1 Kambuh!

"HAAACHII! HAAACHIIIH!!"

"Hadeh ... tunggu sini, Van. Aku beli obat dulu. Udah tau punya alergi, pake acara lupa bawa obat segala!"

Evan sama sekali tidak menanggapi ocehan dari Angga. Dia malah mengibas-ngibaskan tangan layaknya orang sedang mengusir lalat. Jika memungkinkan, ingin rasanya memaki Angga yang sedari tadi hanya bisa mengomel saja. Namun jangankan berbicara; karena bahkan hanya untuk berusaha bangkit dari duduknya saja, Evan sudah tak memiliki daya sama sekali.

Angga berdecak kesal, lalu dengan setengah berlari meninggalkan Evan untuk mencari apotek terdekat. Maklum saja, mereka adalah merupakan pendatang yang baru pertama kali ini menginjakkan kaki di daerah tersebut.

'SIAL!'

Evan mengumpat dalam hati, saat bersin-bersin yang dialaminya tak juga kunjung mereda. Dan bukan hanya itu saja, sebab rasa kurang nyaman yang kini mulai menjalar ke seluruh tubuh, dengan seketika saja telah membuat matanya mulai berair sebagai akibat terus menerus bersin.

'ANGGA SIALAN!'

Kembali Evan mengumpat dalam hati, sambil menutup hidung serta mulutnya yang tak mau berhenti melampiaskan hasrat berhembusnya sensasi gatal. Dan kinipun, akhirnya dia jadi benar-benar menyesali keputusannya. Yakni, ketika mengiyakan ajakan Angga untuk pergi mencari rumah makan yang menyediakan sajian khas dari daerah tersebut.

Andai saja Evan tak menuruti ide bodoh yang tercetus dari sahabatnya itu. Mungkin, dia tidak akan bertabrakan dengan seseorang yang sedang membawa satu bouquet bunga berukuran besar, sehingga menyebabkan alerginya menjadi kambuh!

Saat itu, mendadaklah Evan jadi terus menerus bersin. Hingga kegiatannya yang janggal telah mengundang perhatian Lia. Di mana, gadis tersebut baru saja memarkirkan motornya di depan salah satu florist yang ada di komplek pertokoan yang ada di sana.

"Pak, ini bunganya. Coba di cek dulu, saya tinggal sebentar ya," kata Lia sambil menyerahkan beberapa ikat bunga krisan potong kepada pemilik florist, lalu setengah berlari dia menghampiri Evan.

"Hacciihhh!! Hacciihhh!!" Entah sudah berapa kali Evan terus bersin hingga tubuhnya terasa sakit dan lelah.

---

Tanpa berkata apapun, Lia langsung berlutut di samping Evan dan mengeluarkan sapu tangan dari dalam tasnya. Dengan sepenuh lembut, dia menyelipkan benda itu di tangan Evan sehingga bisa langsung dipakai untuk menutup hidung yang terus menerus bersin.

Bersamaan dengan itu, Angga telah kembali setelah membeli obat alergi di apotek yang ada di seputaran mereka. Dia juga langsung berlutut di dekat Evan. Sejenak, Angga menoleh ke arah Lia yang juga kini menatapnya. Seketika dia tahu, bahwa Lia lah yang sudah memberi sapu tangan kepada Evan dan menemani sahabatnya selama dirinya membeli obat.

"Thanks," ucap Angga singkat sambil tersenyum.

Namun belum juga Angga kembali berbicara, dering telpon milik Lia berbunyi. Dia hanya mengangguk, lalu memberi isyarat kepada si pemuda untuk pergi. Tanpa menunggu tanggapan dari Angga, setengah berlari Lia kembali ke florist untuk mengambil uang hasil penjualan bunga potongnya tadi.

"Maaf jadi nunggu ya, Pak."

"Nggak papa, Mbak. Kirain Mbak Lia lupa, makanya saya telpon. Selain itu, habis ini saya juga mau pergi."

"Hehe, iya Pak. Makasih ya."

"Sama-sama, Mbak Lia. Habis dari mana?"

"Itu, kesana sebentar. Ada yang alergi serbuk bunga sepertinya. Bersin-bersin terus, Pak."

"Ohhh ... udah tahu alergi, kenapa nggak pakai masker kalo kesini?" sahut si Bapak sambil menggelengkan kepala merasa heran.

Lia hanya tersenyum sambil mengedikkan bahu, lalu memutuskan untuk pamit karena harus mengantar pesanan bunga potong kepada florist yang lain.

***

"Langsung pulang!" ucap Evan dengan nada kesal, masih sambil menutup hidunganya dengan sapu tangan.

"Yah, kan belum makan, Van!" protes Angga tak terima.

"Bodo amat!"

"Ih tega banget. Aku laper," rengek Angga yang seketika membuat Evan merasa mual.

"Ya sudah, tepikan mobilnya."

Angga menurut saja dengan apa yang diperintahkan Evan. Dalam hati, dia sudah sangat senang karena sebentar lagi akan makan karena perutnya sudah keroncongan. Namun, agaknya ekspektasi Angga harus musnah, saat dengan garangnya Evan memintanya keluar dari mobil.

"Gue udah baikan dan bisa stir sendiri. Kalo lo mau makan, silakan turun dan makan sendiri." Dingin sangat dingin Evan berkata demikian yang seketika saja membuat bulu roma Angga meremang.

Dia sudah tahu; jika Evan sampai mengubah dialek menjadi Gue dan Lo, itu berarti jika sahabatnya sudah merasa benar-benar marah.

"Eh, ya nggak gitu juga, Van. Kita makan bareng." Angga masih mencoba berkilah dan membujuk Evan meskipun dia tahu bahwa usahanya akan sia-sia saja.

"Turun sekarang." Demikian ucap Evan sambil menunjuk ke arah pintu sebagai isyarat untuk meminta Angga keluar dari mobil saat itu juga.

"Evan ..."

"Turun dan renungin kesalahan lo hari ini. Cepet!" bentak Evan emosi yang seketika membuat Angga meloncak karena terkejut.

"Pak Stevan Harshil, tapi please ... saya ..." Angga merubah kalimatnya menjadi jauh lebih sopan yang semakin membuat Evan merasa jijik.

"Satu ..." tanpa memperdulikan rengekan sang sahabat, Evan mulai menghitung agar Angga segera keluar dari mobilnya.

"Van ... tega lo ya, jangan gitu ..."

"Dua ... buruan, Angga! Kalo nggak, gue pecat lo sekarang!"

"Ta ... tapi ..."

"Ti ..."

"Anjir lo ya, Van. Tega lo! Iya-iya, gue turun sekarang juga. Lagian, kenapa juga lo mau gue ajakin nyari makanan khas daerah sini. Kalo nggak mau kan tinggal bilang," sewot Angga berkata demikian sambil mendorong pintu mobil untuk keluar.

"Udah salah, masih aja ngeles kayak bajay. Buruan keluar! Lama-lama hipertensi juga, gue ngadepin lo!"

Sambil masih menutup hidungnya yang masih terasa gatal, Evan mendorong Angga agar segera keluar dari mobilnya.

"Van ... jangan gini dong." Angga malah kembali merengek saat Evan hendak menutup pintu mobil.

"Bodo amat! Gue nggak ngurusin temen sialan kaya lo! Sana, cari makan sendiri!"

Blam!!!

Pintu mobil tertutup dengan rapat. Bergegas Evan berpindah ke kursi driver. Lalu tanpa memperdulikan teriakan Angga dari luar, dia kembali melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi.

"Ya Tuhan, dosa apa saya sampai harus punya sahabat gila seperti Angga," gumam Evan lirih sambil mengusap dadanya sendiri.

Evan terus melajukan mobilnya menuju rumah yang menjadi tempat singgah selama beberapa waktu di daerah itu. Dia sama sekali sudah tidak tahan dan ingin segera sampai. Alergi akibat serbuk bunga memang telah membuatnya benar-benar menjadi tak enak badan. Sebab itulah, ia ingin segera sampai agar bisa membaringkan tubuhnya yang terasa tak nyaman.

***

Dddrrrttt ... drrrrtttt ...

Getar ponsel yang terasa dari dalam sakunya, membuat Angga memutuskan untuk berhenti sejenak untuk memeriksa siapa gerangan yang menelpon. Dia berharap bahwa Evanlah yang menelpon dan dengan baiknya akan menjemput dirinya untuk kembali pulang.

Angan yang terlalu berlebihan itu seketika kembali runtuh, ketika Angga melihat nama yang muncul di layar telpon bukanlah Evan, melainkan Jhonatan—Papa dari Evan.

'Haduh mampus!'

"Ha ... halo, selamat siang Om Jhonatan," sapa Angga sedikit terbata.

"Siang, Ngga. Kalian sudah sampai?"

"Su ... sudah, Om. Kami tiba sebelum fajar tadi. Apakah ... apakah Evan belum memberitahu Om Jho?"

"Ohhh, belum." Singkat jawaban dari Jhonatan, namun terdengar nada sedih dari kalimatnya.

"Maafkan saya, Om. Seharunya, saya juga memberitahu Om Jho kalau kami sudah sampai."

"Seharusnya. Aku ingin bicara dengan Evan."

Angga mengurut keningnya ketika mendengar permintaan itu. Untuk beberapa saat, dia terdiam sambil memikirkan alasan apa yang hendak disampaikan kepada Jhonatan. Tak mungkinlah rasanya, bila Angga mengatakan apa yang belum lama terjadi diantara mereka. Bisa-bisa, dia benar-benar dipecat dan Evan harus segera pulang saat itu juga.

"Erlangga Rahagi, apa kau masih di sana?"

"Oh siap, Om. Masih!" seru Angga spontan ketika nama lengkapnya telah disebut oleh Jhonatan.

"Jadi bagaimana?"

"Apanya, Om?"

Terdengar helaan napas dari seberang telpon sebagai bentuk kesabaran yang tengah diuji.

"Stevan Harshil Hemachandra, aku ingin bicara dengannya." Jhonatan kembali mengulang perintahnya dan seketika membuat Angga kembali tersadar.

"Oh iya, siap Om. Evan ... Evan sedang berada di toilet. Kami baru saja selesai makan siang. Nanti akan saya sampaikan kepadanya kalau Om menelpon," jawab Angga dengan tempo bicara yang cukup cepat, membuat Jhonatan sempat mengerutkan kening karena merasa heran.

"Baiklah, segera ya."

"Baik, Om. Siap laksanakan!"

Panggilanpun berakhir yang menyisakan rasa frustrasi bagi Angga.

Diacaknya rambut di kepala dengan kasar, lalu kembali menatap layar ponsel untuk menghubungi Evan. Namun meski berulang kali mencoba melakukan panggilan telpon, sama sekali tidak ada jawaban sehingga membuatnya merasa sedikit khawatir.

Akhirnya, Angga memutuskan untuk tidak jadi makan siang di rumah makan khas daerah tersebut dan memilih untuk membungkusnya saja. Tentu saja ia tak hanya membeli untuk dirinya sendiri saja, tapi juga untuk Evan. Kemudian setelah menyelesaikan pembayaran, dengan tergesa ia bergegas untuk kembali pulang. Dirinya merasa khawatir dengan kondisi sang sahabat yang tak juga bisa dihubungi.

***

avataravatar
Next chapter