1 Chapter 1: Piano

Tata panggung prosenium terlihat megah dengan sudut pandang penonton tertuju ke setiap arah panggung. Beberapa penonton terlihat sangat menikmati Nocturne milik Chopin yang dimainkan oleh Dila. Jemari gadis itu begitu mahir memainkan setiap notasi pada tuts piano di hadapanannya.

Riuh tepuk tangan terdengar di seluruh penjuru ruangan. Dila menundukkan kepalanya, tanda ucapan terimakasih atas perhatian penonton yang ditujukan kepadanya. Dila kemudian berjalan meninggalkan panggung. 

Dila memandang pantulan dirinya di depan cermin yang berada di ruang ganti. Akhir-akhir ini ia merasa hambar dengan permainan pianonya. Gadis itu menatap jemarinya, tak ada yang salah dengannya.

"Aku melihat ada sesuatu yang mengganggumu. Apa ada hal yang kau sembunyikan?" seorang wanita paruh baya menghampiri Dila. Dila tersenyum ke arahnya. 

"Tak apa, aku hanya merasa tidak enak badan, Bunda." Dila berbohong, ia tak mungkin menjelaskan apa yang ia rasakan pada ibunya. Ia tersenyum pada sang ibu, meyakinkan kalau gadis itu baik-baik saja. 

*** 

Setelah pulang dengan berjalan kaki, akhirnya Ardan sampai di rumah. Tanpa menunggu lama, lelaki itu langsung menghempaskan tubuhnya di atas sofa yang berada di ruang tengah. Ah, sofa ini sangat nyaman untuk Ardan yang merasakan lelah hari ini. Ardan terdiam sejenak. Iris kelamnya menatap langit-langit rumah. 

"Dia sudah mencoba meminta maaf, apa  kau masih tak ingin memaafkannya?" 

Ardan teringat perkataan Jonathan. Pria paruh baya itu merupakan pemilik sanggar teater Martio. Sanggar tersebut merupakan sanggar teater yang menaungi Ardan saat ini. 

Lelaki beriris kelam itu telah lama menjadi anggota dari sanggar tersebut. Helaan nafas berat mengudara dari mulut Ardan. Ia menatap sebuah bingkai foto yang bertengger di dinding. Lagi-lagi ia menghela nafas berat. Bersama helaan nafas tersebut, Ardan merasakan sesak di dadanya. Tak lama kemudian, getaran ponsel membuyarkan lamunannya. Sebuah panggilan dari Rio, sahabatnya. 

"Ada apa?" tanya Ardan langsung pada inti pembicaraan. 

"Ah, kau bahkan tak menyapaku." keluh Rio di sebrang telepon. 

"Ck, apa yang ingin kau katakan?" 

"Pak Jon tadi mencarimu." Jelas Rio. 'Jon' merupakan panggilan akrab anggota sanggar kepada Jonathan. 

"Kenapa dia mencariku?" 

"Dia bilang dia ingin membicarakan mengenai pertunjukan teater." 

"Oohh.. nanti aku akan menghubunginya." 

"Kau tak ingin mengucapkan terimakasih atau 'selamat malam' padaku?" 

"Sejak kapan kau jadi menjijikan seperti ini?" Ardan bergidik ngeri mendengar Rio yang mengatakan kalimat layaknya seorang kekasih yang sedang merajuk. 

"Hahahahaha...sialan! Aku hanya bercanda." ujar Rio sambil tertawa. Detik berikutnya lelaki berkacamata itu memutuskan sambungan teleponnya. 

*** 

Hembusan asap rokok mengepul dari mulut seorang pria paruh baya. Jemarinya mengapit sebatang rokok yang kini tinggal setengah. Pria berambut gondrong tersebut tak lain adalah Jonathan, pemilik sekaligus pengelola sanggar teater Martio. 

"Dia telah menyetujui untuk berkolaborasi dengan pertunjukkan kita bulan depan." seru Jonathan. 

"Kita akan berkolaborasi dengan seorang pianis muda." ujar Jonathan menambahkan. 

Ardan tak terkejut dengan perkataan Jonathan barusan. Pria itu telah mengatakan padanya terlebih dahulu. Hal tersebut beliau lakukan karena tahu jika Ardan tak menyukai hal-hal yang berhubungan dengan piano. Tapi untunglah, Ardan tak bersikap kekanakan. Ia tak  keberatan dan tetap mengikuti apapun untuk keberhasilan pertunjukan nanti. 

Lain halnya dengan Ardan, anggota yang lain terlihat cukup terkejut mendengar kabar tersebut. Ini kali pertama bagi mereka berkolaborasi langsung dengan seorang pianis dalam pertunjukan teater. Pianis tersebut bukan sebagai pengiring musik, melainkan ikut berperan langsung ke dalam pertunjukan nanti.

"Kita hanya akan berlatih tiga bulan dengannya? Kau yakin kita bisa mendapatkan chemistry hanya dalam waktu sesingkat itu, Pak Jon?" tanya Riko. Riko merupakan saurada kembar Rio. Mereka kembar tak identik, karena itu wajah mereka tak terlihat sama. 

"Tentu saja." jawab Jonathan yakin. Ia kembali menghisap rokok yang berada di tangannya. 

"Kapan dia akan datang kemari?" Rio menimpali pertanyaan adiknya, Riko. 

"Kita akan mulai berlatih dengannya besok sore." 

"Oh iya, aku belum mengetahui nama pianis itu. Siapa namanya?" tanya Noni yang penasaran dengan sosok pianis tersebut. 

"Ardila Thalia." 

**To be Continued

avataravatar
Next chapter