4 Pengungsi

––Kau tidak perlu khawatir, nak. urusan ini biarlah aku dan kepala prajuritku yang urus. Jika kau ingin keliling kota ini dengan Halim, aku akan membebastugaskannya dan menyuruh pelayanku yang lain untuk menggantikannya.

Begitulah titah Baginda padanya. Tetapi anak itu tidak bisa melepaskannya begitu saja. Sejuta rasa khawatir di dalam hatinya menjadi melonjak naik ketika Baginda berkata "…tidak perlu khawatir, nak".

Di antara kesedihan dan rasa takut berpadu menjadi satu dalam hatinya. Hampir-hampir Gustaph tidak bisa membedakan antara keduanya.

Tidak hanya dia yang punya masalah tentang itu, kakek tua di sampingnya juga tidak sanggup membedakan kondisinya sekarang ini. Antara sedih atau biasa saja. Gustaph masih belum mau memainkan mimik mukanya. Membuat Halim tidak tahu harus bagaimana ia bersikap kepada anak itu.

Apakah ia harus memeluk Gustaph seperti di El Dunya dulu?

Tidak, ia tidak membutuhkan pelukan itu.

Berbeda dengan kasusnya di El Dunya, di sini ia bukan merasa sedih karena ditinggal. Seperti saat di El Dunya, dimana mulut anak itu tidak sengaja memanggil Tuan Jenderal dengan sebutan ayah. Ia masih ingat sekali saat Tuannya di El Dunya itu memeluk Gustaph, menyusul ia dan Lusiana memeluk anak itu agar ia tenang.

––Setegarnya lelaki juga harus mengeluarkan air mata, kan? Apalagi air mata lelaki itu lebih murni dan tulus. Setidaknya begitulah yang dikatakan Salim.

Tapi mengapa sekarang ia tidak menunjukannya sama sekali?

"Apa maksud anda? Saya juga warga di kota ini!"

Suara keributan tidak sengaja melewati gendang telinga kanan mereka berdua. Di sana ada sebuah pasar swalayan yang senantiasa dibanjiri oleh para penduduk kota untuk membeli bahan pangan. Memang pasar itu senantiasa ramai dan menjadi pusat jual beli di sekitar sektor 0 dan beberapa penduduk di perbatasan sektor.

Tetapi, ramainya pasar itu sekarang bukan karena adanya potongan harga ataupun penawaran khusus lainnya dari beberapa kedai yang berdiri di sana. Melainkan…

"Apa maksudmu warga di sini, hah? Kau di sini hanya seorang pengusngi, udik!"

…ada dua orang berseteru di sana. Sudah ketahuan dari cara mereka berpakaian, bisa terlihat seberapa tinggi derajatnya untuk dapat menghina yang lain.

Wajah polos itu sebenarnya tidak menunjukkan apapun, tetapi amarah dalam hati anak itu membara oleh percikan dua batu yang saling bergesek.

Itu ingatkan Gustaph, bagaimana nasibnya di masa lalu. Tidaklah berbeda jauh bagaimana ia menjadi bulan-bulanan anak-anak sekolah dengan berbagai macam hinaan, cacian, dan kata-kata mencela yang mengiris-iris jantungnya. Perih… sekalipun wajahnya sudah terbiasa untuk menyembunyikan semua itu.

Lebih parahnya, orang itu telah mendapatkan penyiksaan secara lahir dan batin setelah kalah dalam perang. Sempat menjadi tawanan dan diperbudak, hingga cahaya di antara celah tembok penjaranya menuntunnya menuju pelarian hingga ke kota ini.

Gustaph jelas tidak bisa menerimanya, langsung menembus lautan manusia di sana.

Halimpun tidak bisa menahan tindakan anak itu. Ia hanya berharap tindakan Gustaph tidak membawanya kepada masalah yang membuat raja pusing tujuh keliling. Terlebih, kondisi para warga yang masih belum menerima kehadirannya.

"Kau tidak tahu siapa aku, hah!? Aku adalah bangsawan di kota ini!"

"Apa maksudmu bangsawan? Kau tidak lebih dari seekor babi yang hanya ingin menggemukkan badanmu sendiri!"

"LANCANG SEKALI KAU MANTAN BUDAK HINA!!"

Bangsawan itu menarik tangannya dalam-dalam, ingin memukul orang itu tepat di wajahnya. Hingga akhirnya tangannya mulai lepas landas laksana peluru, orang itu terbang ke angkasa dan jatuh terbanting– keras di atas tanah batu beraspal.

Seorang pengungsi itu terkejut. Sekalipun ia tahu tangannya tidak akan sanggup menahan pukulan bangsawan itu, tetapi mengapa ia tidak merasakan sakit?

Tidak, orang itu tidak terkena pukulannya.

Ia membuka matanya kembali dan melihat sosok paruh baya dengan jubah menutupi separuh wajahnya telah menginjak wajah bangsawan itu dengan berani.

"Tolong katakan sekali lagi, kau sebut tamu terhormat itu siapa?"

Mata semua orang terbelalak, terkecuali Halim. Ia sudah tahu Gustaph akan melakukan hal sejauh itu. Inilah buah dari perlakuan yang sering ia dapatkan ketika hidup menderita sebagai seorang pelajar remaja di El Dunya.

"Kau–– gulp~!"

Anak itu memasukan tumit sepatunya ke dalam mulut bangsawan itu. "Ada apa babi kecil? Bukan, apakah kau lapar anjing kecil? Mengapa kau tidak menjilati sepatuku sebelum kau belajar berbicara pada tamu kehormatan negeri ini."

Dengan keras Gustaph memasukan tumit sepatunya itu ke dalam mulutnya dan mengulanginya dengan penuh kekesalan di dalam dadanya. Selain tidak menerima perlakuannya terhadap pengungsi dari Velas, Gustaph secara tidak sengaja mengingat bagaimana orang-orang di sekolahnya menginjak-injaknya selalu dengan nafsu.

Sampai sekarang Gustaph tidak mengerti apa kegembiraan di balik perbuatan ini? Ini tidak membuatnya puas sama sekali. Ia hanya merasakan amarah di dalam hatinya pudar hanya untuk sejenak.

––Kenapa? Mengapa aku tak bisa merasakan kesenangan seperti mereka padaku?

"Hei kau yang di sana!"

Sekumpulan prajurit membuka lautan manusia dan mulai menodongkan tombak-tombak mereka ke arah Gustaph.

Wajahnya tidak menunjukkan rasa takut sama sekali, selain karena ia sudah menduga kejadian ini akan terjadi, itu juga karena Gustaph tak bisa memainkan mimik mukanya.

"Enyahkan kakimu dari Tuan Veregas! Jika tidak, kami yang akan memotongnya!"

"Ancaman basi. Kalian yakin ingin mengancamku?"

Anak itu membuka jubahnya. Bola mata merah saga menyala terang menatap semua kerumunan yang ada di tempat ini.

Serentak semua orang terkejut dan banyak yang melarikan diri dari pasar meninggalkan barang belanjaan mereka seraya berteriak: "Slavian!" atau "Budak Iblis!"

Tidak sedikit juga warga dan pedagang yang hanya bersembunyi atau dengan berani menyembunyikan ketakutan mereka dan masih berdiri di sekitar anak itu. Begitupun juga prajurit, ada yang telah lari terbirit-birit, dan tidak sedikit pula masih dapat berdiri tegak di hadapan Gustaph. Sekalipun, mereka mulai ragu-ragu untuk menodongkan tombak mereka kepada anak itu.

"Kenapa? Ada apa dengan kalian? katanya mau memotong kakiku, bukan? Lakukanlah! Ayo warga yang masih berdiri di sinipun juga punya kesempatan untuk itu!!"

Teriak anak itu kepada semua yang ada di sekitarnya– mengumpat. Ini lebih terdengar seperti sebuah ancaman bagi mereka.

Perhatian Gustaph teralihkan, ia lupa dengan orang yang kini masih menjilati tumit sepatunya. Kasihan sekali, ia mengerang-erang seperti gonggongan anjing kecil yang malang.

"Ah, ada apa anjing kecilku? Kau ingin mengatakan sesuatu?"

Jawaban dari bangsawan itu hanyalah sebuah erangan kecil seraya menahan rasa sakit dari tumit sepatu anak itu yang masuk ke dalam mulutnya.

"Aku akan mengizinkanmu berbicara. Tetapi, kau harus bersujud di hadapannya dan meminta maaf. Jika tidak, akan ku janjikan kerongkonganmu itu akan hancur menelan pukulanku seperti tadi, paham!?"

Gustaph mengangkat kakinya, dari mulut bangsawan itu. Iapun membalikan tubuhnya dengan terbatuk-batuk cukup keras. Hingga di batuk terakhirnya, bangsawan itu akhirnya memuntahkan seluruh isi lambungnya.

Orang-orang sekitar melihat kejadian itu, langsung merasakan jijik.

"Ternyata memang benar perkataannya, kau adalah seekor babi yang hanya ingin menggemukan perutnya sendiri. Mengapa kau tidak memakan kembali muntahanmu itu?"

Gustaph dengan berani mengelap sepatunya di atas baju bangsawan itu. Tumit sepatu yang basah oleh air liur bangsawan itu akhirnya kering setelah Gustaph mengesetnya beberapa kali.

Ia menjambak rambut bangsawan itu dan menatap tajam matanya dengan mata merah saganya. "Sekarang bersujudlah di hadapannya, babi yang hina!"

Mendorong keras kepala bangsawan itu, hingga akhirnya membentur tanah.

"M-m-m-ma-ma-ma…ma-maaf-maaf-maafkan…maafkan aku. A-a-a-at-at-at-ata-ata-atas p-p-pe-per-b-b-bu-a-t-t-tanku." Ucap bangsawan itu dengan tertatih-tatih.

Orang itu tidak bisa membalas apa-apa. Ia merasa ini sangat berlebihan. Orang itu sudah melakukan suatu hal yang berlebihan.

"Bagus, sekarang berdirilah dan lenyapkan wajah menjijikanmu itu dari hadapanku!"

Bangsawan itu coba untuk bangun, tetapi tubuhnya sudah tidak memiliki cukup tenaga untuk itu.

Semua energinya terkuras karena harus mengunyah kerasnya tumit sepatu anak itu.

"Kalian, bantu ia berdiri dan carikan orang yang dapat memulihkannya segera."

"B-b… baik!"

Para prajurit membantu bangsawan itu berdiri dan menenteng tubuh beratnya pergi meninggalkan ia dan seorang pengungsi itu.

Gustaph memakai kembali jubahnya dan menutup kembali separuh wajahnya itu untuk menutupi hawa kekuatannya. Meskipun untuk sekarang, ini tidak akan berhasil sama sekali.

Ia kembali menatap orang itu, kemudian memalingkan pandangannya menuju sebuah kedai di sampingnya. Sebuah kedai buah-buahan segar yang dipetik langsung setelah matang sempurna. Di sana tertera harga-harganya cukup mahal dibandingkan dengan kedai yang lainnya. Namun kualitas yang diberikan kedai ini tidaklah main-main.

"Aku tahu kau bersembunyi di bawah sana, penjual. Tunjukkanlah wujudmu!"

Pemilik kedai itu mencoba berdiri dengan keadaan tangan yang bergetar. Iapun membalas: "Saya di sini, Tuan Slavian. Saya mohon, jangan hancurkan kedai saya."

Gustaph melempar sebuah kantong berisikan koin-koin perak. Itu adalah pemberian Raja setelah melayani beliau beberapa hari ini. Ia jarang menggunakannya, mungkin akan lebih baik untuk digunakan oleh orang lain.

"Kalau begitu, berikanlah ia apapun yang ia inginkan sesuai jumlah uang yang aku berikan padamu itu. Akupun akan sangat senang jika kau bisa memberikan lebih untuk tamu kehormatan kota ini."

Gustaph pun berbalik…

"Tidak… Tuan!"

Gustaph tidak membalas apapun. Iya, ia mendengarkan panggilan tamu terhormat itu, ia membalasnya hanya dengan lambaian tangan dan berlalu begitu saja seolah tidak pernah terjadi apapun padanya.

––Jadi… diakah Slavian yang sering dibicarakan banyak orang? Memang benar, dia menyeramkan, tetapi ia juga sangat baik.

"Wahai Tuan, silahkan ambil apapun yang anda suka!" ucap pedagang itu padanya.

***

"Kakek Halim, terima kasih karena mengajak saya berkeliling. Setidaknya saya bisa menyelamatkan apa yang bisa ku selamatkan."

"Kau tidak perlu berterima kasih, nak. tetapi, ada yang harus kau tahu. Kau baru saja menghajar dan menghina seorang bangsawan. Aku takut karena perbuatanmu itu, pemerintahan akan menjadi kacau. Baik nyawa Baginda ataupun dirimu bisa terancam."

"Bukankah saya sudah pernah berkata pada mereka, bahwa saya bebas melakukan apapun yang ingin saya lakukan. Jika mereka mengancam Baginda, saya akan menjadi perisai dan pedang beliau. Adapun jika saya harus mati karena perintah Baginda atau harus pergi meninggalkan kota ini, maka itu jauh lebih baik."

Jawaban anak itu, sepertinya bagian dari perasaannya yang kini tersimpan. Halim bisa merasakan sedikit perasaan tidak enak, tidak ingin merepotkan, juga ada rasa khawatir dan takut berlebihan di dalam kata-katanya itu.

Pelayan itu bisa memahaminya. Karena anak itu dipaksa tinggal di kota ini oleh Baginda. Tentu saja ia akan merasa tidak enak sama sekali. Kebencian orang-orang terhadapnya, juga menjadikan anak itu mungkin berusaha menyembunyikan rasa tidak betahnya. Meskipun, di wajahnya itu coba menyampaikan gambar bahwa ia tidaklah peduli sama sekali seolah-olah terbiasa dengannya.

Apakah itu karena ia tidak pernah membicarakan isi hatinya kepada siapapun? Bahkan sampai sekarang Halim tidak pernah mendengar apapun tentang perasaannya.

Ataukah ia merasa malu karena sempat menangis di dalam pelukan Tuan Jenderal ketika di El Dunya?

Salim pernah memberitahunya, bahwa manusia di El Dunya mempunyai hati yang berbeda dengan di El Berrix. Orang-orang yang terlampau baik di sana, sangat menggunakan perasaan mereka untuk peka terhadap orang lain. Bahkan, ia akan mengorbankan hidupnya sendiri agar orang lain yang ia cintai tetap bertahan hidup. Karena itulah, kadang ia dianggap terlalu sibuk memikirkan orang lain hingga lupa memikirkan dirinya sendiri.

Meskipun Halim dan Salim pada saat itu belum pernah melihat manusia dari El Dunya, mereka sudah mengetahui sosok manusia itu dalam satu wujud manusia yang luar biasa. Itu adalah raja mereka sendiri. Beliau memiliki semua perasaan yang disebutkan oleh Salim.

Hingga Halim bertemu dengan Gustaph, Tuan Jenderal, dan Lusiana, ia baru mengetahui maksud daripada perkataan Salim tersebut. Maknanya melebihi luas langit dan samudera.

Satu-satunya orang yang tersisa itu adalah Gustaph. Ia masih bisa melihat perasaan-perasaan itu dalam setiap langkah dan perbuatannya. Perkataanya pula, lebih berharga. Selain karena ia tidak terlalu banyak bicara, Gustaph hanya mengatakan hal-hal yang dirasa perlu saja. Informasi atau hal paling kecil adalah berterima kasih atas semua yang telah ia dapatkan.

––Tapi kau tidak pernah membalas terima kasih orang lain, nak. apakah kau tidak mengharapkannya sama sekali?

Gustaph menggunakan rasa takut orang-orang untuk berbuat sesuatu yang lebih. Dimana itu hanya akan menambah kebencian mereka terhadapnya. Apakah anak itu tidak lagi memedulikannya?

"Tuan! Tuan!" panggil seseorang dari belakang merkea berdua.

Mereka menghentikan langkah dan menoleh ke belakang. Itu adalah seorang pengungsi dari Velas

yang baru saja Gustaph tolong. Ia mengejar mereka sedari tadi.

Apa yang ingin orang itu lakukan?

Ia menghentikan langkahnya itu dan mencoba mengambil kembali ketenangan di dalam dirinya. Jika orang itu berbicara dengan napas terengah-engah, rasanya tidak akan enak didengar oleh mereka.

"T-t-tung-tunggu dulu."

"Ah, kau pasti pengungsi dari Velas, bukan? Ada apa, nak?"

Iapun kembali berdiri dan mulai berbicara, seraya memberikan sekantung uang yang diberikan oleh Gustaph padanya.

"Maafkan aku karena mengganggu kalian, tetapi… aku bermaksud untuk mengembalikan uang ini."

"Kau bisa mengambil sisanya, saudaraku. Aku tidak membutuhkannya sama sekali."

"Nak, aku yakin kau akan berpikir Baginda akan membayarmu lagi hari ini. Tetapi, ingatlah kita hari ini tidak mendapat jatah kerja."

––Berarti hari ini aku tidak dibayar, dong?

Baik ekspresi wajahnya maupun bahasa tubuhnya tidak mencerminkan sama sekali kalau ia sedang terkejut. Apakah anak itu benar-benar tidak peduli?

"Benar Tuan, lebih baik Tuan mengambil kembali uang ini. Semua yang aku beli ini sudah lebih dari cukup."

"Kalau begitu gunakan untuk keperluanmu esok hari atau kau bisa memberikannya kepada teman-temanmu yang lain."

Orang itu terkejut mendengar jawaban dari anak itu.

Iapun membungkuk dan berkata: "Aku berhutang budi pada Tuan. Teirma kasih."

"Tolong jangan panggil aku Tuan. Aku hanya seorang Pelayan Raja Varaash. Aku juga seorang Slavian, Budak Iblis. Panggilan itu terlalu tinggi buat orang yang hina sepertiku."

"Slavian? Tuan adalah Slavian yang sering dibicarakan banyak orang itu?"

"Iya. Itu ingatkan aku, Namaku Gustaph dan orang yang disampingku adalah Kepala Pelayan Kerajaan ini, Halim. Siapa namamu, saudaraku?"

"Namaku adalah M, Tuan-tuan."

"Em?"

Mereka berdua mengucapkan nama itu bersama-sama. Terbesit di pikiran mereka, mungkin itu adalah nama panggilannya yang terdiri dari huruf 'E' dan 'M'.

"Senang berkenalan denganmu, nak."

"Aku juga. Kalau begitu, maukah kalian berkunjung ke rumahku?"

***

Memutar gagang pintu yang bundar itu, ia membukanya lalu berjalan perlahan masuk ke dalam rumah. Disusul oleh kedua tamu kehormatannya juga ikut masuk, beberapa orang di dalam rumah menyambut mereka dengan penuh kehangatan.

"Aku pulang."

"Selamat datang, saudaraku. Eh–?"

Mata-mata mereka melirik ke orang-orang yang ada di belakangnya. Sepertinya mereka mendapatkan tamu pertama mereka di rumah ini.

"Perkenalkan, mereka adalah Pelayan Kerajaan Varaashia, Tuan Gustaph dan Tuan Salim. Aku bertemu dengan mereka saat berbelanja."

"Salam kenal." Ucap Halim dan Gustaph.

"Salam kenal. Suatu kehormatan bisa menyambut kalian di rumah baru kami. Perkenalkan, namaku Gerrad. Lalu, di sana Zero dan yang paling ujung adalah N."

"Salam kenal." Ucap mereka bersama-sama.

Gustaph menatap wajah mereka, mencoba untuk menyimpannya dalam ingatannya. Tetapi yang di ujung sana…

"Wajahmu mirip sekali dengan Em."

"Tentu saja, aku adalah adik kembarnya."

"Kembar?"

Selain Jack bersaudara, Gustaph sepertinya punya masalah lain untuk membedakan mereka berdua.

Ia tidak bisa membedakan mana M dan N. wajah, cara berpakaian, nada suara, bahkan rupa fisik lainnya hampir tidak ada bedanya satu sama lain.

"Maafkan aku, sepertinya Tuan Gustaph kerepotan membedakan mereka berdua. Jujur saja, kamipun sering sekali tertukar saat coba memanggil mereka." Ucap Zero.

"Jika diperkenankan, bisakah salah satu dari kalian menggunakan sesuatu agar kalian bisa dibedakan?" tanya Halim, ini adalah usul yang bagus.

"Benar juga. Aku sebenarnya ingin mengusulkan hal itu. Bagaimana denganmu, N?" tanya M pada adik kembarnya.

"Aku setuju, kak. Bagaimana jika kita menggunakan sapu tangan?"

"Aku setuju, dik. Kita menggunakan sapu tangan."

Merekapun mengambil sesuatu di saku mereka. Itu adalah sapu tangan. Masing-masing mereka berbeda warnanya.

"Aku hitam."

"Aku putih."

Merekapun mengikat sapu tangan di bagian bawah tengkuk mereka. Sehingga nampak sapu tangan itu berbentuk segitiga menutup sebagian atas dada mereka berdua.

"Sekarang, Tuan Gustaph dan Tuan Halim bisa membedakan kami?" tanya yang bersapu tangan hitam kepada mereka berdua.

"Tentu saja saudaraku En, ini jauh lebih baik. Tapi, aku berharap kalian tidak mengganti sapu tangan kalian jika bertemu denganku suatu saat."

"Kami akan mengusahakannya. Kalau begitu, duduklah wahai tamu-tamuku. Aku akan ke dapur untuk menyajikan makanan untuk kalian. saudaraku, bantu aku buatkan teh untuk tamu-tamu kita."

"Baik, kakak."

Saudara kembar itu mulai pergi ke sebuah ruangan, mungkin itu adalah dapur yang mereka maksudkan.

Gustaph dan Halim duduk. Mata mereka diajak berkeliling melihat sekitar mereka. Bisa dibilang, rumah ini terlalu bagus untuk dibilang sederhana. Halim pernah bilang, rumah dari bebatuan dan semen itu jauh lebih mewah dan mahal dibandingkan gubuk dari papan dan marmar. Tetapi, Gustaph tidak berpikiran seperti itu. Sekalipun rumah ini bagus, tetap saja rumah tempatnya tinggal lebih nyaman.

Rumah ini tidaklah lebih luas dibandingkan tempat anak itu tinggal. Satunya perbedaan di sini, rumah ini memiliki dua tingkat dan satu basement di bawahnya. Tingkat pertama adalah ruang tamu, ruang keluarga, dan ruang makan, dapur, dan kamar mandi. Sedangkan tingkat kedua merupakan kamar mereka dan ruang keluarga yang lainnya.

Rumah ini dibeli oleh Kerajaan, khusus untuk para pengungsi dari Velas yang berhasil melarikan diri ke Varaashia. Namun, jika di negerinya –di El Dunya– itu semua tidak gratis, berbeda dengan Varaashia, Baginda membebaskan kehendak mereka. Jika mereka mau mengabdi untuk Varaashia tentu mereka akan sangat diterima. Namun, jika mereka berkehendak untuk bekerja di bidang lainnya, tentu Raja Varaash akan sangat bahagia.

Ketika Gustaph mengingat-ingat kebaikan Tuannya saat ini, ia tidak berhenti ingin menyebarkan segala kebaikan beliau. Apakah ia sekarang sudah menjadi seperti dalam cerita novel, dimana tokoh utamanya mengagungkan raja penyihir berwujud skeleton itu atas segala kebaikan yang ia perbuat?

"Sebelumnya, kami warga Velas sangat berterima kasih kepada kalian karena telah menerima kami tinggal di kota kalian ini. Kami sangat berhutang budi, tolong sampaikan rasa terima kasih ini kepada Yang Mulia Varaash." Gerrad menundukkan kepalanya saat itu.

"Kami sangat senang jika kalian bahagia tinggal di kota ini. Dengan senang hati kami akan menyampaikannya kepada Baginda." Jawab Halim kepadanya.

"Bolehkah aku tahu, sudah berapa lama kalian tinggal di sini dan bagaimana kalian bisa berada di sini?" Tanya Gustaph.

"Sebenarnya…, kami baru dua hari lalu tinggal di rumah ini setelah kami dibebaskan dari tahanan." Jawab Zero.

"Jadi… kalian adalah penyusup yang diutus oleh Jewish itu?"

"Benar Tuan Gustaph. Tetapi, kami melakukan itu dengan sangat terpaksa. Mohon ampuni kami atas perbuatan kami itu."

"Benar Tuan Gustaph, kami tidak bisa membantah perintahnya. Hidup kami seolah-olah hanyalah kumpulan pilihan bagaimana caranya untuk mati. Tolong jangan membenci kami, ampunilah kami."

Mereka berdua menundukkan kepala. Mereka pasti takut bahwa Halim dan Gustaph akan membenci mereka.

"Tolong angkat kepala kalian. kami sudah memahami semua keadaannya, jadi kalian tidak perlu takut."

Mereka berdua mengangkat kembali kepala mereka.

"Soal warga Velas, masih banyakkah yang bertahan hidup di sana?"

"Benar Tuan Halim, tetapi semua warga Velas di sana tidak dianggap sama sekali oleh warga Izre. Semua kegiatan dan perbuatan kami dibatasi. Kami tidak diizinkan bekerja, berdagang, melakukan aktifitas fisik, bahkan kami dikucilkan dan dianggap tidak ada oleh seluruh warga di sana."

"Kami juga tidak diizinkan melakukan jual-beli, bahkan kami tidak diizinkan untuk meminta dan mengemis walau hanya untuk satu butir gandum. Kami di sana tidak hidup, tetapi juga kami tidak mati."

"Kejam sekali…"

Ketika ia membayangkan kejadian itu, ini sama saja seperti di negara itu. Ia masih mengingatnya, televisi di rumah istana itu mengabarkan kejadian tidak mengenakan dimana salah satu etnis dipaksa untuk masuk ke dalam kamp raksasa. Sebelum itu, mereka juga bernasib sama seperti para pengungsi ini. Tidak diizinkan melakukan aktivitas, berdagang, bekerja, dan lain sebagainya. Hingga pemerintahan di sana memerintahkan mereka secara paksa untuk masuk ke dalam kamp tersebut tanpa diketahui bagaimana kabarnya.

"Mereka melakukan ini agar kalian mau untuk masuk ke dalam anggota prajurit mereka?"

"Benar, Tuan Gustaph. Mereka melakukan itu kepada kami."

"Tetapi mereka tidak memakmurkan kami sama sekali. Bahkan kami tidaklah lebih dari sebuah mainan untuk mereka."

Terlihat wajah mereka berdua bersedih setelah menceritakan masa lalu mereka yang kelam.

Seharusnya Gustaph tidak menanyakan hal ini.

Ia jadi merasa tidak enak.

Gustaph menundukkan kepalanya dalam-dalam, "Maafkan aku karena sudah membuat kalian kembali mengingat semua itu. Aku yakin kalian merasa sangat terluka. Tolong, maafkan aku, saudara-saudaraku."

"Jangan-jangan! Tolong angkat kembali kepalamu, Tuan. Tidak perlu Tuan pikirkan, bukankah setiap orang memiliki masalahnya masing-masing?"

Kata Gerrad ada benarnya.

Ia masih ingat sekali kisah tentang dua sahabatnya itu. Sekalipun status mereka adalah slavian, mereka tetap menjalani hidup mereka sebagai remaja biasa tanpa rasa khawatir. Mereka hidup dengan tenang seolah-olah tidak pernah terjadi apapun pada mereka. Mereka masih bisa tersenyum, mereka masih dapat berbaur dengan orang-orang sekitar. Bahkan, mereka masih mau untuk bersahabat dengan seorang udik dan pendiam seperti dirinya.

Seharusnya Gustaph dapat memahami, setiap orang memiliki masalah mereka masing-masing seperti Lusiana dan Ricky dengan kehidupan mereka di waktu itu. Mungkin ia berpikir masalahnya sangatlah besar karena menjadi slavian. Kedua orangtuanya mati di tangannya, begitupun kedua sahabatnya, menjadikan penderitaan batinnya kian menyiksa dan hanya membesarkan masalah itu sendiri. Tapi, bukankah manusia bukan ia seorang di dunia ini?

Ia menjadi sangat malu karena sempat putus asa dan memutuskan untuk menyerah kepada utusan iblis itu. Namun mendengar cerita mereka, seharusnya ini akan menjadi semangat barunya agar dapat menjadi orang yang kuat yang dapat melindungi semuanya.

Bukankah itu adalah sumpah yang telah diucapkannya setelah ia dijadikan pelayan oleh Baginda? Iya, Gustaph sangat mengingat itu.

"Kami yakin Tuan memiliki masalah yang lebih besar dari kami, bukan?"

"Aku rasa…"

"Kami akan mendengar cerita Tuan jika anda berkenan."

"Satu-satunya masalah di dalam hidupku hanyalah diriku adalah seorang slavian, tidak lebih." Jawab Gustaph, masih dengan nada datar.

Namun itu cukup membuat mereka berdua terkejut…

"Jadi… anda adalah seorang Slavian itu?"

Gustaph tidak menjawab apa-apa, ia tidak tahu ucapan mereka adalah rasa terkejut atau rasa takut. Bahkan baginya kedua rasa itu sama saja.

"Baginda Varaash menemukannya dalam keadaan pingsan di hutan. Karena itu, beliau langsung membawanya dan memberikannya tempat bernaung." Jelas Halim pada mereka.

Zero dan Gerrad tidak tahu harus berkata apa.

Ini untuk pertama kalinya mereka benar-benar bertemu dengan seorang slavian. Sebelum-sebelum ini, ia selalu mendengar itu dari Jewish. Ia berkata bahwa kemenangan Izre akan dituntun oleh raja iblis dalam bayang-bayang sayap seorang budaknya yang setia. Selain itu, para warga di sini banyak yang tengah membicarakannya dan menjadi buah bibir yang hangat.

Tidaklah lama, menyusul N yang membawa sebuah nampan berisikan enam gelas cantik dengan satu teko besar. Bisa tercium aroma manis dan wangi dari teh tersebut yang bercampur dengan aroma melati yang kuat. Aroma tersebut cukup menenangkan, memberikan rasa relax di dalam hati mereka yang sempat menegang.

Setelah N menuangkan teh itu di gelas-gelas mereka, aromanya kian tercium kuat. Seluruh ruang inipun dipenuhi dengan aroma-aroma melati dari teh tersebut.

"Silahkan diminum tehnya, Tuan Gustaph, Tuan Halim."

"Terima kasih."

Setelah itu, N menaruh nampan tersebut di bawah meja dan ikut serta dengan Zero dan Gerrad duduk berdampingan di atas sofa.

"Aku sudah mendengar semuanya dari kakakku, juga semua pembicaraan kalian di sini. Jadi aku sudah sangat memahami semuanya bahwa Tuan Gustaph tidak berada di bawah kendali raja iblis, bukan?"

"Sampai sekarang ini, aku masih memegang kendali penuh atas tubuhku. Tetapi, aku entah sampai berapa lama aku dapat bertahan."

"Jika kalian menanyakan alasan mengapa Baginda memungutnya dan melindunginya adalah untuk menyelamatkannya dari genggaman raja iblis. Beliau masih mengusahakan untuk bisa mencari cara agar Gustaph bisa terbebas dari empat buhul yang mengikatnya."

Setiap slavian diikat oleh empat buhul oleh raja iblis di dalam perjanjiannya.

Buhul pertama adalah buhul kendali. Buhul inilah yang dapat mengendalikan Gustaph untuk mengeluarkan kekuatannya atau tidak.

Buhul kedua adalah buhul kesetiaan. Buhul inilah yang membuat Gustaph dapat merasakan sakit teramat dalam sewaktu-waktu. Baik itu karena ia melihat sesuatu ataupun tidak sama sekali. Semuanya bergantung pada keinginan raja iblis yang ingin menyiksanya sampai seberapa sakit.

Buhul ketiga adalah buhul ikatan. Buhul inilah yang memberitahu Gustaph akan posisi raja iblis itu berada. Semuanya termasuk posisi prajuritnya beserta ancaman yang ada disekitarnya oleh mereka.

Dan buhul keempat adalah buhul kekuatan. Bisa dibilang ini juga adalah buhul jiwa. Hell Soul yang ditanamkan dalam tubuh slavian mengikat pemilik tubuh dengan tiga buhul lainnya. Buhul keempat ini adalah buhul terkuat. Ketika jiwa telah mencapai masa dewasanya, ia akan mengambil alih penuh tubuh korban. Namun, jika jiwa tersebut dikeluarkan secara paksa maka korban akan ikut mati bersamanya.

Begitulah yang Halim dan Gustaph jelaskan kepada mereka. Baik Zero, Gerrad, dan N mereka sudah memahaminya sangat baik. Mereka pernah mendengarkan ini sebelumnya.

Di wajah Gustaph, nampak mereka mulai mengagumi rajanya itu. Ini membuat Gustaph merasa sangat senang juga.

"Benar seperti yang banyak orang katakan, beliau adalah raja yang sangat baik."

"Tetapi, aku merasa –maafkan aku jika aku lancang– beliau terlalu mengambil resiko besar. Apakah ini tidak akan berpengaruh dalam pemerintahannya? Aku juga pernah mendengar di sini sempat ada penolakkan kehadiran Tuan di sini. Apakah itu tidak masalah bagi Tuan maupun Yang Mulia Varaash?"

Gustaph diam sejenak, sebenarnya pertanyaan ini mengganggu.

"Jika boleh jujur, aku juga mengkhawatirkan beliau. Tetapi, aku hanya pelayannya, aku hanya bisa mengikuti perintahnya. Lagipula, aku sudah membuat perjanjian dengan para bangsawan di pemerintahan. Mereka tidak akan berani menentang Baginda dengan keputusannya. Siapapun yang menentang, aku akan menjadi mata pedang dan tameng beliau. Apapun yang akan terjadi!"

Jawaban yang jujur dan berani. Membuat N sangat terkagum-kagum. Pantas saja ia juga dapat melakukan tindakkan berani pada seorang bangsawan yang sempat menghina kakaknya. Dia memang menyeramkan, namun sangat baik hati.

"Maafkan kami karena sudah merepotkan kalian, termasuk anda Tuan Gustaph. Tuan sudah menyelamatkan kakak saya. Tetapi, apakah Tuan yakin tidak akan terjadi masalah apapun? Tuan banyak dibicarakan oleh banyak orang dan mungkin para bangsawan juga akan menjelek-jelekkan Tuan."

"Kau tidak perlu mengingatkanku. Karena aku sudah menjadikannya makanan setiap hariku. Jadi kalian tidak perlu khawatir. Bahkan aku bisa melakukan sesuatu yang lebih kejam lagi selain menginjak wajah mereka dengan sepatuku jika mereka berani macam-macam dengan orang terhormat yang telah memberikanku tempat bernaung."

Halim bisa merasakannya, ia tidak salah. Anak itu benar-benar memiliki tekad kuat ingin melindungi.

Di sana juga ada banyak perasaan ingin membalas budi. Semuanya tersambung dengan perasaan-perasaan sebelumnya ketika mereka berjalan di tengah kota dan perkataan anak itu sebelumnya ketika memaksa kehendaknya untuk ikut menjaga Sektor Eusfrat.

––Jadi inikah yang disebut dengan tekad dan perasaan? Rasa ingin melindungi, rasa ingin membalas budi? Nak, apakah kau benar seorang manusia? Kau nampak lebih seperti seekor singa, nak. kau kuat dan tegar.

Selain Halim, ternyata mereka juga merasakan perasaan anak itu.

Gerrad tiba-tiba berdiri, "Kalau begitu, aku juga akan ikut dengan Tuan untuk membalas kebaikan Yang Mulia Varaash."

"Aku juga!"

"Aku juga ingin!"

Ketiganya berdiri karena semangat dan tekad mereka. Ini adalah langkah yang bagus agar mereka bisa menjadi orang yang kuat.

Sebelum-sebelum ini, mereka hanya hidup berpangku tangan dan mengharapkan belas kasihan dari orang lain. Hingga akhirnya berkecamuk, ketika banyak orang mulai bangkit dan berusaha untuk bertahan hidup, yang mereka lakukan tidaklah lebih mengharap bantuan kepada sesama mereka. Tentu saja mereka akan sangat kesusahan.

Setelah belajar dari rasa sakit yang mereka alami selama ini, membuat mereka harus bangkit dan berusaha menjadi lebih kuat. Alasan mengapa mereka selalu ditindas adalah mereka terlalu lemah untuk dapat melawan. Sekalipun rajanya adalah orang baik, tidak berarti rakyatnya demikian. Akan ada banyak orang yang membenci mereka, karena itu mereka harus menjadi kuat.

"Aku senang dengan tekad kalian, banyak di antara saudara-saudara kalian sebelum ini yang juga mengabdi pada Baginda di berbagai bidang. Aku yakin, keahlian kalian sangat membantu kota ini berkembang."

"Kalau begitu, bagaimana jika kita makan bersama terlebih dahulu?"

M keluar dari dapurnya dan membawa enam buah mangkuk di atas nampan. Itu adalah sebuah bubur kacang hijau lengkap dengan selembar roti di atasnya.

***

avataravatar
Next chapter