11 MENUNGGUMU DATANG PADAKU 3

Putra dan Keysha menuju ke suatu tempat, yang mana kantor lain Bank Kring. Keysha terlihat bingung dengan kondisi Putra saat ini.

"Ngapain ke sini?" tanya Keysha saat Putra memarkirkan kendaraan di plataran parkir depan Bank.

Pemuda itu tak menjawab, ia segera keluar dan tanpa ragu masuk ke dalam. Keysha memilih tetap di mobil, ia tak ingin mengikuti Putra yang tak jelas tujuannya. Lagi pula di luar panas.

Tak lama pemuda itu kembali. Wajahnya tampak kesal.

Keysha tak berani bertanya, ia hanya diam saja. Sementara Putra memutar mobil keluar area Bank, dan menuju kantor Bank Kring lainnya.

Sampai seluruh cabang Bank Kring di kota itu ditelusuri, tapi setiap kembali ke dalam mobil, wajah Putra tetap tampak kesal.

Keysha melirik jam di pergelangan tangan. Sudah sore, perutnya tiba-tiba berbunyi. Perih. Ia hanya sarapan bubur ayam tadi pagi, sebelum berangkat ke kampus.

"Tra…"

Keysha memanggil Putra pelan. Takut-takut lelaki yang memang labil di sebelahnya mengamuk.

Putra hanya menoleh saja padanya.

"Aku lapar, kayaknya maghku kambuh, belum makan dari tadi kan?"

Putra langsung shock. Ia memukul stir. "Kenapa loe nggak ngomong Sha? Obat ada bawa nggak?"

Keysha menggeleng lemah, dan Putra pun semakin panik. Ia segera menuju apotik terdekat.

"Obat magh loe apa merknya?"

Cowok ganteng itu bertanya sebelum keluar. Keysha mengirimkan foto obat maghnya ke HP Putra.

"Bentar ya!"

Keysha mengangguk.

Meskipun labil, Putra teramat perhatian padanya. Cowok itu memang selalu panik, jika Keysha mengeluhkan sakit. Terkadang sakit yang ia rasakan, membawa berkah tersendiri untuk gadis itu. Putra seolah menjadi sosok kekasih idaman jika bersikap demikian.

Tak lama Putra kembali dengan tambahan air mineral dan beberapa roti.

"Makan dulu ini sebelum minnum obat, abis itu kita cari makan beneran. Maafin gue Sha. Gara-gara gue loe jadi sakit."

Keysha tersenyum lalu meraih bingkisan yang diberikan Putra. Ia lalu membuka roti perlahan, kemudian meneguk air mineral yang sudah dibukakan tutupnya oleh Putra.

Mereka masih diam di parkiran apotik, hingga Keysha selesai makan dan minum obat.

"Gimana? udah agak mendingan belum?"

Keysha mengulum bibirnya, lalu tersenyum bahagia. "Sudah."

Putra pun menghela nafas lega. "Kita cari makan dulu ya."

Keysha mengangguk.

***

***

Ada sebuah restoran di dekat showroom mobil, itu yang terdekat. Dan kata orang-orang makanan di sana juga lumayan enak.

Mereka lalu masuk ke dalam restoran. Tak terlalu ramai, ada beberapa bangku kosong. Putra pun tak begitu memerhatikan sekitar, ia terlihat sibuk memerhatikan Keysha. Takut magh gadis itu semakin parah, hingga harus dibawa ke rumah sakit.

"Aku nggak apa-apa kok."

Keysha tertawa ringan, sambil menarik kursi sebuah meja yang kosong. Putra lalu duduk di hadapannya.

Sesaat Putra mencium aroma parfum yang cukup familiar di hidungnya, meski pun baru beberapa kali aroma citrus berpadu dengan wangi mawar itu membelai indra penciumannya.

{Iya, mobilnya udah kuantar ke showroom, kata mereka nggak selesai hari ini. Soalnya, bemper belakang juga peyot.}

Darah Putra tersirap kala mendengar suara wanita yang tepat berpunggung-punggungan dengannya. Kepalanya reflek memutar.

"Kinan!"

Yang ia panggil menoleh terkejut.

{Bentar aku telepon lagi! }

Wanita yang memang benar Kinanti menutup teleponnya. Ia sedang mengubungi MeTi.

"Loe lagi!"

Kinan buru-buru bangkit. Ia baru saja selesai makan. Pertemuan dengan Putra semalam, menyisakan ngeri tersendiri buatnya. Apalagi, sorot tajam mata Putra yang seakan ingin menerkamnya hidup-hidup belum juga berubah.

"Kinan, tunggu!"

Putra hendak mengejar, namun Keysha menahan tangannya.

"Tra, aku lagi sakit lo." Ia seperti menemukan sebuah jawaban.

Keysha yang pintar memang langsung bisa menangkap situasi. Ia mengaitkan peristiwa yang dilewati sehari ini dengan Putra. Kuncinya hanya Bank Kring, dan cewek tadi, Kinan memakai seragam kerja Bank Kring. Fix, dia paham. Menemui Papinya bukan untuk melamar dirinya, tapi untuk cewek itu. Kinanti Maya.

Putra kembali duduk walau dengan kegelisahan yang tak bisa ia tutupi sempurna.

"Jadi karena dia?"

Keysha sedang berusaha untuk bersikap wajar, meskipun ia tak bisa menutupi sedih yang terpancar dari matanya.

Putra pura-pura tak mendengar, ia tak ingin menyakiti Keysha saat ini. "Ya…?"

Keysha lalu menggeleng, ah sudahlah. Biarkan saja.

"Makan dulu, yuk. Habis ini antar aku pulang."

Putra menangkap kekecawaan dari raut wajah dan nada bicara Keysha. Gadis itu tak pandai menyembunyikan rasa.

***

***

Toni Hermawan sang Dirut masih terpikir ucapan Putra sebelum pergi dari ruangannya.

"Parfum Om, saya suka aromanya."

Apakah pemuda itu mengetahui sesuatu? ucapannya menyiratkan sebuah hal. Cara ia mengucapkan pun berbeda dari Putra yang dikenal sebelumnya.

Toni menghubungi Keysha, sudah lewat jam tujuh malam. Anak itu belum mengabarinya, sedang berada dimana saat ini.

"Hallo, kamu dimana, Key?"

{ Baru sampai rumah, Pi. }

"Masih sama Putra?"

{Iya… }

Keysha menjawab singkat. Ia mulai mencurigai sesuatu. Apa sebenarnya yang terjadi dengan Putra, Papinya dan cewek itu?

{ Papi belum pulang? }

"Masih lanjut menghadiri undangan rapat anggota pemegang saham."

Keysha mengangguk saja.

"Ya sudah, bilang sama mamimu ya, Papi pulang telat lagi malam ini."

{ Ya, Pi… }

Dan telepon ditutup duluan oleh Toni.

Keysha saat ini sedang mengantar Putra hingga keluar pagar. Pemuda itu tampak buru-buru untuk segera pergi dari rumahnya.

Setelah pagar ditutup kembali, Keysha segera masuk ke dalam rumah. Ia menjumpai Rere, maminya sedang mengurut-urut kepala. Tampak seolah menghadapi beban berat.

"Mami okey?" tanya Keysha memegang pundak Rere.

"Okay darling, kamu kemana seharian sama Putra?"

Keysha lalu duduk disamping Rere, sambil bersandar dalam pelukan ibunya.

"Nemenin Putra, Mi. Keliling cari barang…"

Rere tidak mengerti, barang yang dimaksud Keysha itu apa.

"Barang semacam spare part?"

Keysha menggeleng, "Barang bekas. Hah!" lalu ia membenamkan kepalanya ke dalam pelukan Rere.

Rere mengusap sambil menciumi kepala putri semata wayangnya.

***

***

Kinan kebingungan. Ia melupakan dompetnya, entah tercecer dimana. Tas samping itu, tidak lagi menampung dompet miliknya. Banyak sekali kartu-kartu penting di sana. Kartu kredit, ATM, KTP, SIM dan kartu penting lainnya, yang jika diurus butuh ekstra waktu dan tenaga.

Menyadari dompetnya raib, Kinan segera menelpon call center masing-masing bank yang ATMnya ia miliki, untuk memblokir ATM tersebut.

Ia juga sama sekali tak memiliki uang sepeser pun di tangan, terakhir habis saat membayar makan.

Kinan menghubungi Toni yang masih berada di kantor.

"Aku nggak punya uang di tangan, bisa jemput aku?"

{ Kamu gila, kita sudah sepakat tidak akan bertemu di luar, aku masih di kantor! }

"Lalu aku gimana?"

{ Kamu telepon teman-temanmu saja! }

"Hah! aku nggak punya teman!"

{Berhenti menggangguku sekarang, Kinan! Sebentar lagi rapat akan di mulai, mereka sudah berdatangan! }

Toni lalu menutup teleponnya.

Kinan mengumpat kesal. Sialan si tua itu, lelaki buaya yang hanya mau enaknya saja. Giliran dimintai tolong, tak sedikit pun ia ingin membantu.

Kinan menyadari dompetnya raib, justru setelah berlari entah kemana menghindari Putra tadi sore di restoran itu. Ia sudah mencari-cari taksi, tapi tak bertemu. Dan malam ini, ia terpaksa harus berjalan kaki, untuk pulang ke rumahnya, di Griya Cadas. Jauh sekali jika berjalan kaki dari lokasinya sekarang. Sedangkan berkendara saja, butuh waktu satu jam.

Di perjalanan, Kinan merasa diikuti oleh beberapa orang. Ia menoleh ke belakang. Benar, tiga pria berjaket levis membuntutinya. Kinan yang masih berseragam kantor, dengan rok yang lumayan pendek, melepas sepatu high heelsnya dan berlari menghindari tiga pria tersebut.

Tak ada orang yang bisa ia mintai tolong. Lokasi yang ia tempuh cukup gelap dan sepi.

Kinan berlari sekuat tenaga, namun nahas, tiga pria itu berhasil menangkapnya.

Kinan meronta-ronta, tapi tak digubris. Mereka membawa Kinan masuk ke dalam semak-semak di tepi jalan itu. Memang sepi sekali lalu lintas, sangat jarang ada kendaraan yang lalu lalang.

Kinan berteriak, masih mencoba memertahankan diri. Tiga pria itu semakin bringas, saat menyingkap blazer kerja Kinan. Mereka tergiur melihat kemolekan tubuh Kinan yang tercetak dari baju kemeja dalaman blazer kerjanya. Belum lagi, rok pendek yang terangkat-angkat saat Kinan meronta-ronta.

Mereka sudah mengerayangi tubuh Kinan, yang tak lagi terdengar suara jeritannya, karena mulut gadis itu sudah dibekap dengan sapu tangan.

Tiga pria itu membagi tugas untuk bergantian memerkosa Kinan, yang sudah semakin tak berdaya.

Baru akan memelorotkan rok Kinan. Sebuah batu cukup besar mengenai kepala salah satu dari mereka.

"Woi, anjing, kepala gue berdarah!" ucap pria yang kepalanya setengah bocor terkena lemparan batu.

Tak lama, orang yang melempar batu itu muncul.

"Nggak ada otak kalian!"

Dua pria yang baik-baik saja menyerang pria yang melempar batu. Kinan terkulai tak berdaya di dalam semak.

Dalam sekejap, mereka bisa dilumpuhkan. Dan pria yang kepalanya bocor, memilih melarikan diri. Entah sampai dimana ia bisa bertahan?

Pria pelempar batu itu adalah Putra. Ia melepas luaran kemeja bajunya, dan menutupi tubuh Kinan yang sedikit terbuka. Lalu mengangkat gadis itu keluar dari semak-semak.

Kinan benar-benar tak berdaya, ia hanya bisa pasrah dan menatap lemah pada Putra. Cowok yang ia hindari setengah mati sejak tadi.

***

***

avataravatar
Next chapter