8 Trouble Maker

"Hai semuanya!" Sapa Raynar.

"Lho, Kak Rei. Kenapa Kakak ada di sini? Dengan Maya?" Tanya Lingga dengan ekspresi terkejutnya. Apa salahnya Raynar bersamaku? Huh!!

"Iya, aku bersamanya. Dan kebetulan yang kalian datangi ini adalah restoranku." Ucap Raynar dengan ekspresi bahagianya.

Kami pun dipersilahkan duduk di depan mereka berdua. Mengobrol dan sesekali bergurau. Tapi sedikitpun aku tak pernah tertawa dengan gurauan mereka. Aku hanya memasang senyum palsu di depan mereka.

Bagiku, candaan mereka hanyalah menghinaku apalagi perkataan Ara yang seakan-akan tidak suka denganku. Yah memang dari awal dia memang tidak suka denganku.

Tujuan awalku ikut kemari adalah karena bosan di rumah, tapi ternyata keputusanku tidaklah tepat. Di sini, aku malah seakan-akan mendapat bullying dari sepasang kekasih yang sangat amat menyebalkan itu. Walaupun Raynar selalu membelaku, tapi tetap hal itu tidak bisa menghentikan mereka.

Karena merasa tak kuat lagi, kuputuskan untuk kembali ke belakang. Atau lebih tepatnya ke toilet. Kutahan emosiku dengan membasuh wajahku dengan banyak sekali air.

Setelah itu, aku mengatakan kepada Raynar untuk pulang ke rumah dengan alasan lelah. Yah, memang batinku sangatlah lelah sekarang ini.

Aku kira bahwa aku akan pulang dengan naik taksi atau semaacamnya. Ternyata, Raynar memutuskan untuk mengantarku pulang. Aku hanya mengiyakannya saja dan pasrah.

Aku berjalan menuju parkiran restoran dengan melewati Lingga dan Ara yang memandangku hina. Kualihkan pandanganku ke arah lain agar hatiku tidak semakin sakit.

Aku dan Raynar masuk ke dalam mobilnya dan berjalan menuju rumah.

"Kau marah dengan perkataan mereka?" Pertanyaan Raynar sontak membuatku semakin marah. Namun, masih bisa aku tahan. Akhirnya aku hanya terdiam dan tidak menjawab pertanyaan Raynar.

"Jangan dimasukkan ke dalam hati. Mereka memang seperti itu." Aku hanya menganggukkan kepala dan tetap terdiam.

Sesampainya di halaman rumah, kami turun bersama-sama dan masuk ke dalam rumah. Tapi, sebelum masuk, tanganku ditarik kasar oleh wanita berambut panjang. Dia adalah Ana.

Ia memandangku dengan tatapan tajam seakan aku telah melakukan suatu kesalahan.

"Kenapa kau memakai sepatuku?!" Tanyanya. Aku benar-benar tak paham dengan pertanyaan itu.

Sepatu? Sepatu siapa? Lalu, aku teringat dengan sepatu putih yang dipakaikan Raynar di kakiku tadi. Secara reflek, aku menunduk melihat sepatu putih yang kupakai sekarang.

"Iya! Sepatu putih yang kau kenakan itu adalah sepatuku! Bahkan dengan uangmu saja kau tidak akan sanggup membeli sepatu itu! Ah, aku ingat! Kau kan memang miskin!"

Maya POV

Tiba-tiba Ana datang dengan memicingkan matanya kepadaku, mengatakan padaku bahwa sepatunya aku pakai tanpa seijinnya.

"A... Aku tidak tahu kalau ini adalah sepatumu, Kak." Yah, memang aku mengatakan yang sebenarnya.

"Kau sudah mencuri perhatian orangtuaku, sekarang kau juga mencuri sepatu kesayanganku?! Apa yang sebenarnya kau mau? Ha?!" Aku sangat terkejut dan ingin menangis saat itu juga. Seumur hidupku aku tak pernah sekalipun dibentak seperti itu.

"Tunggu, Ana! Kau jangan marah dulu sama Maya. Aku yang meminjamkan sepatumu kepada Maya. Karena sepatumu tertinggal di mobilku kukira sudah tidak kau pakai lagi. Jika kau tidak mau meminjamkannya, berikan saja sepatu itu dan aku berjanji akan kubelikan lagi yang lebih bagus. Sudahlah, itu bukan salah Maya." Penjelasan Raynar cukup membuat emosi Ana mereda.

Tapi bukan berarti ia langsung memaafkanku dengan mudah. Ia lalu mendekatiku.

"Kalau kau mengambil barangku lagi, awas saja! Mengerti?! Dasar trouble maker!!" Ucapnya tepat di depan wajahku.

"I... Iya, Kak. Maafkan aku." Kataku sambil menundukkan kepalaku.

Jujur, aku takut sekali melihat emosi Ana yang menggebu-nggebu. Hari ini moodku benar-benar hancur. Ingin sekali aku pergi ke kamar dan segera menenggelamkan wajahku di bantal. Dan menangis sekencang-kencangnya.

"Ada apa ini? Kenapa ribut-ribut di luar?" Tanya seorang pria. Aku menoleh melihat siapa yang bertanya. Dan ternyata pria itu adalah Papa.

"Tidak apa-apa, Pa. Hanya ada sedikit tikus tadi. Sekarang sudah aman kok. Papa tidak usah khawatir." Kata Ana sambil memicingkan matanya kepadaku.

Aku yang dilihatnya seperti itu hanya bisa menunduk.

Papa kemudian menyuruh kami semua untuk segera masuk dan makan malam bersama. Aku hanya menurut saja dan makan sedikit sekali karena terlalu sesak di dadaku hingga apapun yang masuk ke dalam perutku ingin sekali kumuntahkan.

Seusai makan malam bersama, aku meminta ijin kepada Mama dan Papa untuk kembali ke kamarku. Mama dan Papa pun yang awalnya masih ingin berbincang-bincang denganku, akhirnya menurut saja dan mengijinkanku untuk kembali ke kamar.

Di kamar, aku langsung memuntahkan semua makanan yang tadi aku makan. Aku terduduk di kamar mandi sambil menangis. Sebisa mungkin tangisanku ku tahan agar tidak terdengar oleh penghuni rumah yang lain.

Puas menangis, aku langsung membasuh wajahku berkali-kali agar tidak terlihat habis menangis.

Aku kembali ke kasur dan mulai membuka ponselku. Kubuka semua sosmed ku. Ternyata banyak sekali notifikasi yang muncul. Kebanyakan adalah pesan dari sahabat-sahabatku. Salah satunya adalah Cyntia. Ah, aku sangat merindukannya.

Aku mulai membalas satu persatu pesan dari Jessy, Cyntia bahkan Ryo. Sangat seru hingga tak sadar telah larut malam. Tiba-tiba pintu kamarku diketok oleh seseorang. Mungkin saja Mama, atau mungkin Ana yang masih tidak terima dengan kesalahanku tadi. Aku pasrah jika akan dimarahi lagi. Kubuka kamarku dan sangat terkejut karena bukan mereka yang kubayangkan.

"Lingga?! Se.. Sedang apa kau kemari? Ini sudah malam." Yup! Dialah Lingga. Aku heran kenapa malam-malam begini orang itu ke kamarku.

"Kau habis menangis?" Bukannya menjawab pertanyaanku tapi malah bertanya kembali. Wait? Kenapa dia tahu aku habis menangis? Jika memang dia tahu, lalu apa pedulinya?

"Bukan urusanmu! Dan sebaiknya kau kembali ke kamarmu. Ini sudah larut dan aku mau tidur." Segera kututup pintu kamarku. Namun, rupanya gerakanku kalah cepat dengan gerakan tangannya.

"Kau bohong! Kau masih sibuk dengan ponselmu. Dengan siapa kau mengirim pesan? Apa dengan pacarmu?" Aaaarghhh!! Ada apa dengan orang ini? Moodku sudah bagus beberapa waktu lalu, lantas mengapa dia merusak moodku lagi?

"Bukan urusanmu!" Kataku ketus.

"Oh iya, kau kan gadis miskin. Pria mana yang mau dengan gadis sepertimu?! Hah, parasit!" Cukup sudah kata-katanya membuatku sangat terluka. Baru beberapa hari tinggal di rumah ini saja hatiku sudah sangat terluka.

"Sudah menghinanya? Kututup sekarang!"

"Eits, tunggu! Ah, kau sensitif sekali." Demi Tuhan!! Aku sangat muak bertemu dengannya saat ini. Walaupun ia begitu tampan dengan kaos hitam andalannya tapi aku sudah terlanjur marah dengan semua perlakuannya tadi.

"Ada apa lagi?" Tanyaku malas.

"Aku ingin membicarakan mengenai pertunangan kita."

"Kau tenang saja. Aku tidak akan menerima pertunangan ini. Dan aku akan meminta Mama untuk membatalkannya." Ucapku memotong perkataan Lingga dengan cepat agar aku tidak berhubungan dengannya lagi.

"Apa? Aku bahkan belum memutuskan akan menerima atau tidak." Kulihat wajahnya seperti tidak terima dengan keputusanku. Ada apa dengannya? Bukankah ini yang ia inginkan?

avataravatar
Next chapter