1 Mertua Sialan

Sayup-sayup terdengar alunan lagu paris barantai mengalun lembut, lagu itu berasal dari radio yang di putar mertuanya. Lagu yang disertai dengan semilirnya angin dari jendela cukup membuat orang terbuai dan mengantuk.

Daisy menghentikan gerak jari-jemarinya yang sedang menjahit baju suaminya. Sebenarnya ia tak pandai menjahit tetapi apapun akan ia lakukan demi mengusir rasa bosannya di rumah yang sangat besar itu.

"Kau mengantuk?" tanya Alex, sembari membelai rambut Daisy. Gadis itu tersenyum mengangguk, wajahnya memerah tersipu malu.

"Beristirahatlah sejenak, aku akan menggantikanmu menyelesaikan jahitannya," ucap Alex.

Ia menyodorkan segelas teh hangat kepada kekasihnya, kemudian menaruh cemilan pisang goreng di meja sebelahnya. Daysi mengamati gerak-gerik suaminya. Namun, kemesraan itu hanya berselang sebentar. Ibu mertuanya datang dan langsung menyindir Daysi.

"Di mana harga dirimu, Nak? Di saat seluruh manusia di kota ini hormat dan tunduk padamu, tetapi kamu di perlakukan bagai budak oleh istrimu!"

Hati Daysi memanas, ia menaruh teh yang hampir saja di teguknya ke meja. Ia meninggalkan suami dan ibu mertuanya yang tengah berdebat.

"Lihatlah kelakuan istrimu! Begitukah wanita terpelajar ?" teriak Bianca - ibunya Alex

Daisy yang meringkuk di balik pintu kamarnya hanya bisa terdiam, tak ada pembelaan dari sang suami. Air matanya menetes. Perempuan itu merasa tak tahan lagi dengan perlakuan ibu mertuanya. Bianca selalu saja mengaturnya dalam segala hal. Dari cara berpakaian sampai cara berbicara. Memang menjadi seorang istri seorang bangsawan bukan lah hal yang mudah

"Sudah lah, Bu. Dia sudah dewasa. Dia tahu apa yang harus dan tidak harus dilakukan!" sentak Alex yang mulai bosan mendengar ocehan Ibunya.

"Kau mulai berani melawan Ibu? Gara-gara perempuan itu kamu berani menyangkal ucapan Ibu?" pekik Bianca tak kalah sengit.

"Ibu maunya apa? Alex bercerai dengan Daysi atau apa?" Alex memelankan suaranya dengan sedikit penekanan.

Bianca langsung terdiam. Ia tak bermaksud begitu, hanya saja ia ingin anaknya di hormati dan dilayani layaknya seorang suami. Alex menuangkan teh untuk istrinya adalah hal yang salah. Seharusnya Daysi yang melakukannya.

"Sudahlah! Ibu yakin suatu saat Daysi akan paham yang ibu maksud," ujar Bianca sembari berlalu menuju dapur.

Alex meraup wajahnya kasar. Ia merasa kepalanya hampir pecah. Pertengkaran kecil seperti ini memang sering terjadi, dan ia belum mendapatkan solusi untuk itu. Ia teringat kembali kepada Daysi yang mengurung diri di kamar dan Alex bermaksud menyusulnya.

Namun betapa terkejutnya Alex ketika berpapasan dengan Daysi. Perempuan dengan mata sembab itu tengah menjinjing sebuah tas di tangan kanannya.

"Kamu mau kemana, Sayang?" tanya Alex sembari meraih tangan Daysi lalu mengelusnya lembut. Ia tau ini pertanda buruk. Dulu, seberapapun masalah yang tengah di hadapi, Daysi pasti akan mudah melupakannya dan tak pernah berpikir ingin keluar dari rumah itu.

"Aku mau pulang, Mas! Aku perlu menenangkan diri!" ucap Daysi dengan wajah tertunduk.

"Pulang? Jangan dong. Aku perlu kamu di sini."

"Aku tidak dibutuhkan di sini, Mas! Aku bukan Istri yang baik," sahut Daysi dengan ketus.

"Aku menikahimu karena aku mencintaimu, Daysi. Jadi kumohon! Jangan tersinggung dengan ucapan Ibu. Itu demi kebaikan kita semua," ucap Alex dengan hati-hati takut menyinggung perasaan istrinya.

"Aku tetap mau pulang, Mas! Tolong jaga Shandy!" jawab Daysi dengan wajah tanpa ekspresi dan tetap melangkah maju menuju pintu.

Melihat istrinya yang tak dapat di ajak berdamai, Alex memutuskan untuk mengalah. Masalah tak bisa di pecahkan dengan otak yang panas.

"Baiklah, aku akan menyuruh Darren untuk mengawalmu! Kumohon jangan membantah. Darren ajudan kepercayaanku. Aku yakin dia bisa menjagamu selama di desa. Aku khawatir kamu kenapa- napa," ucap Alex.

Alex melingkarkan tangan kekarnya ke pinggang Daysi lalu membenamkan wajahnya di tengkuk perempuan itu. Kecupan hangat mendarat beberapa kali di sana pertanda Alex enggan ditinggalkan.

"Hanya dua minggu, setelah itu kembalilah," ucap Alex. Ia melepaskan pelukan dan memutar tubuh Daysi agar menghadapnya.

"Baiklah," sahut Daysi lalu membalas pelukan Alex. Cukup lama mereka berpelukan, dan suara cempreng itu kembali menggema.

"Mau kemana istrimu?"

Bianca datang dengan langkah tergopoh-gopoh. Berita perihal istri tuan Alex yang ingin pergi dari rumah sudah menyebar seisi dapur. Rupanya salah satu pembantu di sana menguping pembicaraan mereka dan memberitahukan kepada Bianca.

"Pergilah!" ucap Alex. Ia melepas pelukan Daysi dan mendorong istrinya keluar. Dengan gerakan yang cepat ia menutup pintu kayu itu.

"Mau kemana dia?" tanya Bianca sekali lagi.

"Ibunya Daysi tengah sakit, jadi dia ingin pulang sebentar," ujar Alex berkilah.

"Hah? Kamu berani berbohong dengan Ibu?"

"Tidak, Bu. Itulah kebenarannya," ucap Alex lalu meraih bahu ibunya dan mengajaknya untuk duduk.

"Aku akan menelpon Jeng Bella!" ucap Bianca dan lanjut memegang gagang telpon. Tetapi Alex terlebih dahulu meraih gagang telepon itu dan menutupnya. Alex menggeleng pelan.

"Mengapa kau biarkan perempuan itu pergi? Bagaimana dengan Shandy? Tugas seorang istri adalah mengabdi kepada suami dan merawat anaknya! Bukannya pergi seenaknya dan melepaskan tanggung jawab!" bentak Bianca.

Alex tertunduk, ia enggan menjawab ucapan ibunya. Baginya menyangkal sama saja dengan menambah masalah.

"Awas saja kalau dia pulang! Dasar perempuan tak tau diri," umpatnya lagi.

"Sudahlah, Bu. Aku mau istirahat dulu," ucap Alex. Ia bangkit dari sofa dan menuju kamarnya.

Alex kenal betul dengan perempuan yang telah melahirkannya itu. Bianca akan berhenti mengoceh kalau lawan bicaranya diam dan menurut. Makanya banyak sekali pembantu rumah tangga yang berhenti bekerja di tempatnya karena kepribadian Bianca yang terkesan galak dan otoriter.

***

Toyota kijang berwarna hitam metalik meluncur membelah jalan Ahmad yani. Suasana kota tampak ramai karena mendekati hari kemerdekaan Indonesia. Sepanjang jalan di hiasi dengan bendera dan juga umbul - umbul bernuansa merah putih.

"Apakah kita akan pulang ke rumah ibunya Nyonya ?" tanya Darren memberanikan diri.

"Iya, aku ingin bertemu Mama," sahut Daysi tanpa menoleh ke arah lawan bicaranya.

Darren mengangguk. Kembali fokus dengan kemudinya. Ia takut salah bicara dan di anggap lancang. Tiba- tiba ponsel nokia layar kuning miliknya berbunyi, ia pun menepikan mobilnya dan mengangkat telpon yang tak lain adalah dari pimpinannya.

"Assalamualaikum, Pak. Ada apa?"

"Tolong jaga istri saya. Ia akan menginap di rumah ibunya selama dua minggu. Saya tau untuk menuju ke sana membutuhkan waktu 7 jam dan Daysi tak terbiasa naik mobil," tutur Alex.

"Baik, Pak. Akan saya laksanakan," ucap Darren dengan tegas.

Darren memandang ke arah kaca spion mobil, ia melihat wajah Daysi yang muram dan tertunduk lesu.

"Maaf Nyonya, apakah nyonya baik- baik saja?" tanya Darren.

Daysi mengangguk lalu tersenyum tipis.

"Tolong lanjutkan perjalanan," perintah Daysi menyeka air matanya dengan sapu tangan.

Dua jam perjalanan telah di lalui, Daysi mulai merasakan pusing dan perutnya mual tak tertahankan. Ia meminta Darren untuk memberhentikan mobil yang dikendarainya dan berhenti.

"Uweeeeek!!!"

Daysi memuntahkan seluruh isi perutnya dan membuat wajah yang awalnya cantik merona berubah pucat pasi.

Darren terkejut. Ia sigap mematikan mesin mobil lalu turun untuk menghampiri Daysi di kursi belakang.

"Tunggu di sini," ucap Darren lalu berlari ke warung terdekat. Ia membeli segelas teh hangat dan sebotol minyak kayu putih.

Tanpa basa - basi ia membantu Daysi untuk duduk tegak lalu memberikan teh itu kepada Daysi.

"Minumlah. Teh hangat akan membantu mengembalikan tenagamu," ucap Darren dengan hati hati.

Daysi mengangguk lalu menyambut gelas teh dari tangan Darren. Lelaki itu nampak mencuri pandang tetapi kembali menunduk.

"Ini minyak kayu putih, oleskan di kening dan perutmu," ucap Darren.

Daysi pun melakukan hal yang di ucapkan Darren. Ia merasa laki-laki itu sangat perhatian terhadapnya tetapi mungkin hanya sebatas majikan dan pembantunya.

"Apakah kita bisa melanjutkan perjalanan? Kita baru sampai Binuang," ucap Darren.

"Iya, silahkan lanjutkan, tapi bolehkah aku duduk di sampingmu?" ucap Daysi.

avataravatar