1 Valeria - Renata

"Hai, namaku Valeria Harietta. Kalian bisa memanggilku Val. Aku pindahan dari German. Semoga kita bisa berteman baik kedepannya. Terima kasih"

Valeria memasang senyum manisnya. Ia melihat pantulan dirinya di cermin kamarnya. Ia mengerutkan dahinya dan setelahnya ia melunturkan senyumnya itu. Valeria merasa aneh dengan senyumnya. Terlihat kaku dan terlihat seperti di paksakan. Ternyata mencoba hal yang tak pernah kau lakukan sebelumnya sangat susah. Valeria menatap datar pada pantulan dirinya. Ia memutuskan untuk menjadi dirinya yang biasa saja.

Valeria mengambil tasnya dan menyampirkannya kesamping. Ia keluar dari kamarnya dan turun kebawah menuju dapur. Di dapur ia tak menemukan ibunya yang biasanya selalu berkutat dengan perlatan dan bahan2 masakan untuk memasak. Tumben sekali ibunya itu belum bangun. Valeria melirik sekilas kearah pintu kaca yang berada di samping kulkas. Pantas saja ibunya itu belum bangun, ternyata hari masih petang.

Valeria menarik kursi dan duduk disana. Sebagai informasi, kalau meja makan dan dapur berada di satu ruangan. Ia menikmati sarapan yang terlalu paginya itu dengan 2 lembar roti tawar yang diolesi selai jeruk kesukaannya. Ia menyantap sarapannya dengan tenang.

Biasanya, jika di German, Valeria selalu olahraga pagi mengelilingi daerah rumahnya. Ia sudah terbiasa bangun pagi. Seolah-olah tubunya itu sudah tersetting untuk selalu bangun pagi. Karena ia sekarang berada di Indonesia, negara ibunya, Valeria memilih untuk tak melakukan kegiatan paginya. Karena ia juga belum mengenal daerah sekitar rumah barunya ini.

Valeria menyelesaikan sarapannya dan ia mengambil air di dalam kulkas. Aneh memang, di pagi hari ia meminum air dingin. Menurutnya, minum air dingin di pagi hari membuat tenggorokannya tidak kering dan membuatnya segar.

Valeria pergi keruang tengah rumahnya dan merebahkan dirinya di sofa. Ia mengecek ponselnya apakah ada notifikasi chat yang masuk. Setelah dilihatnya tak ada notifikasi sama sekali, Valeria memilih untuk bermain game yang ada di ponselnya. Valeria sangat serius dengan kegiatannya sampai ia tak sadar jika ibunya telah bangun dan melihat Valeria yang sedang tiduran di sofa.

"Val," panggil ibunya.

Valeria mendapati ibunya yang sedang berdiri diujung sofa dengan piyama satinnya.

"Tidak olahraga? Kenapa sudah bersiap?" tanya ibunya.

Valeria bangun dari tidurnya, ia menyimpan ponselnya di saku rok seragamnya.

"Tidak. Val masih belum mengenal jelas daerah sini. Jadi aku putuskan untuk lansung bersiap saja dan menunggu mama bangun."

"Sudah sarapan?" ibunya itu pergi menuju dapur untuk membuatkan Valeria sarapan. Valeria mengikuti ibunya ke dapur dan memilih duduk di kursi yang sebelumnya telah ia tempati.

"Sudah. 2 lembar roti dengan selai jeruk."

Valeria melihat ibunya yang kini tengah sibuk berkutat dengan peralatan dapurnya. Biasanya, Valeria akan membantu sang ibu ketika ia selesai berolahraga. Tetapi, pagi ini ia merasa sangat malas untuk beraktivitas lebih. Jadi ia memilih untuk diam dan menunggu masakan ibunya selesai.

"Ma,"

Sang ibu menoleh sebentar kearah Valeria yang tengah duduk manis menunggunya selesai memasak.

"Ada apa?" tanya sang ibu.

"Mama tidak lupa bukan jika hari ini mama akan mengantarku ke sekolah?"

"Tentu. Itulah mengapa hari ini mama bangun lebih pagi dari biasanya. Ada apa? Ada yang mengganggu pikiranmu? Tidak bisanya kau bertanya tentang sesuatu yang tak pernah kau hiraukan sebelumnya."

"Tidak ada. Hanya memastikan saja. Siapa tau mama lupa."

Ibunya menaruh sepiring nasi goreng ke hadapannya. Ia duduk di depan Valeria.

"Katakan saja. Pasti ada sesuatu yang mengganggumu."

Valeria menatap lama kearah ibunya. Ia menimbang-nimbang, apakah ia harus bertanya atau tidak.

"Kenapa kita tiba-tiba pindah kesini?"

Sebenarnya Valeria itu orangnya sangat tidak peduli akan sekitar. Bahkan ia tidak pernah menentang semua keputusan ibunya. Hanya saja, saat ibunya mengatakan ingin pindah ke Indonesia, membuat Valeria bertanya-tanya. Ada apakah gerangan sehingga ibunya tiba-tiba mengajak untuk pindah. Sedangkan dulu, saat dulu ia mengajak sang ibu untuk pindah, ibunya itu menentang keras keinginannya.

Sang ibu menatap Valeria lekat. Ia seperti memikirkan kata-kata yang pas untuk ia ucapkan pada Valeria.

"Hanya ingin,"

Denting sendok dan garpu yang beradu tiba-tiba berhenti. Valeria menghentikan makannya. Ia mengerutkan dahinya dan menatap ibunya tak percaya. Jawaban macam apa yang sedang ibunya katakan tadi. Tidak, bukan jawaban main-main yang seperti itu yang Valeria harapkan. Setidaknya beri ia penjelasan yang logis.

"Ma, aku serius"

Sang ibu menatap Valeria dan menghembuskan nafasnya pelan.

"Mama juga serius. Tidak ada alasan lain, mama hanya ingin pindah saja."

Valeria menaruh garpu dan sendok yang digenggamnya.

"Kenapa? Bukankah semua baik-baik saja sebelumnya? Kenapa mama tiba-tiba ingin pindah kesini?"

"Haruskah kita berdebat untuk hal sepele ini di pagi hari?"

"Jika ini hanya hal sepele, mengapa dulu aku mengajak mama untuk pindah kesini mama menolak dengan keras?"

"Val, habiskan saja sarapanmu. Mama akan bersiap dulu."

Ibunya bangkit dari kursinya dan berjalan meninggalkan Valeria yang sedang diam.

"Sampai kapan mama akan merahasiakan semuanya?"

Sang ibu berhenti mendengar ucapan Valeria.

"Mama tidak pernah merahasiakan apapun darimu."

"Ma, please. Selama ini Val tidak pernah bertanya apapun tentang ayah, Val juga tidak pernah protes ataupun mengeluh akan semua keputusan mama. Tapi ma, kali ini saja. Tolong mengerti aku. Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa kita tiba-tiba harus pindah? Mama juga tidak meminta persetujuanku akan hal ini. Katakan padaku ma, apa yang mama sembunyikan dari ku? Ken-"

"Valeria stop!! Mama tidak menyembunyikan apapun darimu. Berhenti menyimpulkan semuanya sendiri, karena semua yang kau pikirkan itu tidak ada hubungannya sama sekali dengan kepindahan kita."

Sang ibu hendak berbalik dan pergi namun tidak jadi setelah mendengar pertanyaan anaknya. Ia terdiam.

"Kalau begitu, bisa mama jelaskan siapa pria yang datang kerumah kita malam itu?"

Valeria memdekati ibunya dan menatap sedih ibunya.

"Tidak ada yang mama sembunyikan? Nyatanya mama tidak pernah mengatakan padaku jika pria yang datang malam itu adalah ayahku, dan karena dia juga kita harus pindah kesini."

Valeria mengambil tasnya dan berjalan pergi keluar rumah. Matahari sudah menampakkan dirinya sedari tadi. Ia memilih untuk berangkat sendiri daripada berangkat dengan sang ibu. Ia takut akan lebih menyakiti ibunya dan juga dirinya sendiri.

Ya, nyatanya keluarganya tak pernah baik-baik saja.

*

*

*

Valeria menatap bangunan sekolah didepannya. Tidak buruk dan lumayan bagus. Meskipun tidak sebagus sekolahnya yang berada di German. But, no problem. Mau sebagus apapun sekolahnya, jika ia masih tak bisa berteman dengan siswa dan siswi disini, percuma saja bukan.

Ia menghela nafas pelan. Ia mencoba untuk menghilangkan kejadian di rumahnya tadi dan melangkah dengan pasti memasuki sekolahnya. Setidaknya, ia harus tampak ceria dan bahagia di hari pertamanya sekolah bukan.

Valeria berjalan dikoridor sekolah. Matanya tak henti menelusuri bangunan sekolahnya. Ia juga melihat beberapa siswa yang sedang bebincang ringan di sepanjang koridor. Tak sedikit dari mereka yang melirik kearahnya dan melemparkan senyum kecil padanya. Namun, tak ada yang menyapanya. Mungkin karena ia murid baru, jadi murid-murid disini tak berani menyapa dirinya.

Ia melihat seorang peremuan yang tengah berjalan berlawanan arah dengannya sambil membaca buku yang ia pegang. Kacamata bulat dan besar membuat siswi perempuan itu tampak lebih cute. Ia sangat fokus pada bukunya hingga tak memperhatikan jalannya. Valeria sedikit khawatir jika siswi perempuan itu menabrak murid lain dan membuatnya terjatuh.

Mereka hampir dekat, tapi ketika Valeria melihat seorang laki-laki yang sedang memainkan bola basket tak jauh dihadapannya, ia berjalan cepat kearah laki-laki itu dan menarik lengan pria itu.

Sreett

Ckittt

Bunyi aduan sepatu dengan lantai membuat mereka menjadi bahan perhatian murid lain. Laki-laki itu melihat kearah Valeria yang tengah menariknya ke samping. Sedangkan perempuan berkacamata tadi lansung mengalihkan perhatiannya dari bukunya setelah kakinya menabrak bola basket yang terpantul dihadapannya.

"Kalian baik-baik saja?" tanya Valeria

Seolah tersadar, murid laki-laki dan perempuan itu saling tatap dan menangkap jelas maksud Valeria.

"Ah iya, kami tak apa. Terimakasih karena telah menarikku. Jika tidak, mungkin aku akan menabarak dia." jawab laki-laki itu.

"Maaf, jika tak ada dirimu, mungkin kami akan terlibat insiden kecil tadi" tambah murid perempuan itu.

Valeria menatap keduanya datar.

"Lain kali perhatikan jalan kalian"

Seolah tersindir, kedua murid itu meringis senyum dan mengusap leher bagian belakang mereka canggung.

Valeria meninggalkan mereka berdua dan melanjutkan jalannya. Matanya tadi menangkap papan nama bertuliskan kantor guru di depan dan kedua orang itu juga ikut pergi ke tujuan mereka masing-masing.

Valeria berdiri dihadapan pintu ruang guru. Ia menarik nafas untuk menenangkan dirinya. Baru bertemu dengan guru saja ia sudah gugup apalagi bertemu dengan para murid di kelasnya nanti?

Tok tok tok

Valeria mengetuk pintu itu dan membukanya. Ia menyembulkan kepalanya untuk melihat kedalam ruangan. Ternyata ada banyak guru yang sedang berkutat dengan pekerjaan mereka di meja masing-masing.

Valeria membawa tubuhnya untuk memasuki ruangan itu. Ia berjalan ke salah satu guru yang tempatnya tak jauh dari pintu.

"Permisi, pak"

Guru itu menoleh kearah Valeria dan menatap Valeria lama. Ia mengerutkan keningnya sebentar dan Selanjutnya guru itu mengangguk kecil.

"Murid baru, kan?" tanya guru itu.

"Benar pak"

"Valeria Harietta. Pindahan dari German. Nama saya pak Anton, dan saya adalah wali kelas kamu. Kebetulan sekali kamu menyapa saya. Kamu masuk kelas XI IPA 1. Setelah ini kamu ikuti saya saja" jelas guru itu.

"Baik pak" Valeria hendak pergi keluar sebelum gurunya itu mencegahnya.

"Eh, mau kemana?" tanya gurunya.

"Saya mau keluar pak. Saya akan menunggu bapak diluar "

"Oh begitu. Kalau begitu silahkan"

Valeria membungkuk singkat kearah gurunya itu dan keluar dari ruang guru. Ia berdiri tepat disamping pintu ruangan guru. Ia kini terlihat seperti seorang penjaga pintu. Tak lama setelahnya bel masuk berbunyi. Dan para guru mulai keluar menuju kelas masing-masing.

"Ah Valeria, ayo ikuti saya."

Mendengar namanya dipanggil, Valeria mendongak dan mendapati gurunya itu sudah berjalan mendahuluinya. Valeria mengekori gurunya itu, ia naik kelantai 2 sekolah dan bisa ia lihat jejeran ruang kelas tersaji dihadapannya. Mereka berhenti di depan kelas XI IPA 1, gurunya itu masuk lebih dulu. Sedangkan dirinya menunggu di luar, ia akan masuk setelah dirinya dipanggil nanti.

"Nah anak-anak, kita kedatangan teman baru di semester ini. Dia pindahan dari German, tetapi bahasa Indonesianya bagus. Bapak harap kalian bisa berteman baik nantinya." jelas Pak Anton yang berdiri di depan kelas.

"Baik pak," jawab semua murid.

Pak Anton menoleh kearah Valeria. Ia mengkode Valeria lewat matanya untuk menyuruh Valeria masuk. Valeria memasuki kelas itu dengan tenang. Ekor matanya melihat beberapa siswa yang tengah menatapnya penasaran dan ada juga yang berbisik-bisik berasama teman sebangkunya.

Valeria berdiri di samping gurunya dan menatap para murid dihadapnnya.

"Silahkan perkenalkan dirimu pada teman-teman barumu" titah pak Anton.

Valeria melihat kesemua murid yang ada di kelas. Lalu matanya berhenti pada seorang perempuan dengan kacamata bulatnya yang kini tengah menatap Valeria kaget. Mereka bertatapan sebentar lalu Valeria memutus tatapan mereka.

"Namaku Valeria Harietta. Kalian bisa memanggilku Val."

Suara datar dan dingin yang keluar dari mulut Valeria membuat para murid tak merespon ucapan Valeria. Dari pandangannya, Valeria bisa tangkap bahwa perempuan yang tadi ia selamatkan dari insiden kecil beberapa menit lalu tengah tersenyum manis kearah dirinya. Valeria menatap intens gadis itu. Sepertinya, kali ini ia mempunyai kesempatan untuk memiliki seorang teman. Setidaknya, gadis itu bisa jadi temannya. Atau mungkin tidak?

---

Di sebuah ruangan yang sangat berantakan dengan cahaya matahari yang masuk lewat jendela besar yang

berada disamping ruangan membuat ruangan itu sangat terang dan sangat kelihatan sekali betapa hancurnya ruangan itu.

Kertas-kertas berserkan, bermacam-macam jenis kain, dari yang polos hingga bermotif memenuhi ruangan itu. Patung2 manusia yang posisinya tak beraturan membuat ruangan ini terlihat sungguh sangat kacau. Tetapi sepertinya, wanita yang kini tengah fokus menggoreskan pensilnya ke selembar kertas putih itu tak peduli dengan kekacauan yang terjadi disekitarnya.

Dirinya sangat fokus dengan kegiatan menggambar desain baru untuk projectnya. Sakin fokusnya, hingga dering telfon yang sedari tadi beruara tak ia hiraukan.

Kringg

Kringg.

Kringg

Wanita itu mengernyitkan dahinya. Ia merasa terganggu dengan dering ponselnya. Membuat konsentrasinya sedikit kacau.

Kringg

Kringg.

Kringg

"Ck!"

Wanita itu berdecih kesal dan menyambar ponselnya itu. Ia melihat ke layar ponselnya untuk mengecek siapakah yang menelfonnya sedari tadi. Ternyata deretan angka-angka tak dikenalnya yang sedari tadi mengganggunya. Dengan kesal wanita itu menjawab panggilannya. Ia bersumpah, jika yang menelfonnya ini orang iseng atau tak penting sama sekali, ia akan menyumpahi orang ini.

"Siapa ini?" tanya Wanita itu.

"Kau lupa padaku? Apakah tinggal di Jepang membuat kerja otakmu menurun sehingga kau melupakan sahabatmu ini?" sahut seseorang diseberang sana.

Wanita itu mengeryit bingung. Siapa pula orang ini, baru berbicara sudah mengatainya. Meskipun tak tersirat. Wanita itu berfikir lama hingga kemudian ia memutar bola matanya setelah mengetahui siapa yang tengah menelfonnya.

"Rossa? Kau kah itu?"

Ya, sahabatnya. Memangnya siapa lagi yang berani mengatainya jika bukan sahabatnya.

"Bukan. Aku adalah malaikat pencabut nyawamu."

See? Tak salah lagi. Itu adalah sahabatnya. Rossalia.

"Ya ya, terserahmu. Ada apa? Dan bagaimana kau mendapat nomor baruku?"

Wanita itu menaruh ponselnya kembali dan mengaktifkan loudspeaker. Ia kembali melanjutkan pekerjaannya.

"Kau lupa aku siapa? Mendapatkan nomor barumu adalah hal mudah bagiku. Jangankan nomormu, alamat rumahmu saja aku tau dimana."

Wanita itu tersenyum sekilas menanggapi temannya.

"Ya ya ya. Kau memang hebat. Aku tak perlu bertanya dimana kau mendapatkan nomorku. Jadi nyonya, ada apakah gerangan engkau menelfonku? Aku sempat ingin menyumpahimu jika itu bukan kau yang menelfon."

"HEI! SIAPA YANG MENYURUHMU UNTUK MENYUMPAHIKU?! BIADAB SEKALI KAU JADI TEMAN!!"

Wanita itu mengelus dadanya pelan. Ia sedikit terkejut dengan teriakan sahabatnya.

"Hei hei, aku kan bilang jika yang menelfonku ini bukan dirimu, aku akan menyumpahinya. Nah karena ini dirimu, sahabatku yang paling menawan diseluruh dunia dan tak ada tandingannya. Aku tidak jadi mengumpat."

"Cih, alasan"

Wanita itu meletakan pensilnya. Ia melipat kedua tangannya diatas meja dan mengalihkan perhatiannya sepenuhnya ke ponsel.

"Uuuhh sayangku, jangan ngambek dong. Aku tidak lagi di sana untuk bisa membelikan ice cream kesukaanmu saat kau sedang merajuk seperti ini."

"Kalau begitu kembali kesini dan belikan aku ice cream kesukaanku."

Wanit itu tersenyum.

"Aku pasti akan kembali. Tapi tidak dalam waktu dekat ini. Ada project yang harus kuselesaikan bulan ini. Mungkin bulan depan aku akan pulang."

"Lama sekali. Tinggalkam saja projectmu, atau berikan saja pada pekerjamu. Lalu kau bisa pulang bulan ini."

Wanita itu kembali melakukan tugasnya. Ahh sahabatnya ini, segitu rindukah ia sampai menyuruh dia untuk meninggalkan project besar ini.

"Tidak bisa sayangku. Ini adalah project besar. Mana mungkin aku melepas tanggung jawabku. Lagian sudah setengah jalan. Tak mungkin bukan aku harus membatalkannya tiba-tiba."

"Tapi aku ingin kau pulang bulan ini. Aku tak mau tau dan tak menerima alasan apapun. Pokoknya kau harus pulang bulan ini. Titik."

Ahhh jika sudah seperti ini, sahabatnya itu akan sangat susah untuk dibujuk.

"Memangnya ada apa? Kenapa kau sangat memaksaku untuk pulang bulan ini?"

"Tentu saja kau harus pulang bulan ini. Karena aku akan menikah dan aku ingin kau mendampingiku di acara pernikahanku nanti."

"Oooh kau akan menikah." wanita itu diam sebentar. Ia mencerna kembali kata-katanya. Setelahnya ia baru menyadari maksud dari kata-katanya

"KAU AKAN MENIKAH?! KAPAN?! DENGAN SIAPA?! KENAPA TAK MEMBERITAHUKU?!"

Saking syoknya, wanita itu sampai berdiri dari duduknya.

"Tenang sahabat. Tak usah memakai tenaga dalam bicaranya. Tarik nafas lalu buang. Lakukan itu 3 kali. Relax babe"

"BAGAIMANA AKU BISA TENANG?! KAU AKAN MENIKAH TAPI AKU TIDAK TAHU SAMA SEKALI!!"

"Kata siapa kau tidak tau? Kan sudah kuberitahu tadi."

"Aku benar-benar ingin menyumpahimu sekarang"

"kkkk. Baiklah maafkan aku tuan putri Renata. Aku tidak bermaksud untuk membuatmu terkejut. Tapi memang, aku baru bisa menghubungimu sekarang. Salah siapa mengganti nomor seenaknya. Aku jadi harus mencari tahu nomor barumu lebih dulu kan."

"Baiklah, maafkan aku. Aku juga salah tak lansung menghubungimu saat mengganti nomor baru."

"Permintaan maaf di terima. Jadi Ren, bisa kan kau pulan bulan ini? Akhir bulan ini adalah pernikahanku dan aku ingin ada kau di hari bahagia ku."

Renata kembali duduk dan menenangkan diriya.

"Akan aku usahakan. Tau begini aku tak akan mengambil project ini."

"Benar ya, Kau harus datang. Aku tak mau tau"

"Iya princess, untukmu akan kulakukan sebisaku."

"Aahh aku jadi semakin mencintaimu"

"Dan aku juga membencimu"

Yah, seperti itulah mereka berdua. Untuk sahabatnya, Renata akan melakukan apapun yang terbaik. Karena Rossalia adalah sahabat yang sudah ia anggap sebagai adiknya sendiri.

Dan juga, ia harus lembur hari ini agar ia bisa cepat pulang dan hadir dalam acara pernikahan sahabatnya itu.

avataravatar
Next chapter