9 × 8 × Unexpected

Dunia memang terkadang tak adil. Namun, bila adil, apa semua pihak dapat menerima dengan lapang dada? Sepertinya tidak.

✾ H A✾Z A✾R D ✾

Cuaca dingin merasuk hingga ke tulang-tulang. Seketika pula pria itu merasa bodoh manakala dirinya menyadari bahwa ia lupa membawa jaket tebal untuk menepis dinginnya malam di Kota Seoul saat ini.

Bulan bersinergi apik dengan gumulan bintang-bintang. Pemuda itu menghela napas setelah kembali dari perjalanannya. Menatap lekat pintu di hadapannya sebelum akhirnya membuka dengan hati-hati.

Segera memasrahkan jenjang kaki menuju ruang selanjutnya. Sedikit banyak rahangnya mengetat. Pun gemeletuk antara gigi yang bersinggungan begitu kentara.

Ruang tengah. Ya, di sini. Sosok gadis yang terlihat berhadapan dengan pria paruh baya. Meski segera pandangan keduanya berpaling padanya. Pemuda ini tahu. Bahwa sebelumnya kedua manusia ini tengah menikmati teh hangat di tengah malam dingin ini.

"Kenapa kau datang lagi?" Suara bariton yang terdengar tenang terasa lebih menyudut pada menginterupsi. Gadis di sebelah pria itu terlihat menelan ludah kasar, seraya memejam mata sejemang.

"Taehyung Oppa, ini ayah kita. Bukan orang asing." Hana berucap tegas seraya bangkit perlahan dari simpuhnya. Gadis itu masih ingin menunjukkan sikap hormat pada yang menjaganya selama ini. Hana tidak lupa akan siapa yang menjaganya, ia hanya ingin membantu pria keras kepala itu.

"Hana-ah, kumohon biar aku saja yang mengatasi ini," lirih Taehyung. Sirat emosi terdengar samar bagaikan kabut di pagi hari. Rasanya bila diterka kembali, masih terasa bahwa ada sarat ragu di lantunan tegas milik Kim Taehyung itu.

"Appa mari kita bicarakan nanti lagi. Hana akan mengantar Appa hingga depan," sahut Hana tulus serta merta memberi senyumnya.

Beberapa menit telah berlalu. Taehyung sendiri sibuk mengetukkan ujung sandalnya pada lantai dingin dengan pelan, gelisah. Sampai sosok gadis berumur 16 tahun itu kembali dan segera mengambil tempat di sampingnya dengan jarak yang terpaut cukup jauh.

Hana berdeham sebelum membuka suara. "Oppa aku pikir aku bisa mengerti. Tapi aku juga kecewa, Oppa. Aku cukup tahu bahwa yang membesarkanku selama ini adalah Oppa. Aku tak menentang itu. Aku berterima kasih..." Hana menghela sejenak guna memberi pasokan oksigen pada paru-parunya. Karena rasanya sangat sulit untuk meraup pasokan udara saat ini. "Karena itu, aku akan membantumu menghadapi ini. Jangan takut untuk menghadapi Oppa. Tidak ada jalan untuk lari lagi."

Taehyung terhenyak. Otaknya seperti terlalu limbung dari posisi seharusnya saat ini. Terlalu tidak bisa menerima keadaan. Tidak menerima takdir yang berkata demikian. Taehyung tidak bisa. Tidak ingin membuka hati untuk orang yang salah dan telah mengecewakannya. Big no.

Namun satu untai frasa setidaknya bisa Taehyung olah dengan baik.

Tidak ada jalan untuk lari lagi.

✾ H A✾Z A✾R D ✾

Kutipan suara gemuruh terdengar mengumpul seru di aula besar sekolah. Hana setidaknya bisa tenang untuk saat ini. Setelah malam kemarin kakaknya itu tidak berucap apapun. Namun Hana tahu, dari sorot manik Taehyung pun sudah cukup untuk memberitahu Hana bahwasanya pria itu telah menimang penuturannya.

Di aula ini. Siswa-siswi sedang berebut tempat duduk guna menyimak perihal pariwisata sekolah. Mendengarkan para senior memberitahukan kemana kepergian mereka nanti pun memberi sedikit informasi mengenai biaya yang perlu ditanggung.

Hana sangat semangat mengenai hal ini. Namun seolah semuanya pupus begitu saja tatkala dirinya mendengar nominal untuk pariwisata itu. Oh, Hana perlu bekerja dua bulan untuk bisa ikut. Sedangkan pariwisatanya dikatakan akan dilangsungkan beberapa minggu lagi. Goodness.

Hana berjalan keluar dari aula dengan lesu. Berpikir berulang kali bagaimana caranya agar ia mengumpulkan uang dengan nominal tak kecil itu. Hana bukan sosok yang mudah putus asa. Setidaknya ia percaya bahwa selalu ada jalan untuk meraih sesuatu.

"Kau akan ikut Hana-ya?" Pun Hana sedikit terlonjak kaget mendengar gelegar suara tone berat itu. Sepersekian detik setelahnya Hana melirik nyalang sosok pemilik suara. Jeon Jung Kook.

"Sial, kenapa kau selalu ada di mana-mana," desis Hana. Jungkook mendengar desisan sebal itu, segera pria itu terkikik tak waras menimpali desisan Hana. Hana kembali mencebik, "Dasar orang gila."

"Aku mendengarnya." Jungkook kembali menimpal umpatan sebal gadis itu. Segera menyarangkan kedua tangan dalam kantong celananya. Dan memberi tatapan menginterupsi.

"Kalau begitu telingamu masih bagus. Memang jika kau dengar kau ingin apa Tuan Jeon?" tantang Hana tak gentar barang sedikit. Jungkook menarik sudut bibirnya membentuk seringai. Hana tidak takut. Pria itu seperti tak handal dalam membuat seringai jahat. Hana justru ingin terbahak jika melihat seringaian lucu pria itu.

Jungkook bergilir menaruh satu tangannya di atas dagu. Tetiba jemari kokoh Jungkook menjelentik kuat. "Ah! Ikut denganku selama periwisata kunjungan ke Daegu," tutur Jungkook. Hana membelalak ngeri setelah diam demi mengolah ucapan Jungkook.

"Tidak."

Jelas bukan pertanyaan yang akan Hana timang dan pikir dua kali. Hana menyidekapkan tangannya di depan dada guna memberi kesan angkuh atas ucapannya selang waktu tadi.

"Aku tidak ingat pernah memberimu pilihan untuk menjawab iya atau tidak." Sekali lagi Hana membelalak, tak cukup sampai di situ dagunya kian ikut merosot jatuh. Jungkook lantas kembali menyeringai seraya mendekatkan wajahnya pada telinga kanan Hana. Menghembuskan napas hangatnya di sana.

Hana merasakan epidermisnya diterpa oleh napas hangat itu. Sontak saja bulu romanya berjengit naik. Lantas Hana menahan napas. Tidak memberontak untuk saat ini, ─atau mungkin memang tak bisa memberontak.

"Kau tidak memiliki pilihan Kim Hana-ah."

✾ H A✾Z A✾R D ✾

Hari ini malam kembali gelap dengan percikan air yang menetes pada permukaan tanah. Hana tak memiliki persiapan untuk hal satu ini. Namun persiapan atau tidak, sama sekali tidak menjadi masalah baginya yang memang menyukai rintik hujan.

Maka dirinya berakhir menapaki jalanan pulang dengan baju yang basah. Sebelum langkahnya terpaksa berhenti saat mataya samar-samar melihat bayangan di depan sana.

Lelaki bertubuh tegap terlihat dipukuli oleh pengawal satu orang pria yang Hana yakini merupakan atasan beberapa pengawal tersebut. Pun satu pria yang sudah tampak terkapar duduk di tanah masih kekeh sinting untuk terus bangkit berdiri. Namun terlihat pria tersebut tidak memberi perlawanan atau tangkisan.

Hana semakin mengernyit melihatnya. Apa yang dipikirkan pria itu dengan membiarkan tubuhnya dipukuli membabi buta? Hana memang hanya bisa melihat sekilas. Terlebih jalanan yang memang tergolong temaram dan pria itu juga memposisikan dirinya bertolak belakang dengan Hana.

"Kau seharusnya mengikuti ucapanku, Jeon Jungkook!! Kau anak yang tidak tahu diuntung! Aku hanya menyuruhmu untuk tetap di rumah dan duduk tenang di sana. Namun lihat sekarang! Bahkan kau pergi hingga larut malam!" Pria itu bertutur dengan menggebu pun dengan tutur suara kesan menghentak. Beserta tarikan napas yang terlihat mulai terseggal.

"Dan aku tidak ingin mengikuti Appa."

Hana sedari tadi menyimak pun bersembunyi di balik tembok yang ada. Tidak terlalu mempermasalahkan soal nama yang disebut. Tidak sedikit orang yang bernama Jeon Jungkook bukan?

Berikutnya Hana berlari menuju gerombolan orang-orang itu. Saat matanya melihat bahwa para pengawal tersebut akan memukul wajah pria Jeon itu Hana segera berlari. Ya, alasan apa yang membuat sosok ayah perlu memerintah bawahan untuk memukul anaknya sendiri?

Hana menahan tangan pengawal itu. Lantas menatap bengis sosok yang harus dipanggil 'Appa' oleh orang di belakangnya saat ini. Dengan sarat emosi Hana berucap, "Ahjeossi, kenapa kau menyuruh mereka untuk memukulnya?"

"Hana-ah,"

Jantung Hana berdegup, kencang sekali. Lantas dengan perlahan bak slow-motion, Hana menoleh ke belakang. Matanya lekas membola setelah mwncerna keadaan beberapa detik.

Ternyata pria itu benar-benar Jeon Jungkook yang ia kenal.

[]

avataravatar