2 Pelayan Kerajaan

Menarik napas dalam-dalam hingga matanya terbuka lebar. Sebuah angin masuk dari jendela kecil di belakangnya, coba menurunkan suhu tubuh Gustaph yang naik karena mimpi buruknya. Perlahan-lahan kencangnya detak jantung itu berubah menjadi lebih tenang. Meskipun kepalanya masih terasa berat, paling tidak itu jauh lebih baik.

Gustaph diam sejenak, seraya memegang kepalanya. Ia masih berpikir bahwa baru kemarin dia berada di Kerajaan Varaashia karena mimpi itu. Padahal, Kakek Halim dan adiknya Salim juga kakaknya sendiri sudah mengingatkannya bahwa ia sudah berada di sini seminggu lalu.

Ia masih tidak mengerti, bagaimana ia berada di kerajaan ini?

Sebelumnya, anak itu sempat dijemput oleh salah satu utusan Raja Iblis untuk membawanya ke Kerajaan Neraka. Tetapi, seorang guru menghentikannya hingga membuatnya hilang kendali dan berubah menjadi Monster Iblis Walet Hitam.

Sekarang, Gustaph tidak tahu bagaimana kabar para siswa di sana. Termasuk para guru di sekolah, terutama Pak Noah. Beliaulah yang menghentikan langkah Gustaph sebelum berubah menjadi sesosok monster iblis ganas.

Ketika ia terbangun dan tersadar, Gustaph sudah terbangun di atas ranjang empuk sederhana dalam sebuah gubuk yang terdiri dari marmar dan papan kayu.

Semua pertanyaan itu masih saja berputar-putar di kepalanya. Inilah yang jadikan kepalanya berat bukan kepalang.

Ia menghitung waktu, kurang lebih sudah hampir sepuluh menit ia hanya duduk termenung di atas ranjangnya. Seharusnya Gustaph sudah merasa lebih tenang.

Iapun menyingkirkan selimut yang membaluti tubuhnya dan segera memakai pakaian yang sudah diberikan Kakek Halim kepadanya.

Ini adalah pakaian pelayan yang khusus dijahit untuk anak itu.

Tidak berbeda dengan Kakek Halim, baik kemeja putih, jas dan celana panjang hitam itu benar-benar mirip-mirip dengan yang senantiasa dipakai olehnya. Satu-satunya alasan ia membuat seragam seperti ini, ia tidak tahu harus menjahitnya seperti apa lagi.

Terlebih, Gustaph berasal dari El Dunya (Sebuah dunia dimana kau, aku, dan kita tinggal) dimana gaya berpakaian orang-orang di sana sangat berbeda jauh dengan di El Berrix. Sekalipun Halim pernah hidup dan tinggal bersamanya di sana dan melayani seorang jenderal, ia hanya memerhatikan anak itu juga keponakan dari majikannya di sana. Ia tidak begitu peduli dengan adat dan kebudayaan di dunia tersebut.

Satu-satunya perbedaan seragam anak itu dengannya hanyalah tambahan jubah yang dapat menutupi separuh wajahnya. Ini berfungsi agar anak itu dapat berjalan di tengah keramaian tanpa membuat orang lain takut akan kehadirannya. Karena jubah tersebut selain menutupi penampian, ia juga bisa menutupi aura kekuatan yang memancar pada tubuh pemakainya.

Memakai kain ini membawa rasa senang dan kesal tersendiri bagi Gustaph.

––Harus bagaimana lagi, mereka sudah sangat takut dengan kehadiranku dengan status sebagai seorang Slavian.

Ketika Gustaph di Kota Azkha pertama kali, kehadirannya mendapat banyak orang baik dari kalangan para prajurit, bangsawan, maupun para warga. Satu-satunya alasan ia masih tinggal di kota ini karena Kakek Halim, kakaknya, juga Yang Mulia Varaash sendiri yang memaksanya.

Sampai sekarang, Gustaph juga tidak mengerti mengapa mereka bersungguh-sungguh membujuknya untuk tinggal di sini. Bukankah akan lebih baik jika ia pergi menjauh dari kota agar tidak menjadi masalah bagi mereka?

––Terlebih, aku tidak tahu kapan monster dalam tubuhku ini akan kembali bangun. Raja Iblis itu masih bisa mengendalikannya, bukan?

Gustaph takut akan ada masa dimana ia benar-benar hilang kendali. Ketika ia berubah menjadi Monster Iblis Walet hitam kembali dan melululantakkan segala yang ada di depannya.

Maka kejadiannya akan jauh lebih dahsyat dibandingkan ketika ia membunuh kedua orangtuanya pertama kali. Akan ada lebih banyak linangan air mata dan darah di mana-mana.

Itu adalah sebuah mimpi buruk terseram yang tak ingin anak itu mengalaminya walaupun hanya sebatas mimpi.

Setelah semuanya sudah ia kenakan, ketika semuanya sudah terasa rapih, ia pun memulai perjalanan menuju ke istana. Gustaph sangat yakin jika Kakek Halim pasti menunggunya.

Melompat keluar melalui jendela, ini adalah sebuah kebiasaan seru yang kini ia selalu lakukan saat berangkat menuju istana. Karena ia tahu, satu-satunya penghuni rumah yang telat bangun hanyalah dia seorang. Sedangkan kakaknya, sudah pergi duluan untuk bekerja sebagai ksatria.

Meskipun ia sudah sering pergi tanpa pamit, tetapi ini baru seminggu lamanya ia pergi keluar rumah melalui jendela.

Tentu saja, dia tidak lupa untuk menutup pintu jendelanya kembali.

Iapun mulai berlari kencang mengejar waktu. Tidak lupa ia menggunakan tekhnik parkour yang ia latih selama tiga tahun terakhir dengan melewati atap-atap rumah orang lain tanpa meninggalkan kebisingan sedikitpun. Selain untuk mengasah kemampuannya yang mungkin berguna suatu saat, juga bisa mempercepatnya untuk sampai ke istana.

***

Di Istana Azkh, para pelayan istana sudah sibuk dengan tugas mereka masing-masing. Menyapu, mengepel, membersihkan perabotan di sana dan berbagai hiasan. Setiap pelayan di sini bertugas sesuai dengan tugasnya masing-masing dan semuanya sudah diatur oleh Kepala Pelayan, yaitu Kakek Halim sendiri.

Sekarang ia tengah berkeliling memeriksa satu per satu ruang, lorong, kamar, dan setiap sisi istana untuk memastikan apakah masih ada pekerjaan yang harus dikerjakan untuk satu orang yang ia lupakan.

Istana ini terdiri dari lima tingkat dua tingkat basement di bawahnya.

Tingkat pertama adalah sebuah aula besar. Di sinilah Yang Mulia Varaash biasa menemui siapapun yang ingin menghadapnya baik melalui perintah, undangan, ataupun dalam keadaan darurat. Terkadang ia juga memberikan kesempatan rakyatnya untuk datang menghadapnya dan menyampaikan keluh kesah yang mereka alami. Tetapi, sekarang itu sudah jarang terjadi karena taraf hidup mereka yang berada di atas garis kemiskinan. Seluruh rakyatnya hidup makmur dan berkecukupan.

Meskipun memang sempat terjadi kekacauan yang menyebabkan bahan pangan naik, namun Yang Mulia dapat mengatasinya dengan baik. Beliau tidak segan untuk turun langsung ke jalan dan melihat keadaan warganya sendiri, baik itu secara terang-terangan maupun diam-diam menyamar sebagai orang asing.

Ruang ini juga biasa digunakan sebagai ruang pesta di saat-saat tertentu, seperti malam perayaan sebelumnya. Namun, karena Yang Mulia Varaash baru sampai setelahnya, ruang ini jadi tidak terpakai saat itu.

Lalu tingkat kedua, ada beberapa ruang di sana. Mulai dari ruang makan, ruang rapat kecil, ruang pribadi raja, ruang kantor beliau, dan beberapa ruang lainnya yang terkunci sangat rapat. Ruangan yang terkunci itu tidak diketahui apa isinya, termasuk Halim sendiri.

Selain itu, di sana juga terdapat ruang aula dimana Yang Mulia mengadakan rapat besar-besaran dengan para bangsawan juga menteri-menterinya. Meskipun tidak lebih luas dengan aula yang berada di bawah karena ruangan ini memang khusus untuk keadaan-keadaan penting saja.

Lalu tingkat ketiga adalah ruang milik Sang Raja. Kamar pribadi beliau dan beberapa ruangan pribadi lainnya. Sebagai kepala pelayan, Halim memiliki akses terbatas di tingkat ini. Ia hanya bisa memasuki kamar Yang Mulia, itupun jika ia mendapat izin dari beliau.

Lalu tingkat keempat adalah kamar para pelayan, dimana para pelayan yang bekerja jauh dari rumahnya tinggal. Tentu saja, tingkat tersebut dibagi menjadi dua dengan sebuah sekat karena Yang Mulia tidak hanya dilayani oleh seorang pelayan perempuan, tetapi ia juga dilayani oleh beberapa pelayan laki-laki dalam beberapa hal.

Dan tingkat terakhir adalah perpustakaan. Semua dokumen dan informasi rahasia tersimpan dalam satu tempat tertinggi ini. Di sini ada seorang pustakawan khusus yang bekerja menjaga dan merawat semua buku-buku di sana dan dokumen-dokumen lainnya. Di sinilah pusat informasi Kerajaan Varaashia dan buku induk berbagai macam ilmu pengetahuan berjejer rapih di dalam barisan rak buku yang menjulang tinggi.

Adapun dua tingkat basement di istana ini adalah sebuah dapur dan gudang persenjataan. Akses ke tempat ini sangatlah terbatas dan hanya orang-orang yang mendapat izinlah yang dapat masuk ke tempat ini. Termasuk untuk membersihkannya.

Semuanya sudah ditelusuri oleh kepala pelayan itu. Sepertinya sudah tidak ada lagi yang bisa dikerjakan oleh salah satu pelayan –yang ia lupakan– itu.

Bahkan Halim sendiri bingung, apa yang akan ia lakukan sekarang?

"Hei, apa yang kau lakukan?!"

"Lagi-lagi, kau!"

"Turun dari sana, kau budak iblis!"

Suara bising itu berasal dari luar istana, dari para prajurit yang berjaga di sekeliling benteng.

Beberapa pelayan yang mendengar itu ada yang terganggu, tetapi sebagian yang lain hanya tertawa kecil dan membicarakan seorang bocah yang memang suka bikin gara-gara akhir-akhir ini.

Termasuk Halim, ia sudah tahu siapa pelaku dari kebisingan tersebut.

––Seperti biasanya, Nak Gustaph. Kau tahu cara menghibur dirimu sendiri.

Semenjak Gustaph diangkat sebagai pelayan di bawah pengawasan Kepala Pelayan Halim, ia memberikan warna tersendiri di kalangan para pelayan. saat ia datang pun, kehadirannya sudah bisa dirasakan sejak Gustaph membuat keributan dengan loncat kesana-kemari dari ujung ke ujung hingga akhirnya masuk melalui jendela ke dalam sebuah ruangan di istana.

Hal paling mengejutkannya, ia selalu mendarat di tempat Halim berada seperti sekarang ini. Ini adalah tingkat dua, lebih tepatnya dalam ruang rapat.

Untungnya Halim sudah memperingatkan para pelayan lainnya untuk senantiasa membukakan semua jendela yang ada di istana. Selain agar angin segar dapat masuk ke dalam ruangan dan memberikan rasa sejuk, juga sebagai jalan masuk bocah sembrono itu.

"Bisakah kau mencari jalan lain untuk berangkat kerja, nak?"

"Saya hanya melakukan yang ingin saya lakukan, lagipula saya tahu Kakek Halim sudah menunggu saya, bukan?"

Sebuah jawaban yang mengejutkan. Hampir-hampir ia berpikir bahwa anak di depannya itu bukanlah Gustaph yang pernah dia asuh ketika di El Dunya. Pindahnya ia ke dunia ini menjadikan perangainya juga sedikit berubah.

Ia masih sangat mengingat, Gustaph adalah seorang yang sangat pendiam. Anak itu hampir tidak pernah bicara kecuali karena dipaksa oleh sahabatnya Lusiana. Setahunya, Gustaph hanya banyak berbicara ketika tragedi dua tahun lalu. Terutama saat berhadapan dengan utusan raja iblis yang telah mengambil kedua sahabat baiknya.

"Aku memang sudah lama menunggumu, nak. tetapi maafkan aku, karena keterlambatanmu aku lupa untuk membagikan tugas kepadamu."

"Eh?"

"Semua pekerjaan di istana ini sudah diselesaikan oleh para pelayan lainnya. Aku pun tidak kebagian tugas sekarang. Hari ini juga bukan jadwalku untuk melayani Yang Mulia. Sepertinya, kita berdua tidak mendapat jatah kerja untuk sekarang ini."

"Sayang sekali.."

Sayangnya, sekalipun di sini ia lebih banyak berbicara, Gustaph masih tidak pernah memainkan mimik mukanya. Baik sedang merasa senang atau sedih pun, semuanya hanya diekspresikan dengan satu wajah yang polos– datar.

Tidak hanya itu, nada bicaranya yang tanpa gelombang ataupun nada juga membuat Halim semakin yakin bahwa Gustaph adalah satu-satunya manusia yang ia temui tanpa ekspresi sama sekali.

Ini sungguh menyedihkan, bahkan setelah bertemu dengan kakaknya sepertinya bocah itu belum juga menemui kebahagiaannya.

Tadinya ia berpikir jika ia membiarkan anak itu berkeliaran seperti ini, ia bisa melihat wajah pada sosok Gustaph. Tetapi, saran dari Yang Mulia ini juga nampak tidak berhasil.

"Begini saja, bagaimana jika kita jalan-jalan keliling kota ini? Kau mau?"

"Keliling kota?"

"Iya, melihat-lihat sekitar. Tetapi, di sini kau harus jalan kaki, nak. karena di sini kami tidak mempunyai mobil atau sepeda motor yang biasa kamu naiki. Aku juga tidak punya uang yang cukup untuk menyewa kereta kuda."

"Jika itu kemauan Kakek Halim, saya akan ikut."

"Baiklah. Aku titipkan istana ini pada kalian, ya. Aku akan jalan-jalan sebentar dengan anak ini dulu."

"Baik, Tuan Halim."

Setelah para pelayan lain menjawab, mereka berdua mulai melangkahkan kaki menuju pintu dan meninggalkan ruang rapat itu.

Mereka mulai berjalan di sebuah lorong beralas karpet berwarna merah. Di sini juga ada berbagai macam hiasan seperti lampu gantung dari Kristal, lukisan-lukisan, dan vas berisikan bunga mawar yang berwarna merah terang di atas meja dari kayu jati dengan kaki dari stainless-steel.

"Ngomong-ngomong nak, apakah seminggu ini kau merasakan ada yang aneh dengan tubuhmu?"

Halim berusaha mengisi kekosongan dengan sedikit obrolan dan tanya jawab. Selain itu, ia mengkhawatirkan kondisi Gustaph, karena suatu waktu ia bisa saja kembali menjadi seekor monster dan menghancurkan kota ini.

"Sampai sekarang aku belum merasakan apapun."

"Begitukah? Ah!"

Mereka berdua menghentikan langkah di sana ada seorang pelayan yang berjaga di pintu depan. Itu adalah ruang pribadi sang raja.

Dan beliau keluar dari ruangan tersebut, ditemani dengan seorang pelayan lainnya di belakangnya.

"Halim, Gustaph!" panggil Raja Varaash.

Wajah hangat beliau begitu terang menusuk mata siapapun yang berada di dekatnya. Cukup kuat untuk membuat siapapun yang menghormatinya untuk membungkuk ataupun bertekuk lutut seperti Halim dan anak itu.

"Baginda." Balas seru mereka dengan khidmat.

"Berdirilah kedua pelayanku…" titah Sang Baginda bagi mereka. Tentu mereka menurutinya.

Setelah melihat mereka berdua berdiri, Baginda mendekati mereka dan kembali meneruskan:

"Bagaimana kabar kalian?"

"Sehat, Baginda. Seperti biasanya."

Ada jeda sejenak. Ketika Halim menengok kepadanya, anak itu baru menjawab. "Hamba baik-baik saja, Baginda… sampai sekarang ini."

"Syukurlah, aku senang mendengar kabar baik dari kalian. Oh ya, apakah kalian ada acara hari ini?"

"Tadinya kami ingin berkeliling sejenak, Baginda. Apakah Baginda menginginkan sesuatu?"

"Kalau begitu aku minta maaf karena harus mengganggu waktu kalian, tetapi Gustaph, bisakah kau ikut denganku ke dalam ruanganku?"

***

avataravatar
Next chapter