5 Sedarah Beda Sifat

Kulangkahkan kakiku pelan-pelan agar tidak membangunkan penghuni rumah. Sesampainya di dapur, aku segera mengambil gelas dan menuangkan air mineral ke dalamnya. Kuteguk segelas penuh air mineral hingga tandas.

Kulihat di atas meja makan masih ada roti tawar sisa. Kuambil selembar untuk mengganjal perutku yang sangat lapar ini. Tiba-tiba aku mendengar seseorang sedang berbicara lewat telefon. Dari suara yang kudengar sepertinya pria. Apakah Raynar? Atau Lingga?

Karena penasaran, kuputuskan untuk sedikit memeriksa siapakah yang masih bertelefon saat dini hari ini.

Nampak di sebuah balkon dekat dapur terdapat seorang pria berbaju hitam sedang berdiri menghadap ke luar. Tangan kanannya sedang memegang telefon yang ditempelkannya di telinga sedangkan tangan kirinya masuk ke saku celananya sebelah kiri.

Dari belakang, sepertinya aku sangat mengenal siapa pria itu.

"Aku juga sangat mencintaimu, Ara. Dan aku juga tidak akan bertunangan dengan gadis manapun kecuali dirimu. Hanya dirimu, Arabella Floyd. Aku tidak peduli jika Papa dan Mamaku tidak menyetujui hubungan kita." kata pria itu.

Mencintai? Ara? Arabella Floyd? Aku tahu sekarang. Pria itu adalah Lingga.

Telefon pun ditutup yang membuatku terkejut dan takut jika ketahuan. Perbuatanku ini sudah seperti penguntit atau apapun itu. Aku segera beranjak dari tempatku berdiri untuk kembali ke kamarku.

Karena tergesa-gesa dan gugup, kakiku tak sengaja tersandung meja makan dan akupun terjatuh.

"Awww!!" Segera kututup mulutku dengan tangan kiriku. Aku baru sadar kalau tanganku masih memegang roti tawar.

"Siapa di sana?" teriak Lingga.

Oh Shit! Jangan sampai ketahuan. Aku tidak mau terjadi sesuatu di hari pertama aku kemari.

Segera aku berdiri dan kulangkahkan kakiku lagi menuju kamar sambil tidak menghiraukan rasa nyeri kakiku dan teriakan Lingga.

Namun, kenyataannya kecepatan Lingga mengalahkan kecepatan berjalanku. Lengan tanganku ditarik dan secara otomatis aku berbalik berhadapan dengannya.

"Kau? Naya? Kau menguntitku dari tadi? Jawab ha!!" Teriak Lingga tepat di depan wajahku. Tapi bukan itu yang membuatku kaget melainkan dia yang salah menyebut namaku.

"A... Aku hanya tidak sengaja mendengar. Waktu itu aku di ruang makan lalu aku mendengar suaramu." Jawabanku memang tak sepenuhnya benar, tapi sebisa mungkin aku ingin lari dari tatapannya yang menusuk.

"Seberapa banyak yang kau dengar?" Tanyanya dengan tatapan yang tak lepas dari mataku.

"Hanya sedikit." Jawabku sambil menghindari tatapannya. Sungguh, dengan tatapan seperti itu saja sudah sangat mengintimidasiku apalagi jika ditambah dengan perkataannya yang sama tajamnya dengan tatapan pria itu.

"Baiklah kalau begitu. Lagipula itu juga tidak ada hubungannya denganmu. Orang yang kutelfon tadi adalah pacarku namanya Ara. Kau harus tahu itu. Kau harus tahu dan tahu diri! Mengerti?!" Kututup mataku karena tak kuat mendengar bentakannya yang tepat di depan wajahku.

"I.. Iya.. Aku mengerti, Lingga. Maafkan aku."

"Oke. Kali ini kau kumaafkan. Tapi lain kali jika kau menguntit lagi tunggu saja akibatnya. Siapa namamu tadi? Naya? Faya?"

"Maya. Namaku Maya." Jawabku menahan sakit di lenganku akibat cengkramannya yang terlalu kuat.

Dengan posisi kami yang terlalu dekat ini aku bisa melihat salah satu karya Tuhan yang begitu indah. Wajahnya bagaikan pahatan patung yang sempurna.

Mulai dari alis, mata, hidung, bibir hingga rahangnya pun sangat pas. Bagi yang melihatnya aku jamin tak pernah bosan untuk selalu mengamatinya. Namun, hanya satu yang aku sayangkan darinya yakni aku tak pernah sedikitpun tahu ia tersenyum.

Aku sadar kalau aku memang orang asing baginya. Dan mungkin akan selamanya menjadi orang asing di hatinya. Beruntung sekali untuk orang entah siapapun itu tahu dirinya tersenyum. Terlebih, sangat beruntung juga bagi Ara bisa memilikinya.

"Sampai kapan kalian akan saling bertatapan seperti itu? Sampai orangtua kita bangun?" Pertanyaan seorang pria menyadarkanku dari lamunanku tentang Lingga. Aku tak sadar jika aku telah mengamatinya sedari lama.

Dan yang lebih tidak sadar lagi kalau ternyata Lingga juga mengamatiku lekat-lekat. Seketika wajahku menjadi panas dan dentum jantungku semakin tak bisa kukendalikan.

Lingga pun sepertinya juga baru tersadar. Ia lalu melepaskan genggamannya dan pergi meninggalkanku dan pria lain yang memergoki kami.

Kualihkan pandanganku ke arah suara pria itu. Dan ternyata dia adalah Raynar. Ia menatapku datar namun sedikitpun aku tak merasa terintimidasi olehnya. Hanya rasa segan yang kurasakan. Mungkin karena ia anak tertua di keluarga ini.

"Sedang apa kau disini?" Tanyanya sambil duduk di salah satu kursi di ruang makan. Ia kemudian mengambil air minum yang dituangkan di gelas. Oh Gosh? Itu gelas bekasku minum tadi.

"Aku tadi habis minum. Ya habis minum lalu mendengar Lingga sedang menelfon Ara. Kemudian dia marah karena aku tak sengaja mendengarnya." Jawabku dengan gugup.

"Minummu bukan dengan air tapi dengan roti?" Tanyanya dengan nada mengejek. Kulihat ia sedikit tersenyum. Sangat manis.

"Oh ini... Ya... Hmmm maksudku aku tadi setelah minum kemudian makan sedikit karena aku sedikit.... Lapar hehehehehe" Jawabku sesantai mungkin. Karena yang kutangkap dari sifat Raynar ini sedikit berbeda dengan Lingga. Ia sedikit ramah padaku.

"Suka pasta?" Tanyanya sambil beranjak dari duduknya dan mengambil panci teflon di lemari atas.

"Pasta? Aku suka sekali. Kakak mau masak pasta? Apa perlu aku bantu? Aku juga bisa memasak

pasta kok." Aku segera beranjak dari tempatku berdiri untuk membantu Raynar memasak.

"Ah aku baru tahu kau cerewet sekali." Ucapnya dengan menahan senyum sedangkan tangannya memilah-milah bahan untuk pasta.

"Maaf." Aku memang suka kelepasan jika menyangkut hal yang kusukai.

"Tapi aku suka." Ucapnya tanpa melihatku dan tetap memilah-milah bahan.

"Apa?" Jujur, aku tak mengerti dengan apa yang ia maksudkan.

"Ehem! Kau baru lulus dari Cambridge University?" Aku tahu jika orang ini sedang mengalihkan topik pembicaraan.

"Iya, Kak." Jawabku singkat karena aku tak tahu harus berkata apa lagi.

"Kau tinggal di mana selama kuliah? Apa ada kerabatmu yang di sana?"

"Aku tinggal di asrama kampus, Kak. Aku hanya punya Ibuku dan beliau sudah meninggal kemarin lusa. Dan sekarang sudah tak ada lagi keluarga yang kupunya." ucapku dengan menahan air mata yang mau menetes. Sekuat tenaga aku tersenyum agar tidak merusak suasana.

"Oh maaf. Aku turut berduka cita atas meninggalnya Ibumu." Dari ekspresinya aku tahu kalau ia sangat tulus mengatakan itu.

Kegiatan memasak kami pun berlanjut dengan saling bercerita. Sebenarnya bukan kami yang memasak, lebih tepatnya Raynar yang memasak sedangkan aku hanya membantu mencuci udang.

Ia selalu menanyakan hidupku. Mulai dari tempat tinggalku, hobiku, apa yang kusukai, bagaimana kegiatanku selama kuliah di Inggris dan apapun itu yang menyangkut diriku.

Akupun sedikit merasa nyaman dengannya. Kami mulai melempar candaan dan saling tertawa. Jujur, senyumannya sangat manis dan terlihat sangat tampan. Tapi, akan lebih tampan lagi jika Lingga yang tersenyum seperti itu. Ah, aku membayangkannya lagi.

Antara Raynar dan Lingga menurutku sifat mereka berdua sangat berbeda jauh. Di awal mengenal, mereka sama-sama terlihat cuek dan garang. Tapi ketika sudah mengenal, mereka jauh berbeda.

Raynar bersifat ceria dan sangat terbuka. Tutur katanya pun sopan dan tak pernah menghina orang lain. Ia juga pandai mencari topik pembicaraan sehingga membuat lawan bicaranya tak pernah kehabisan cerita.

Sedangkan Lingga, ia sedikit tertutup. Menurutku, hanya orang yang dekat dengannya saja yang tahu tentangnya. Tak pernah senyum dan tatapannya sangat mengintimidasi, apalagi dengan orang asing sepertiku. Ia juga sangat irit bicara dan sekali bicara akan menusuk hati si lawan bicara.

Sifat Lingga yang seperti itulah yang membuatku semakin penasaran dengannya. Aku ingin lebih mengenalnya tapi aku takut jika sudah dihadapkan dengan tatapan tajamnya.

Kembali ke realita. Kini, pasta udang buatan Raynar telah sampai di hadapanku. Aku tak sabar untuk segera melahap makanan khas Italia itu.

avataravatar
Next chapter