5 Bertemu mantan

"Reza, kamu Reza?!" aku menyebut namanya dengan detak jantung yang berdegup kencang.

"Iya, gak nyangka ya kita bisa ketemu gak sengaja begini?!" Reza tersenyum, senyum yang sama seperti dulu, senyum yang selalu mempesonaku.

"Iya, kamu apa kabar?" tanyaku berbasa-basi.

"Aku baik, Mir! Oh ya..."

"Bu, kita kapan jalannya?" Raka menyela dengan wajah cemberut, tampaknya ia bosan.

"Eh iya, maaf ya sayang. Sekarang Om jalan nih!" Reza meminta maaf kemudian melajukan mobil.

Aku hanya tersipu dan tak menyangka bisa bertemu lagi dengan Reza. Reza Mahendra, kakak kelasku dulu di SMA. Kita berbeda satu tahun, kami sempat berpacaran selama empat tahun, dari aku kelas satu SMA sampai lulus. Bahkan saat Reza meneruskan kuliah di Jogja, kami pun masih melanjutkan hubungan. Walaupun dulu kita menjalani LDR namun semua tetap berjalan lancar, seminggu sekali Reza pasti menelpon ke rumah, zaman kami dulu belum umum pengguna hape atau telpon genggam jadi Reza pasti menelponku melalui wartel. Namun saat terakhir kali ia pulang ketika libur kuliah, itulah terakhir kali kami berkomunikasi.

Ketika itu, Reza mengajakku menonton sebuah konser musik dan pulangnya ia memberikan cincin yang sampai saat ini masih aku simpan. Pada waktu itu aku pikir hubungan kami akan terus langgeng dan berlanjut namun nyatanya justru setelah ia kembali ke Jogja, Reza tak pernah menghubungiku kembali dan terakhir aku mendengar kabar dari sepupunya kalau Reza sudah punya kekasih baru, teman kampusnya.

Kecewa? Iya. Sakit hati? Tentu saja. Seolah hubungan selama empat tahun ini tidak ada artinya bagi dia. Hatiku hancur saat itu dan akhirnya aku memilih untuk tinggal bersama bibiku, adik abah yang tinggal di Cikarang. Ditambah saat itu juga abah dan umi memintaku untuk melanjutkan kuliah seperti kak Nurul namun aku yang merasa penat belajar tidak berkeinginan untuk kuliah, aku lebih senang kerja mencari uang. Seperti teman-temanku yang setiap pulang pasti pamer bisa membeli ini itu dari uang gaji mereka, membuat aku iri dan ingin melakukan hal yang sama.

Lima tahun aku bekerja sebagai staf administrasi di salah satu pabrik plastik, di Cikarang dan di sana lah petualangan cintaku dimulai. Sering bergonta-ganti pacar, memiliki kekasih banyak seolah kebanggaan buatku dulu. Mungkin karena jauh dari pengawasan abah dan umi membuatku merasa bebas apalagi setelah satu tahun bekerja, aku memutuskan untuk kost sendiri, keluar dari rumah bibi dengan alasan agar lebih dekat dari tempat kerja padahal saat itu, aku memang hanya ingin lebih bebas saja.

"Mir, ini kamu mau ke rumah abah?" pertanyaan Reza menggiringku ke masa sekarang setelah beberapa menit yang lalu aku hanyut dalam ingatan masa laluku.

"Iya, anak-anak udah kangen sama kakek neneknya," ujarku beralasan, padahal ada niat lain aku mengunjungi rumah orangtuaku sekarang.

Itu menjadi obrolan terakhir kami di sepanjang perjalanan karena aku sibuk dengan pertanyaan dari Raka dan Rai yang belum mau berhenti bicara sebelum aku menjawabnya. Untunglah si bungsu Ayla, terlelap di gendonganku.

Mobil yang dikemudikan Reza pun berhenti tepat di depan rumah dua lantai dengan warung sembako di depannya. Ya, itulah rumah orangtuaku. Aku beserta anak-anak pun turun dari mobil, Raka dan Rai langsung berlari menuju neneknya yang sudah menyambut mereka dengan suka cita.

"Sebentar ya, Za. Aku ambil uang dulu di dalam," aku meminta Reza untuk menunggu.

"Tunggu, Mir!" cegah Reza.

"Anggap saja ini hadiah dari aku, sebagai awal pertemuan kita lagi," kembali Reza memperlihatkan senyumnya yang membuat kedua lesung pipinya terlihat jelas.

"Maksudnya gimana, Za?" aku masih bingung, tak mengerti.

"Kamu gak usah bayar, oh ya salam untuk abah dan umi ya?!" Reza mulai menginjak gas, segera pergi.

"Eh, tunggu Za!" seruku namun Reza hanya melambaikan tangan dan mobilnya semakin menjauh.

"Memang siapa sih?" umi datang mengagetkanku.

"Reza, Mi. Teman sekolahku dulu." jelasku memberi tahu umi.

"Ehem!" abah berdehem saat melewati kami.

Seketika umi menyenggolku, abah memang paling tidak suka kami membicarakan pria lain. Gak baik katanya, apalagi anak-anak abah sudah berumah tangga semua.

"Ayo masuk, cepat!" titah abah dengan suara tegasnya.

***

"Umi lagi gak ada uang cash," bisik umi ketika kami mengobrol di kamar.

"Kemarin baru aja sama Abah ditabung," sambung umi lagi.

Aku tertunduk lemas usai mendapat jawaban dari umi saat aku membicarakan niatku meminjam uang untuk membayar tagihan listrik. Hanya umi dan abah yang bisa kuandalkan.

"Coba pinjam sama kakakmu?" umi memberi saran.

"Malu, Mi! Hutangku beberapa bulan yang lalu saja belum bayar," aku ingat hutangku pada kak Nurul waktu si kembar sakit kena DBD.

Sepertinya umi melihat raut wajahku yang begitu lesu, aku memang sedang memikirkan besok petugas PLN pasti datang lagi untuk mencabut listrik di rumah kalau sampai hari ini belum aku bayar.

Umi menuju lemari pakaiannya, lalu menarik tanganku.

"Jual ini saja, nanti sisanya bisa kamu simpan atau kamu tabung," umi memberikan gelang mas yang terbungkus rapi dengan suratnya.

"Gak usahlah, Mi. Biar aku minta Bang Anwar saja," aku menolak dan mengembalikannya lagi kepada umi.

Pintu terbuka, abah masuk. Umi segera menaruh gelang itu ke dalam saku baju gamisku. Aku meliriknya sekilas, umi hanya mengedipkan matanya.

"Anak-anak suapin dulu, kasian mereka lapar." tutur abah kepadaku.

Aku pun keluar dari kamar umi, meninggalkan Ayla yang tertidur di sana.

***

Tak terasa sore pun datang, Raka dan Rai asik bersama neneknya usai mandi. Sementara aku di kamar, mengganti pampers dan pakaian Ayla selepas mandi.

"Abah sudah telpon suamimu suruh jemput," tiba-tiba abah masuk dan menyampaikan informasi itu.

Oh iya, seharian ini aku tidak cek telpon genggamku karena dipakai Raka dan Rai bermain game. Entah apa balasan dari bang Anwar setelah aku memberitahunya akan ke rumah abah dan umi tadi pagi.

Gegas aku ambil hape yang sedang diisi baterainya itu. Ada lima panggilan tak terjawab dari bang Anwar juga beberapa pesan darinya.

[Kamu kenapa mendadak ke rumah Abah?]

[Kamu ngapain?]

[Kalau suami telpon tuh angkat, chat juga gak dibales. Kamu di mana?]

Beberapa pesan bang Anwar tadi siang, dari membaca pesannya saja aku tahu kalau dia sedang marah.

Rupanya ada pesan baru lagi masuk dari bang Anwar.

[Abah telpon aku, suruh jemput kamu]

[Malas lah aku, nanti cuma dengerin ceramahnya dia aja]

[Kamu pulang sendiri aja, kasih alasan apalah, bilang sama abah dan umi kalau aku gak bisa jemput]

Campur aduk aku rasakan setelah membaca pesan dari bang Anwar, teganya ia membiarkan anak istrinya pulang sendiri menjelang maghrib seperti ini. Juga perkataannya yang seolah enggan sekali bertemu mertuanya, orangtuaku sendiri padahal selama ini hanya orangtuaku yang membantu saat kami kesulitan.

"Kenapa, Mir?" abah menangkap kegundahan hatiku.

"Eh, gak pa-pa, Bah!" aku mencoba tersenyum.

"Pasti suami kamu gak mau jemput, ya?!" terka abah.

"Iya ... Itu, Bah..." aku bingung harus menjawab apa.

"Sudah kamu beres-beres, habis maghrib nanti Abah yang antar," ucap abah kemudian pergi.

"Kacau, bang Anwar bisa semakin marah kalau sampai ketemu dengan abah di rumah," batinku bingung.

****

avataravatar
Next chapter