak membalas. Dia terlalu terkejut dengan situasi yang tiba-tiba.

"Buka bibirnya," bisik Estian.

Entahlah. Semuanya terasa lupa. Trauma, rasa sakit, amarah, hilang entah kemana.

Cecil seperti terhipnotis oleh bisikan Estian. Dia membuka sedikit bibirnya dan lidah Estian menerobos masuk, mencari-cari lidah Cecil yang bersembunyi.

Cecil meremas pundak Estian. Estian menarik pinggang Cecil supaya Cecil duduk di pangkuannya.

Ciuman itu, bibir itu, lidah yang saat ini tengah menari-nari, seperti membuat Cecil mabuk kepayang.

'Sialan! Apa yang saat ini sedang aku lakukan? Tapi aku tidak bisa mendorongnya. Bibirnya seakan membuatku ingin menagih lebih,' batin Estian.

Tap... Tap... Tap...

Cecil langsung menjauh setelah mendengar suara langkah kaki. Dia buru-buru mengusap bibirnya yang dipenuhi air liur.

"Kenapa lari?" tanya Estian.

'Bagaimana bisa aku dan pria ini berciuman? Tapi, rasanya tidak buruk,' batin Cecil.

"Hei, apa kau tidak mendengarkanku?"

"Ad--ada orang lewat," ujar Cecil gugup.

Wajahnya merah merona tapi eskpresi itu berbeda dengan Estian. Estian seperti sudah terbiasa dengan sentuhan wanita.

"Kita sudah selesai makan. Bagaimana kalau kita segera pulang?"

"Kau ingin melakukan lebih? Di mana? Dalam kamarku atau kita pergi ke hotal?"

"Tuan Estian, mohon untuk bersihkan isi otak Anda!"

"Bisakah kau bicara sedikit lebih lembut?"

"Saya bukan sutra!"

"Pandai sekali. Ayo kita pulang!" ajak Estian untuk mengakhiri pertikaian.

Bill sudah dibayar. Cecil mendorong kursi roda Estian. Tangan Estian mengusap lembut tangan Cecil. Mungkinkah pertanda baik?

BRUKKK...

"Awh..." pekik Cecil setelah ada seseorang yg menabraknya dari belakang.

"Sorry... Eh, Kakak!"

"Agatha!"

Dadanya berdenyut nyeri melihat agatha yang merangkul lengan Abigail.

Abigail menunduk, dia tidak berani melihat Cecil.

"Wahhh... Pasangan yang sempurna. Satu bodoh, satu lumpuh," hina Agatha.

"Kalian juga tak kalah sempurna. Satu idiot, satu gila!" balas Cecil.

"Kau..."

"Sayang, ayo kita pulang. Tidak perlu mendengarkan anjing yang menggonggong," ujar Estian.

Cecil mulai melangkah tanpa menghiraukan Agatha yang sengaja mencari masalah.

"Dia pacarmu?" tanya Estian.

'Bagaimana dia tahu?' batin Cecil.

"Hanya masalalu."

"Tapi sepertinya kau masih menyukainya."

"Aku sudah jawab, dia hanya masalalu."

'Cih... Membuatku kesal setengah mati. Dengan cara dia memandang pria tadi, siapapun akan sadar,' batin Estian.

"Selamat malam, Tuan dan Nyonya!" sapa Lewis.

"Malam!" balas Lewis.

Wajah Estian ditekuk, sangat masam. Ketampanannya seperti berkurang. Lewis menggelengkan kepalanya setelah Cecil mengangkat sebelah bahunya sebagai pertanyaan.

"Lewis, kita langsung pulang. Biarkan wanita ini pulang seorang diri. Aku tidak Sudi satu mobil dengan wanita yang mencintai pria lain."

"Tapi, sebentar lagi akan turun hujan, Tuan," ujar Lewis.

"Itu urusannya. Tidak ada hubungannya denganku."

BRUMMM... BRUMMM... BRUMMM...

Pandangan Cecil kosong. Harapannya kembali dipangkas habis oleh Estian.

Rintik hujan mulai turun. Cecil hanya bisa berlari. Dia tidak mungkin berteduh. Kembali dengan naik kendaraan umum, tidak akan terjadi karena Cecil tidak membawa tas bersamanya.

Kejam, labil, kekanak-kanakan. Mungkinkah dia cemburu? Atau dia hanya sekedar tidak suka kalau miliknya bersimpati pada orang lain?

"Harusnya aku tidak setuju untuk keluar bersamanya. Bagaimana ini? Hujannya semakin deras," gumam Cecil.

Jarak tempuh bisa memakan waktu 2 jam dengan berjalan kaki. Ditambah hujan yang semakin deras menerpa tubuh Cecil yang tak berisi.

"Bagaimana bisa, dia meninggalkanku seperti ini?"

***

"Tuan, apa kita yakin meninggalkan Nyonya?"

"Kenapa? Kau meragukan keputusanku?"

"Bukan, Tuan. Tapi..."

"Apa kau ingin ganti Tuan? Kau ingin wanita itu yang menjadi Tuanmu?" ketus Estian.

'Baru 1 menit akur, sudah bertengkar kembali,' batin Lewis.

Mobil meluncur dengan cepat. Estian hanya termenung. Tidak ada yang mengetahui apa yang sedang dia pikirkan saat ini.

Apa dia berfikir untuk meminta Lewis putar arah, atau tidak berfikir sama sekali?

'Itulah hukuman karena sudah menatap pria lain,' batin Estian.

Estian sudah berada di mansion. Hujan diluar sangat deras. Estian duduk di dekat jendela.

Dia menatap jam yang melingkar di pergelangan tangannya.

"Sudah 1 jam lebih, bahkan hampir 2 jam. Kenapa dia belum sampai? Apa terjadi sesuatu dengannya?" gumam Estian.

Tok... Tok... Tok...

"Masuk!"

"Maaf, Tuan. Ini tas milik Nyonya yang tertinggal di dalam mobil," ujar Lewis.

"Tas?" Estian mengernyitkan keningnya, heran dan tidak percaya.

"Benar, Tuan!"

"Ayo kita cari dia!"

Bruakkk...

Estian melemparkan tas Cecil ke sembarang arah lalu Lewis mendorong kursi roda Estian.

Estian khawatir tapi sepertinya, perasaan yang sudah ada tertutup oleh keegoisannya yang tinggi.

Apa harus kehilangan terlebih dahulu, supaya kehadirannya jauh lebih dihargai?

"Wanita itu. Apa tidak bisa kalau tidak merepotkan ku? Benar-benar membuatku kesal setengah mati!"