2 Rubah Merah

~Seandainya langit dan bumi dapat bersatu, mungkin tak akan pernah ada harapan yang mnjadi semu~

....

Perlahan tapi pasti kubuka kedua mataku. Cahaya matahari sukses menusuk pengelihatanku.

Kuedarkan pandanganku, sejenak baru kusadari bahwa ini bukan kamarku. Kualihkan pandangan pada lengan kekar yang tengah memeluk tubuhku.

Kutolehkan kepalaku. Terlihat wajah seorang pria berambut dark blue yang tak asing bagiku.

Kusibakkan selimut yang menutupi tubuhku, setetes air mata sukses mengalir melewati pipiku. Sesuatu yang sangat berharga bagiku kini telah hilang, direnggut oleh pria yang tak pernah sekalipun kukenal itu.

Kuusap kasar air mata di pipiku lalu turun dari kasur king size ini dan berjalan tertatih memungut pakaianku yang berserakan dilantai lalu memakainya.

Setelah selesai, kuputuskan untuk meninggalkan kamar ini. Sebelum membuka pintu kutatap sekilas pria dark blue itu yang masih terlelap.

"Bajingan!! "

.

.

Jalanku pelan sangat pelan, namun jalan pelanku sanggup membawa tubuhku sampai di ruangan utama bar ini.

"Permisi nona"

Kutolehkan kepalaku, Aldino si bartender merah itu masih memakai seragam lengkapnya. Ia tersenyum saat melihatku menatapnya dari bawah ke atas.

"Ini tas dan kunci mobilmu, semalam kau meninggalkanya" ucapnya menyerahkan tas putih dan kunci mobilku.

"Terima kasih "

Dia tersenyum lalu berbalik badan dan pergi.

Kubuka pintu utama, dan keluar dari tempat sesat ini. Langkahku terhenti saat melihat seorang gadis mengenakan dress merah kekasih dari pria yang meniduriku.

"Dasar rubah merah!"

Rubah merah itu terlihat berbincang dengan seorang pria dengan rambut yang sedikit panjang untuk ukuran lelaki.

Rubah itu menatapku. Sungguh ingin sekali kuceking dan kutarik rambutnya hingga botak.

Sebisa mungkin kutahan perih disekitar selangkanganku. Saat melewati rubah itu, kudengar pembicaraanya yang membuatku tambah ingin membunuhnya.

"Sudah kau pastikan dia meniduri seseorang?"

"Tenang semua beres"

Ah sungguh, jika jiwa kejamku muncul mungkin rubah merah itu langsung sekarat ditempat saat ini juga.

Tanpa aba aba kubanting keras pintu mobilku, membuat kedua iblis itu kaget dan menoleh bersamaan.

Kuambil ponsel canggihku dalam tas.

15 pesan dari Aleo, 20 pesan dari ibu, 21 pesan dari kak Reno, 2 pesan dari ayah, dan 78 panggilan tak terjawab.

Kubanting keras poselku ke kursi penumpang disebelah, lalu menyenderkan kepalaku pada setir mobil.

Rasa perih di area sensitifku masih sangat terasa, entah mengapa rasa sedih yang teramat sangat menghujam jantungku.

Seharusnya, yah seharusnya aku tak kabur dari rumah dan berakhir seperti ini. Apa kata orang nanti saat mereka mengetahui jika mahkotaku telah hilang. Apa aku harus kembali lagi ke negara Singa itu. Ah persetan, lebih baik sekarang aku pulang, tidur dan berharap semua ini mimpi buruk.

Darena memasuki rumah megah itu dengan kaki yang sedikit melebar. Didepan pintu, terdapat Dareno yang berdiri dengan tangan dilipat didepan dada.

Reno menatap Rena tajam membuat gadis dengan rambut cotton candy itu bergidik.

"Dari mana saja kau baru pulang?"

Rena mematung setelah mendapat pertanyaan dingin kakaknya yang menusuk. Dari seluruh keluarganya hanya ayah dan kakaknya saja yang sangat ia takuti. Mengingat sang kakak yang menghukumnya berdiri 2 jam di luar tanpa syal ataupun sweeter tebal saat musim salju.

Rena menunduk, menahan tangis yang sebentar lagi akan pecah.

"Angkat kepalamu Darena Putri Raditya, jangan jadi gadis lemah!" maki Reno

Mendengar teriakan anak pertamanya, Sarah ibu dari dua bersaudara itu, penasaran dengan siapa orang yang membuat amarah Reno pecah.

Sarah berlari saat melihat putrinya yang tengah menundukan kepalanya dan memegang erat tas tas ditanganya, ibu itu langsung memeluk putrinya dan menjauhkanya dari Reno

"Diam dan minggirlah Dareno Putra Raditya" ucap Sarah sembari menuntun Rena menuju kamarnya.

avataravatar