2 Rossalia - Grisellia

Rossa menikmati sore harinya di taman belakang rumahnya. Ditemani teh melati, Rossa memandang taman bunga miliknya dengan cerah. Suasana hatinya hari ini sangat baik. Ia memejamkan mata dan menikmati suasana sore yang begitu nyaman ini.

"Menikamti soremu?"

Seorang laki-laki paruh baya menghampiri Rossa dan duduk di sebelah Rossa. Laki-laki itu terlihat tampan meskipun kerutan-kerutan diwajahnya tampak jelas, menandakan bahwa laki-laki itu sudah menua. Tetapi, penuaan itu tidak bisa menghilangkan ketampanan laki-laki itu.

"Yahh, seperti yang ayah lihat. Suasana sore hari ini sangat nyaman, sangat disayangkan jika aku melewatkan suasana ini."

Laki-laki itu memandang Rossa sambil tersenyum tenang. Anaknya kini telah menjadi wanita dewasa dan anggun. Sebentar lagi anaknya itu akan menikah dan meninggalkan rumah ini. Waktu berlalu begitu cepat, ia merasa seperti baru kemarin dirinya itu menggendong Rossa yang selalu menangis tersedu sambil mengadu padanya. Rasanya baru kemarin ia mendongengkan cerita pengantar tidur untuk Rossa. Tak terasa, ia akan segera menggandeng tangan anaknya itu untuk ia serahkan kepada suaminya.

"Ayah masih tidak percaya. Rasanya baru kemarin ayah memegang kedua tanganmu dan mengajarimu berjalan. Kini, tanggung jawab itu akan segera diemban oleh suamimu. Dan kau akan memulai hidup baru bersama suamimu." Laki-laki itu mengambil tangan Rosa dan mengusapnya sayang. "Ayah sangat senang jika kau bahagia. Kau adalah putri ayah satu-satunya. Apapun akan ayah lakukan untuk kebahagiaanmu. Jika nanti, suamimu berlaku kasar padamu atau bahkan membuat putri ayah ini menangis, ayah akan menghancurkan suamimu dan mengambilmu kembali ke pelukan ayah."

Rosa membalas genggaman tangan ayahnya itu, ia ternyesum ke ayahnya.

"Ayah tak perlu khawatir. Aku berjanji kepada ayah, bahwa aku akan selalu bahagia. Jangan pernah berfikir bahwa Rossa akan meniggalkan ayah. Tidak, meskipun Rossa akan menjadi istri orang nanti, Rossa tetaplah putri ayah. Tidak akan ada yang mengambil Rossa, karena Rossa hanya milik ayah."

Laki-laki itu membawa anaknya ke dalam pelukannya. Ia mengelus rambut Rossa sayang. Matanya berkaca-kaca. Ia sekuat mungkin untuk menahan tangisnya. Anak yang ia besarkan bersama mendiang istrinya, kini menjadi anak yang dewasa dan membanggakan dirinya. Tak pernah sekali pun Rossa mengecewakan dirinya. Karena itu, ia merasa berat untuk melepas Rossa di hari pernikahannya nanti.

"Ayah jangan menangis, ibu akan menertawakan ayah diatas sana." Laki-laki itu tergelak dan terkekeh mendengar penuturan anaknya.

"Dari mana kau tau jika ibu akan menertawakan ayah?"

"Tentu saja aku tau. Bahkan saat dulu bersama kita pun ibu selalu menertawakan ayah."

"Dan kau juga akan ikut menertawakan ayah." Keduanya kemudian tertawa bersama. Mereka tetap berada pada posisi itu sampai suara seseorang mengalihkan perhatian mereka berdua.

"Sepertinya aku melewatkan sesuatu."

Seorang pria tampan menghampiri keduanya. Rossa melepaskan pelukan ayahnya dan beralih memeluk tunangannya itu. Ya, pria yang baru saja datang itu adalah tunangan dari Rossa. Laki-laki yang tak lama lagi akan menyandang gelar suami dari Rossalia.

"Lihat, melihat kau datang dia lansung mencampakkan pak tua ini dan lansung berlari kearahmu." Ujar sang ayah.

Pria itu tertawa menanggapi calon mertuanya itu. Pria itu balas memeluk Rossalia dari samping.

"Ada apa kesini?" Rossa mengabaikan ayahnya dan memilih untuk bertanya maksud kedatangan tunangannya itu.

"Kau lupa sayang? Kita harus mencari cincin untuk pernikahan kita nanti. Kau masih ingin dipasangkan cincin olehku, kan?"

"Oh haruskah? Kita tidak pakai cincin yang kau gunakan untuk melamarku? Kupikir kita akan memakai cincin itu."

"Tidak sayang, kita harus membeli cincin baru untuk pernikahan kita. cincin yang kugunakan untuk melamarmu, kau simpan saja."

"Aaahh begitu, baiklah. Aku akan bersiap dulu, kau tunggulah disini dan temani ayah."

"Yaa, sebaiknya kau harus cepat. Sebentar lagi akan malam. Aku tak bisa mengembalikanmu kesini lebih dari jam 8 malam. Bisa-bisa kita batal menikah nanti."

Mendengar perkataan calon menantunya itu, ayah Rossalia berdehem sekali untuk menyadarkan mereka berdua.

"Jika kita batal menikah, aku akan membawamu kabur sejauh mungkin dan kita akan menikah ditempat pelarian kita."

Setelah mengatakan itu, Rossalia berlari masuk kedalam rumahnya menghindari kekesalan ayahnya. Sedangkan tunangannya itu tertawa keras mendengar perkataan Rossalia.

"Dasar anak licik. Tau begitu, aku tak akan menikahkannya." Kata sang ayah.

"Kalau begitu ayah sudah terlambat. Karena aku pun berfikiran sama seperti Rossa." Kata pria itu.

"Dasar anak muda." Laki-laki itu menggelengkan kepalanya dan tersenyum kecil.

*

*

*

Rossa dan tunangannya itu kini tengah berada disalah satu toko perhiasan yang ada di mall terbesar di Jakarta. Rossa dan tunangannya itu tengah sibuk memilih-milih cincin pasangan yang cocok untuk mereka.

"Kau ingin yang seperti apa?" Tanya tunangannya itu.

"Yang sederhana saja. Tak perlu yang mewah-mewah, yang terpenting cincinnya terlihat cantik di jari manis ku." Jawab Rossa

Sang tunangan memilihkan beberapa cincin couple dan membiarkan Rossa untuk memilih dari ketiga cincin couple yang ada di hadapan mereka. Rossa melihat ketiga cincin couple itu. Cincin yang pertama sesuai dengan kriterianya. Hanya saja, cincin itu terlalu polos. Cincin kedua terlihat elegan di mata Rossa. Cincin itu hanya mempunyai satu permata untuk masing-masing cincin, namun Rossa tidak terlalu suka dengan desain cincinnya. Sedangkan cincin yang ketiga desainnya begitu indah dimata Rossa. Dengan desain seperti spiral dan hiasan bunga mekar serta kuncup di masing-masing ujung cincin. Rossa menyukai cincin itu.

Sang tunangan tersenyum melihat Rossa yang begitu berbinar melihat cincin spiral itu.

"Kau ingin cincin ini?" Tanya sang tunangan

"Ingin sekali. Tetapi ini tidak cocok untuk dijadikan cincin pernikahan. Jadi aku pilih cincin yang kedua saja. Tidak buruk, cincin yang ini terlihat elegan."

Sang tunangan mengangguk membenarkan ucapan Rossa. Lalu ia menyuruh sang pramuniaga untuk membungkus cincin yang dipilih Rossa. Tak lupa ia juga meminta sang penjual untuk membungkus cincin yang satunya. Rossa yang melihat seorang pelayan membawa dua cincin pasangan berkerut bingung.

"Kenapa kita membeli dua?" Tanya Rossa.

"Satu untuk pernikahan kita, dan yang satunya untuk dirimu. Kau begitu menginginkan cincin spiral itu. Jadi aku hanya membeli yang hanya untuk dirimu saja." Kata tunangannya itu.

Rossa tersenyum manis kearah tunangannya itu. "Terima kasih banyak"

Tunangannya itu mencubit hidung Rossa gemas. Mereka berbagi senyum satu sama lain. Mata Rossa tak sengaja menangkap sebuah gelang yang sangat cantik. Gelang rantai silver dengan gantungan seekor angsa kecil berwarna hitam. Rossa mendekati gelang itu dan tersenyum melihatnya.

"Permisi, aku ingin membeli gelang ini juga." Kata Rossa pada salah satu pelayan.

"Tentu nona." Jawab Pelayan itu.

Pelayan itu mengeluarkan gelang itu dari dalam etalase. Sang tunangan menghampiri Rossa dan melihat gelang yang ingin dibeli Rossa.

"Kau ingin membeli ini juga?" Tanya sang tunangan.

"Hmmm, aku ingin membelinya."

"Kalau beli belilah. Sekalian jadikan satu dengan cincin kita."

"Tidak tidak, aku akan membayar sendiri untuk yang ini."

"Terserah kau saja kalau begitu."

"Tolong bungkus gelang ini secantik mungkin. Ah! Apakah kalian melayani jasa pengiriman ke luar negeri?" Tanya Rossa

"Tentu nona," jawab pelayan itu.

"Kalau begitu tolong kirim gelang ini ke alamat ini," Rossa menyodorkan sebuah kertas berisikan alamat rumah. "Dan juga, kirim gelang ini untuk minggu depan."

"Baik nona."

Setelahnya pelayan itu membawa gelan terebut beserta alamat yang diberikan oleh Rossa. Melihat Rossa yang menyodorkan sebuah alamat kepada pelayan tadi, tunangannya itu menatap bingung kearah Rossa.

"Untuk siapa gelang itu? Bukan untukmu?"

Rossa menoleh kearah tunangannya itu, "Untuk temanku, Renata. Dia tinggal di Jepang sekarang. Kebetulan bulan ini dia menggelar Fashion Show ke-duanya. Jadi aku mengirimkan gelang ini sebagai hadiah."

"Renata?"

"Hm, sahabatku, Renata. Kau tidak ingat padanya? Kita dulu pernah berada di kelas yang sama waktu SMA?"

laki-laki itu mengerutkan keningnya. ia berusaha mengingat-ngingat sosok Renata yang tunangannya maksudkan itu. tak lama setelahnya, laki-laki itu mengingat sosok Renata sahabat kecil tunangannya.

"Aahh, Renata! Yah aku mengingatnya. Kupikir Renata yang mana."

"Memangnya siapa lagi sahabatku yang bernama Renata kalau bukan dia."

Tunangannya itu tersenyum sekilas. "Aku lupa, kau hanya memiliki satu sahabat yang selalu kau sayangi. Kalau begitu, aku akan membayar pesanan kita dulu, setelah itu aku akan mengantarmu pulang."

"Hmm, aku akan menunggumu diluar."

---

Siang itu, Valeria duduk sendiri di dalam kelas. Ia ingin menghabiskan waktu istirahat pertama di kelas. Sebenarnya ia ingin sekali makan siang di kantin, namun karena ia tidak tau dimana kantin berada dan juga tidak ada seseorang yang mau mengajaknya, Valeria putuskan untuk berdiam diri di dalam kelas saja. Valeria melihat hamparan langit biru yang begitu luas diluar sana melalui jendela kelas. Siang ini sangat terik, pasti sangat menyenangkan menghabiskan waktu istirahat sambil bermain dengan teman-teman. Valeria menghela nafas, ia sadar diri bahwa ia tak punya teman sekarang. Sepertinya harapannya untuk memiliki teman di hari pertamanya harus pupus.

"Tidak ke kantin?"

Valeria terkejut mendengar suara seseorag yang ia reflex menoleh kearah seseorang yang posisinya begitu dekat dengannya sekarang. Ia melihat perempuan berkacamata bulat itu duduk di bagnku sebelahnya sambil tersenyum kearahnya.

"Ah maaf, apa aku mengagetkanmu?" Tanya siswi itu sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal.

"Ah… yaaa sedikit." Jawab Valeria.

Keduanya kemudian terdiam. Situasi menjadi canggung seketika. Valeria tak tau harus berbicara apa, karena ia sendiri tak tau bagaimana memulai percakapan dengan orang lain. sedangkan perempuan itu sama terdiamnya, ia juga bingung harus berbicara apalagi dengan Valeria. Tapi, ketika mengingat tujuannya, perempuan itu mulai berbicara kembali dengan Valeria.

"Mmm kau tidak ke kantin?" Tanya perempuan itu.

"Tidak, aku… aku tidak tau dimana letak kantin." Jawab Valeria.

Perempuan itu tersenyum sekilas kepada Valeria. "Mau ke kantin bersama ku? Kita makan siang bersama, dan juga maukah kau berteman denganku?"

Valeria sedikit terkejut dengan ajakan gadis itu. Ia menatap gadis itu lama menyelamai bola mata gadis itu. Ia merasakan dadanya berdetak kencang. Baru kali ini, ada seseorang yang mengajaknya berteman. Tak bisa ia pungkiri, Valeria sangat senang.

Valeria tersenyum kearah gadis itu. "Tentu"

Gadis itu membalas senyuman Valeria, lalu ia menjulurkan tangannya untuk berjabat tangan.

"Namaku Grisellia. Kau bisa memanggilku Sella. Mulai hari ini kita berteman, oke"

Valeria menerima uluran tangan gadis itu. "Valeria, panggil aku Val saja."

Setelahnya Sella menarik lengan teman barunya itu dan membawa Val keluar dari kelas. "Kau ingin makan apa Val? Di kantin banyak sekali pilihan makannnya, tapi sayang tidak ada makanan junk food kesukaanku. Kau mau mie goreng? Nasi goreng? Atau bakso?"

Val tersenyum melihat Sella. "Ternyata kau cerewet ya. Kupikir kau anak yang pendiam."

"Eyy, apa image polosku telah menipu dirimu? Jangan terkejut nanti jika aku bisa lebih cerewet dari ini." Sella merangkul lengan Val dan berjalan bersama ke kantin.

"Baiklah, kalau begitu aku harus menyiapkan diriku untuk itu." Kata Valeria. Mendengar perkataan Val, Sella jadi bingung. "Kenapa kau harus menyiapkan diri?"

Valeria mengangkat bahunya acuh "Jaga-jaga saja. Siapa tau aku bisa menyumpal mulut cerewetmu dengan bakso yang akan kubeli, karena terlalu jengah dengan ocehanmu."

Sella menghentikan langkahnya dan menghadap kearah Val. "Wahhh, tak kusangka kau begitu menyebalkan. Kupikir kau anak yang pendiam juga."

"Kalau begitu kita sama-sama tertipu dengan kesan pertama kita."

"Benar!!"

Selanjutnya mereka menertawakan kebodohan mereka. Sella kembali menyeret Val untuk melanjutkan jalan mereka. Tak lupa di sepanjang jalan menuju kantin, Sella memberitahu ruangan-ruangan yang ada di sekolahnya itu.

Tanpa mereka ketahui, seorang laki-laki menatap mereka berdua dari arah lapangan outdoor sekolah. Laki-laki itu memegang bola basket di tangannya, matanya tak henti memperhatikan kedua gadis yang kini berjalan bersama itu. Hingga kedua gadis yang ia perhatikan itu menghilang di ujung belokan menuju kantin, laki-laki itu masih terus menatapi jalan yang kedua gadis itu lalui tadi.

"Natan!!! Cepat kemari!! Sampai kapan kau akan berdiri disitu? Kau ingin ikut bermain atau tidak?!" teriak murid lain memanggil laki-laki itu.

"Iya aku ikut!! Tunggu aku!"

Laki-laki itu menghampiri teman-temannya untuk bermain basket bersama. Tanpa orang-orang ketahui, laki-laki itu mengukir senyum di bibirnya ketika melihat salah satu dari gadis yang ia perhatikan tadi.

avataravatar
Next chapter