Bunyi alarm membangunkanku dari tidur yang nyenyak. Aku bangkit dari tidur sembari memegangi kepalaku yang berat. Sampah kaleng minuman berserakan disampingku. Aku ingat kemarin aku minum-minum dengan Miko dan mengumpat Leo. Dengan lengan yang lemas dan masih dibawah pengaruh alcohol, aku mengambil ponselku dan melihat riwayat telepon. Aku takut diriku yang tengah mabuk kemarin menelepon Leo dan berkata yang tidak-tidak. Nafas lega segera kuhembuskan setelah melihat riwayat teleponku.
Kualihkan pandanganku ke arah Miko yang masih tertidur. Aku mengernyitkan dahi melihat Miko tanpa kacamata tebalnya. Ku ulurkan tanganku ke kepala sahabatku itu dan mengacak-acak rambut yang selalu dia tata rapi menggunakan gel. Aku tersenyum puas dan pergi meninggalkannya menuju kamarku. Tak lama, terdengar suara teriakan Miko diiringi dengan bunyi-bunyi berisik dirinya yang berlarian.
"La, gue pulang ya. Mama gue marah, bye," teriaknya. Aku mengiyakan dan memintanya titipkan salam untuk mamanya serta saudaranya.
Suara pintu tertutup terdengar, menandakan dia telah pergi dari rumahku. Aku menggelengkan kepala dan melanjutkan aktivitasku yang tertunda.
Setelah membersihkan diri, aku keluar dari kamar dan menahan nafasku sejenak. Aku lupa kalau kaleng minuman sisa kemarin belum dibersihkan. Dengan berat hati, aku membersihkan ruang tamu yang di penuhi oleh kaleng minuman. Hitung-hitung untuk mengubah suasana hati, aku membersihkan rumah sembari mendengarkan lagu yang membuatku semangat lagi.
Aku menggoyangkan badanku mengikuti irama. Berlagak seperti seorang idola yang sedang konser di hadapan para fans-nya.
Aku membungkukkan badan dan melambaikan tangan setelah lagu yang kudengarkan telah selesai. Aku tertawa sendiri ketika sadar dengan tingkahku barusan. Untung saja aku hanya sendirian di rumah. Jadi, jika aku bertingkah seperti orang gila pun tidak ada yang tahu.
Kenyataan kembali menamparku ketika ponselku berbunyi. Aku menatap sinis ponselku yang tidak bersalah setelah melihat sebuah nama yang saat ini ingin ku hindari. Ingin rasanya kubiarkan ponsel itu berbunyi hingga nantinya mati sendiri. Tapi, entah apa yang merasukiku aku merasa tidak enak membiarkannya menunggu. Aku menampar pipiku sendiri dengan sedikit keras.
"Sadar Nala!!! Dia itu cuma teman. Ngapain kamu merasa bersalah karena nggak angkat panggilannya? Emang dia siapa?" makiku pada diri sendiri. Alhasil aku hanya berdiam diri tanpa ada niatan untuk menjawab panggilannya. Hingga akhirnya panggilan itu berakhir dengan sendirinya.
Aku menghela nafas lega dan bermaksud melanjutkan kegiatan bersih-bersihku. Namun, tiba-tiba bel rumahku berbunyi. Awalnya aku berpikir itu adalah Miko yang kembali karena kelupaan sesuatu.
"Kenapa, Ko? Ada yang kelupaan?" tanyaku sembari membukakan pintu untuk orang yang kuanggap sahabatku itu.
"Miko habis nginap disini?" aku berdiri mematung setelah melihat dengan jelas siapa yang membunyikan bel rumahku itu. Leo dengan pakaian kasualnya berdiri di depan pintu rumahku.
Dengan perasaan terkejut, aku langsung membanting pintu dan menguncinya tepat di hadapan Leo. Aku panik karena orang yang benar-benar ingin kuhindari ada di depan rumahku. Ku tegaskan sekali lagi benar-benar ingin kuhindari.
Aku bisa mendengar dirinya memanggil-manggil namaku sembari mengetuk pintu. Kuhiraukan panggilannya dan hanya berdiri disana sembari berharap dia akan pergi.
"La, buka pintunya dulu. Aku cuma mau ngasih obat mata ke kamu." Seketika aku teringat dengan kebohonganku kemarin. Pastinya dia khawatir karena aku meninggalkannya begitu saja. Namun saat ini aku benar-benar tidak ingin menemuinya.
Aku memijat kepalaku memikirkan cara agar bisa menerima kebaikannya tanpa berhadapan dengannya. Akhirnya aku sedikit membuka pintu rumah dan menjulurkan tanganku untuk menyambut obat mata yang dibelikannya.
Aku bisa mendengar dirinya menghela nafas panjang melihat kelakuanku itu. Tapi aku bisa apa? Aku benar-benar tidak ingin bertemu dengannya sekarang. Aku tidak ingin suasana hatiku yang sudah membaik itu jadi hancur lagi ketika melihat matanya. Saat ini pun aku menahan air mataku dengan sekuat tenaga.
"Mana?" tanyaku setelah beberapa detik tidak kunjung mendapat respon darinya. Aku mengintip sedikit, dan melihat dirinya sedang menatap diriku dengan jengah. Dia bersender di kusen pintu dengan satu tangannya dimasukkan ke dalam kantong celana. Melihat itu, aku hampir saja kehilangan kewarasanku dan berteriak. Ya ampun Leo, bisa nggak sih sehari aja jangan ganteng dulu. pikirku.
"Kamu kenapa sih kayak menghindar dari aku gitu? Ditelepon nggak diangkat, sekarang ditemuin di rumah malah begini. Kenapa sih? kalau ada masalah cerita dong." Aku terdiam. Suasana hatiku kembali menjadi awan gelap hitam dengan sambaran petir. Aku menghela nafas panjang, berusaha menahan amarah dan air mata yang ingin mengalir keluar.
"Nggak papa kok, rumahku lagi berantakan aja. Soalnya kemarin aku minum-minum sama Miko." Ucapku masih bersembunyi dibalik pintu. Leo tersentak kaget.
"Ha? Kamu minum-minum sama Miko? La, Miko itu cowok loh. Walaupun kalian teman kalau dalam keadaan mabuk semuanya bisa kejadian." Aku bisa melihat dirinya seperti panik.
Berbeda dari yang sebelumnya, perhatiannya itu kini membuatku kesal. Aku segera merebut kantong plastik berisi obat mata dari dirinya dan hendak menutup pintu lagi. Namun, Leo menahan pintu dan berusaha masuk ke rumahku. Dia bersikeras mengakatakan bahwa kami perlu berbicara.
"Aku nggak butuh ceramah kamu sekarang, Leo!! Aku tuh lagi pengen sendiri, kamu ngerti nggak sih?" teriakku. Leo terdiam kaget. Aku menatapnya marah. Baru kali ini aku semarah ini dengannya. Aku benar-benar kesal ketika dia menceramahiku ini-itu tentang lelaki, sedangkan dirinya sendiri suka main cewek.
"Sekarang mending kamu jalan sama pacar baru kamu. Kamu udah suka sama Rin dari lama kan? Mending kamu habisin waktu sama dia daripada habisin waktu sama aku. Kita cuma teman, kan." Aku melembutkan nada suaraku, namun menyinggung tentang hubunganku dan Leo yang hanya sebatas teman.
Dia menganggukkan kepalanya dan pergi dari rumahku. Tak lupa, dia mengingatkanku makan dan memakai obat mata itu dengan benar. Dia juga mengingatkan untuk menelponnya jika ada sesuatu.
Air mata mengalir deras setelah kepergian Leo. Aku terduduk di depan pintu sembari meringis. Hatiku benar-benar sakit. Seakan-akan ada seseorang yang mengiris-irisnya. Aku melangkahkan kakiku lemas menuju kamarku untuk beristirahat.
Seakan tak cukup dengan kejadian tadi, aku melihat foto-fotoku bersama dengan Leo yang terlihat sangat akrab di meja belajarku. Foto-foto itu menyadarkanku bahwa disetiap momen berhargaku, ada Leo di samping.
Setelah kepergian ayahku, sejak kecil sosok lelaki di hidupku hanyalah Leo. Dia telah menemaniku di kala aku sedih, senang, ataupun di kala aku sedang bimbang.
Aku mengambil salah satu fotoku dengan Leo yang memperlihatkan kami berdua sedang tersenyum menatap satu sama lain dan membawanya ke dekapanku. Aku kembali menangisi seorang pria yang sama.
Aku membencinya. Sangat membencinya. Karena aku tidak bisa menghilangkan dirinya dari kepalaku. Andai aku bisa menuntutnya karena bermain dengan perasaanku.
Jujur saja, tidak ada seorang teman yang marah sampai segitunya hanya karena temannya minum-minum dengan lelaki lain.
Aku mengusap air mataku dengan kasar. Mungkin aku hanya terlalu banyak berpikir. Mungkin memang seperti itu seorang sahabat berlaku.
Aku melangkahkan kakiku menuju tempat tidur dan memejamkan mata sembari masih memeluk fotoku dengan Leo. Hingga akhirnya tertidur lelap.
Like it ? Add to library!
Have some idea about my story? Comment it and let me know.
Creation is hard, cheer me up!
Your gift is the motivation for my creation. Give me more motivation!