webnovel

Bab Satu

Angeline Taranka. Atau yang lebih akrab disapa Tara melangkahkan kakinya untuk masuk ke sebuah club ternama di Yogyakarta bersama kedua temannya. Livia dan Clarabel. Ini kali pertama Tara menginjakkan kakinya di club ini. Biasanya, Tara sering pergi ke club di tempat lain bersama dengan Livia dan Clarabel.

Tara menghampiri meja bar bersama kedua temannya, duduk bersampingan dan memesan whisky pada sang bartender. Alunan musik yang menggema dengan keras membuat lautan manusia yang berada di bawah lantai dansa makin menggoyangkan tubuhnya dengan semangat. Tara menoleh. Melihat kedua temannya yang sudah memegang gelas sloki masing-masing. Begitu pun dengannya.

"Hari ini, mari kita nikmatin kebebasan kita sebelum tugas di esok hari yang bikin pusing." Livia mengangkat gelasnya tinggi. Ia berkata dengan berteriak-teriak karena suasana bising akibat musik yang berdentam-dentam dengan keras.

Clarabel terkekeh. Begitu pun dengan Tara yang terkekeh pelan. Tak lama mereka ikut mengangkat gelas mereka dan menyatukannya. "Cheers!"

"Lo nggak nambah Tar?" tanya Livia. Gelas sloki perempuan itu baru saja diisi lagi oleh sang bartender.

Tara menggeleng. Sedangkan kedua temannya sudah berdecak sebal. "Nggak seru lo, Tar."

Tara hanya mengangkat kedua bahunya tak acuh. Bahkan dua tegukan gelas sloki berisi whisky sudah habis ditenggak oleh Livia dan Clarabel. Sedangkan Tara tak berniat sedikit pun untuk menambah whisky ke dalam gelas slokinya.

Tara memang tidak mempunyai kadar toleransi yang tinggi pada alkohol. Tapi tidak juga lemah. Biasanya, Tara bisa mabuk dengan mudah hanya dengan empat sampai lima gelas gelas sloki alkohol dengan kadar alkohol yang mencakup 40-45%. Berbeda dengan Livia dan Clarabel, kedua temannya itu bisa minum tujuh sampai sepuluh gelas sloki atau bisa lebih.

Lagipula, Tara tidak ingin mabuk. Tara hanya akan meminum banyak alkohol ketika ia banyak pikiran atau ketika ia tengah dirundung masalah.

"Sorry, Mas. Bisa singkirin tangan lo?"

Tara menoleh. Ia melihat Clarabel yang tengah berusaha menjauhkan tangan seorang cowok dengan hidung dan telinga bertindik dengan jaket kulit hitam yang duduk di samping Clarabel.

Cowok itu terlihat tidak peduli dengan protesan Clarabel. Malah ia makin gencar melancarkan aksinya. Wajahnya mendekat pada Clarabel. Walau keadaan begitu bising oleh hingar bingar alunan musik yang dimainkan oleh disk jockey. Tapi samar Tara dapat mendengar teriakan cowok itu, "nggak usah munafik, manis. Lo nggak usah khawatir. Gue bakal bayar lo mahal."

Clarabel kian geram. Ia tahu banyak lelaki mesum di tempat seperti ini. Tapi Clarabel bukan bitch yang bisa disentuh sembarangan, bahkan direndahkan. Clarabel memang sudah sering pergi ke club bahkan sejak ia kelas satu SMA. Tapi baru kali ini ada lelaki yang sampai kurang ajar padanya.

Memang tak jarang para lelaki di beberapa club yang Clarabel datangi tertarik padanya. Tapi tidak akan sampai menyentuhnya kalau ia tidak mau. Bahkan lelaki yang ada di sampingnya ini telah merendahkannya!

Dengan kasar Clarabel tepis tangan cowok itu yang tengah meremas pinggangnya. Tapi tentu saja tenaga cowok itu tidak sebanding dengannya. Sehingga baru menjauh sedikit, tangan cowok itu bisa kembali bertengger manis di pinggangnya.

"Lepas! Gue bukan jalang!"

Bukannya menyingkir, cowok itu malah menyeringai. Penolakan Clarabel malah membuat cowok itu kian tertarik padanya. "Lo kalo marah malah bikin gue tambah pengin nerkam lo di sini, manis."

Cowok itu kian meremas pinggang Clarabel dam menarik tubuh Clarabel agar makin merapat padanya. Tapi itu hanya berlangsung selama beberapa detik saja. Karena yang terjadi setelahnya mampu membuat Livia, Clarabel, bahkan sang bartender dan beberapa pasang mata yang melihat tersentak.

Tara sudah berdiri di belakang cowok itu sembari terus menekan tangan kiri cowok itu yang dipelintirnya begitu kuat. Sedangkan Tangan kanan Tara menekan kepala cowok itu di meja bar sama kuatnya—sempat membanting kepala cowok itu dengan sadis ke atas meja—membuat cowok itu meringis kesakitan.

Livia dan Clarabel pun sudah berdiri dari tempatnya, menjauh dari Tara dan cowok itu. Livia, sang bartender, bahkan beberapa pasang mata yang melihat menatap ngeri pada Tara dan cowok itu.

"Dia udah bilang nggak mau!" Teriak Tara, tajam bersamaan dengan ia yang menarik tubuh cowok itu dengan keras yang lalu mendorong cowok itu hingga terhuyung dan hampir terjungkal.

"Cari mati lo, bangsat!"

Tara segera menghindar ke samping kala cowok itu berlari untuk memukulnya sehingga membuat cowok itu kembali terhuyung. Bersamaan dengan itu, Tara segera menyikut kepala belakang cowok itu dengan amat sangat keras. Membuat cowok itu kembali terhuyung sembari memegang bagian belakang kepalanya dan meringis sakit.

Cowok itu berbalik dan menatap Tara dengan murka. Ia melayangkan tendangannya yang Tara tepis dengan cepat. Sebagai gantinya, Tara memukul telak wajah cowok itu hingga tersungkur.

Tara sudah bersiap untuk berbalik pergi, tak ingin melanjutkan perkelahiannya dengan cowok itu. Tapi cowok itu tak gentar. Amarah masih menggebu di dadanya. Makanya ia sudah bangkit dan kembali melayangkan pukulan dan tendangan secara bertubi-tubi yang dengan sigap Tara tepis dengan cepat bersamaan dengan ia yang terus memundurkan langkahnya.

Tara tersudutkan. Makanya ketika ada celah, segera ia membalas balik, menyikut wajah cowok itu dengan amat sangat keras hingga mundur ke belakang. Setelahnya, dengan secepat kilat Tara menarik ke bawah kedua kepala cowok itu dengan kedua tangan yang lalu menghantamkan lututnya ke wajah cowok itu.

Cowok itu terhuyung mundur. Hidungnya sudah mengeluarkan darah. Sementara itu ia masih menatap nyalang pada Tara. Maka, dengan secepat kilat ia balas memukul Tara.

Tara lengah. Ia ingin menyudahi perkelahian ini ketika serangan yang tadi ia beri kepada cowok itu. Ia kira, cowok itu akan berhenti tapi ternyata tidak. Makanya sekarang lebam telah menghias wajahnya.

Pukulan cowok itu sangat menyakitkan. Tapi dengan secepat kilat Tara bisa mematahkan serangan yang dilancarkan oleh cowok itu lagi. Dan reflek, Tara menendang perut cowok itu yang membuat cowok itu terhuyung mundur yang setelahnya kembali menendang cowok itu. Tapi kali ini Tara menendang kepala cowok itu dengan gerakan memutar ke samping membuat cowok itu seketika terbaring seraya meringis sakit.

Kali ini semua pasang mata sudah menatap mereka. Bahkan tak sedikit yang terkejut. Bahkan sampai sang Disk Jockey pun sudah berhenti memainkan musiknya hingga kini keadaan club begitu sunyi. Serta, banyak orang dengan penampilan yang hampir sama dengan cowok itu sudah ada di beberapa langkah dekat cowok itu. Mereka menatap garang pada Tara.

Beberapa dari mereka yang berpenampilan sama dengan cowok itu segera membantunya bangkit. Tara hanya mengamatinya saja. Tara baru sadar bahwa ternyata di belakang jaket kulit hitam yang cowok itu dan kawanannya pakai terdapat lambang tengkorak api yang tengah marah. Imperium. Itu tulisan yang ada di belakang jaket itu. Apa mungkin itu semacam nama suatu komunitas? Atau ... nama geng motor?

Salah seorang di antara mereka—dengan berperawakan tinggi—melangkah maju pada Tara. Ia mengamati Tara dari atas hingga bawah. Tara memakai sweater kaos hoodie berwarna hitam polos dengan celana jins sobek. Rambutnya yang pendek sebatas telinga, serta poni panjang belah tengah yang panjangnya hampir mencapai dagu. Sekilas Tara bisa dibilang begitu mainly jika dilihat dari sifat tomboy cewek itu.

"Kenapa lo nyerang anak buah gue?" tanyanya dengan raut datar. Tapi nada bicaranya begitu dalam, tegas dan begitu menakutkan dalam waktu bersamaan.

Dia adalah Athalla Ray Adelard. Sang ketua Imperium yang terkenal begitu beringas, brutal, kejam, tak tahu aturan dan juga berbahaya.

"Dia bersikap kurang ajar sama teman gue," kata Tara tenang. Rautnya tanpa ekspresi.

Thalla terkekeh pelan. Matanya menatap sinis pada Tara dan Clarabel yang tak jauh di belakang Tara. "Lo lupa ini tempat apa?" Thalla lalu memberi tatapan mencemoohnya pada Tara juga Clarabel. "Ini club malam. Jadi nggak ada yang salah dari anak buah gue."

"Nggak salah kalau seandainya anak buah lo itu nggak maksa," balas Tara. "Tapi kenyataannya, teman gue itu udah nolak. Dan anak buah lo itu justru semakin kurang ajar dan ngerendahin teman gue karena penolakan teman gue."

Tara memandang sekilas pada cowok kurang ajar yang tak jauh di belakang Thalla sebelum menatap Thalla dengan sebelah alis terangkat. Tara sempat mendengar nama cowok itu adalah Alden. "Apa anak buah lo itu segitu nggak lakunya sampai dia harus maksa gitu? Atau ... apa emang reputasi geng lo yang begitu buruk sampai jalang pun nggak sudi ngelayanin kalian?"

Thalla mengepalkan tangannya dengan kuat kala ucapan penuh nada yang meremehkan Tara pada gengnya. "Jaga ucapan lo," desis Thalla dengan nada rendah yang lebih berkali-kali menakutkan dari sebelumnya. Seolah suara Thalla siap untuk menyuruhnya membunuh Tara sekarang juga.

"Nggak ada yang salah dari ucapan gue. Karena itu emang faktanya." Thalla kian mengepalkan tangannya dengan kuat sampai kuku jarinya menembus kulit, bahkan kini sudah mengeluarkan darah.

"Gue rasa, setelah ini gue sama lo, terlebih sama anak buah lo itu nggak perlu lagi ada urusan setelah ini."

Lalu setelahnya Tara berbalik hendak menghampiri Livia dan Clarabel yang entah mengapa kini mematung, seolah kehilangan jiwa. Tapi sebelum ia melangkah, suara dalam Thalla yang kali ini mampu membuat semua orang merinding terdengar lagi.

"Mungkin kali ini bisa lolos," Thalla memberi jeda, "tapi lain kali kalo kita ketemu, lo bakalan habis."

Tara melangkah tak peduli. Ia segera menghampiri kedua temannya yang sudah gemetar ketakutan. Dan tanpa basa-basi, Tara segera menarik kedua temannya itu untuk pergi dari sana.

Sementara itu Thalla menatap kepergian Tara dengan tangan yang masih terkepal erat. Ia berjanji akan membunuh Tara ketika ia bertemu dengannya nanti. Kalau perlu, dengan cara yang paling sadis.

Sedari tadi, rasanya ia ingin memukul Tara dan membunuhnya ketika melihat Tara berkelahi dengan anak buahnya. Bahkan mungkin anggota Imperium yang lain pun juga begitu.

Tapi aturan dalam gengnya yang membuat ia dan para anggota Imperium lainnya tak bisa melaksanakannya. Dilarang main keroyokan. Membiarkan musuh pergi ketika kalah.

Darah kian merembes jatuh dari kepalan tangan Thalla yang kian menguat. Tapi Thalla seolah tak merasa apa pun selain amarahnya yang menggebu pada Tara yang sudah pergi dari club.

Kali ini, Thalla lebih marah dibanding ketika ia berhadapan dengan musuh-musuhnya. Perempuan. Itu yang paling dibencinya. Apalagi makhluk yang paling dibenci dan sangat ingin dimusnahkannya itu yang baru saja meremehkannya dan juga gengnya. Tara sama saja merendahkan diri Thalla sendiri.

Thalla berjanji akan menemukan Tara di manapun dan akan membunuh Tara saat itu juga.

***

Have some idea about my story? Comment it and let me know.

park_rancreators' thoughts