1 Kehancuran dan Pertemuan

Dunia yang lebih indah dari mimpi mulai menghilang karena erosi. Itu adalah dunia dimana Krystal hidup dan berkembang. Kehampaan akan terjadi saat kegelapan mulai memudar. Semua kepastian akan segera terbongkar. Waktu yang ditakdirkan tidak dapat digubah seindah maknanya. Semua yang dibangun akan berakhir dalam hitungan malam yang kejam. Di malam terakhirnya hidup sebagai manusia, Krystal merendahkan kepalanya. Memohon pada Tuhan yang dibicarakan warga desa. Ia tidak percaya apa yang tidak dapat dicerminkan mata. Tapi saat keputusasaan membelai kulitnya, yang bisa ia lakukan hanya menyalahkan tuhan yang katanya maha kuasa.

***

Lima ratus tahun adalah waktu yang dijanjikan pada Calevo, negeri para manusia. Manusia yang rakus akan segalanya tetapi merasa menjadi makhluk paling lemah tidak suka menepati janjinya. Menghindari masalah adalah sifat alami yang dimiliki manusia. Sifat itu melekat dalam lapisan jiwa yang paling gelap. Tidak menunjukan diri namun beraksi paling cepat. Ia tercela, tidak terselamatkan. Karena itulah, keturunan manusia tetap egois dan sok lemah. Bermain peran sebagai korban lalu berbalik menusuk dari belakang.

Percaya kepada manusia bagai bumerang. Ia kembali dengan serangan yang kuat dan menjatuhkan. Seharusnya, para dewa tidak pernah menyambut uluran tangan manusia. Seharusnya dahulu tetaplah ketentuan dewa yang berkuasa. Karena mereka yang rakus tidak pantas hidup di dunia.

Maka saat tiba waktu yang dijanjikan itu. Para dewa berdiri di barisan paling depan pasukan khayangan. Tangan menyongsong awan kegelapan, meminta abdinya untuk menyerang. Awan yang tampak lembut bergumpal layaknya bulu domba itu perlahan menghitam. Menggumpal seperti nila yang dibekukan. Marah bergejolak tak terhentikan. Saat itu, bagian kecil dari bumi yang disebut Calevo kehilangan cahayanya. Teriakan keputusasaan terdengar seperti melodi kematian yang akrab disapa. Manusia dengan segala kerakusannya akan disadarkan bahwa Tuhan tidak suka apa yang mereka lakukan.

"Apa yang akan kau lakukan ketika ini semua berakhir?" Wibawa yang kentara ikut bergema saat suara itu mengudara. Itu adalah pertanyaan dari Gaura sang dewa air pada manusia yang berlarian.

"Mati dan membusuk, menjadi benih baru untuk kehidupan yang lebih bijaksana" manusia terlalu sibuk berlarian hingga tak bisa menjawab. Maka Canala sang dewa petir berbaik hati menjawabnya. Suaranya lebih ramah dan menenangkan. Sangat tidak cocok dengan apa yang ia katakan tentang kematian.

Mereka berdua berdiri di belakang Kayala sang dewa kematian. Yang jubahnya beterbangan disapa angin bencana. Sosoknya tidak tergoyahkan ketakutan. Ia solid dan menggetarkan. Tidak ada yang lebih senang darinya saat ini. Karena bagi Kayala, kematian adalah hal paling benar yang dapat ia sucikan.

Bencana mengerika terus terjadi hingga hari hampir menghilang. Namun Kayala sang kematian menemukan musuh yang menyebalkan.

"Aku tidak akan mati semudah yang kau bayangkan, bencana tidak cukup untuk membawa nyawaku dari tanah ini" itu adalah deklarasi perang yang singkat dari seorang ksatria berarmor tembaga berkilauan. Suaranya bergetar karena pelindung kepala yang menutupi seluruh wajahnya. Ia berdiri tegak atas angin kencang yang menghadang. Seakan menantang Kayala yang tak tergoyahkan.

Dengan wajahnya yang tersenyum, Kayala menurunkan dirinya. Kakinya menyentuh tanah dengan lembut namun angin berhembus keras setelahnya. Menerbangkan ksatria penantang hingga sepuluh meter jauhnya. Armornya berderak, ia pun berteriak.

"Jangan menantangku seakan kau tidak bisa mati, jika bencana tidak dapat mengambil nyawamu maka biar aku yang melakukannya" Kayala berjalan perlahan. Disetiap langkahnya bumi bergetar ketakutan. Tanah bagai meloncat ingin kabur tapi tidak dapat berbalik. Sang ksatria berarmor tembaga buru buru bangun dari jatuhnya. Berdiri tegak lagi. Menantang lagi.

"Aku tidak akan mati, tidak sebelum aku mencapai apa yang kuinginkan" geramnya pada Kayala yang mendekat. Ia meraih gagang pedang di pinggangnya. Menariknya keluar secepat kilat, nampaknya ia adalah ksatria yang terlatih. Pedang itu menantang Kayala, begitu pula empunya.

"Bukan kau yang menentukan kematian" Kayala berkata, pedang ksatria berarmor tembaga terpental ke tanah membawa beban berat yang tiba-tiba. Ksatria itu berlutut, wajahnya melihat tanah yang merah dan hancur. Kayala tiba di depannya. Dengan satu ketukan telunjuknya pada armor tembaga, pakaian pelindung itu meleleh bagai lilin yang dipanaskan.

Sang ksatria berarmor tembaga terbelalak. Wajahnya memucat menghadap tanah. Ia merasa harapannya telah dihancurkan. Padahal tadi malam ia memohon pertolongan. Nyatanya Tuhan yang dibicarakan warga desa tidak datang menolongnya. Tidak datang untuk menyelamatkan negaranya. Mereka datang membawa bencana, berencana melenyapkan Calevo dan manusia.

Sedangkan Kayala sang kematian tidak dapat memalingkan wajahnya. Ksatria itu hanya berbalut baju dari katun tipis yang berleleh tembaga. Rambutnya diterbangkan angin kedengkian. Mengiba pada kematian. Berkibar dengan warna perak yang berkilauan.

Kayala tidak pernah melihat keindahan seperti itu. Rambut yang menceritakan kematian hanya dari warnanya yang perak dan pucat. Rambut yang dimiliki si Ksatria berarmor tembaga yang menantangnya. Itu adalah rambut seorang gadis yang menunduk.

"Angkat kepalamu" ujarnya.

Saat itu Kayala tidak pernah menduga bahwa perintah itu akan jadi bumerang baginya. Karena saat gadis berambut perak itu mengangkat wajahnya. Kayala berani bersumpah bahwa kematian tidak akan pernah menyentuhnya.

avataravatar