6 KALI KEDUA

Maya dan Adit memutuskan untuk merayakan ulang tahun berdua saja, berhubung kedua putra mereka memiliki urusan masing-masing. Makan malam di restoran Hotel A menjadi pilihan Maya.

Hotel A, memang menjadi langganan kaum high level di kota ini. Tidak hanya untuk menginap, restorannya pun menyediakan makanan-makanan yang cukup lezat bila dibandingkan dari hotel-hotel lainnya.

"Apa kita perlu pesan kamar malam ini, Dek?"

Adit menawarkan.

Mereka sudah duduk di dalam restoran. Maya yang sedang melihat-lihat menu tersentak dibuatnya.

"Mas ini… Nggak perlu lah. Adek cuma mau makan aja kok."

Adit tertawa renyah dibuatnya.

Setelah memesan, pasangan suami istri yang tak lagi muda ini pun saling bertatapan.

"Makasih ya Mas, tak pernah berubah walau kita sudah tak lagi muda."

"Apa nggak capek bilang makasih terus, Bunda?"

Maya menghela nafas pelan. Ia tidak tahu lagi apa yang harus dikatakan pada suaminya itu, selain kata terima kasih. Banyak hal yang terlewati, suka dan duka, bahkan sikapnya yang teramat posesif pun bisa diterima Adit dengan hati yang lapang.

Adit pengusaha yang sukses. Semakin tua kharismanya kian terpancar. Tak sedikit bunga-bunga mekar yang menebar wangi menggoda untuk dihinggapi. Namun Adit, senantiasa menjaga kesetiaan. Ia bahkan dengan gamblang dan lantang menyatakan kecintaannya pada Maya.

Sikap demikian, justru membuat semakin banyak saja wanita yang mendambakan pria sejati seperti Adit. Maya malah semakin banyak mendapat daftar yang ingin menjadi pesaingnya.

Sempat galau dan tidak percaya diri, takut suaminya akan menemukan tambatan hati lain di luar sana. Tetapi, lagi-lagi Adit menunjukkan cintanya yang begitu besar. Ia tak ingin istrinya memikirkan hal yang tidak-tidak tentangnya selama berada diluar, karena itu, sedapat mungkin, setiap kali ada acara-acara penting atau sekedar pergi survey lokasi, Maya selalu dibawa serta.

Memang suami idaman. Siapa yang tidak ingin menjadi istri kedua, ketiga, atau keempatnya. Tidak akan ada yang menolak.

Maya melempar pandangan ke sekeliling restoran. Ramai. Banyak orang-orang penting di sini. Terlihat dari pakaian yang mereka kenakan. Di sini tempat yang pas untuk membicarakan apa saja bahkan untuk bersantai dengan keluarga dan teman-teman. Suasananya mendukung. Jika hendak membicarakan hal penting seperti pekerjaan atau bisnis, restoran Hotel A menyediakan private meeting room, kedap suara, dilapisi pintu geser full kaca.

Jika ingin bersantai dan membaur dengan yang lain, pilihan yang Maya dan Adit tunjuk ini lah jawabannya.

"Mas, itu seperti Toni."

Maya menyipitkan mata, ketika mendapati sosok yang sudah cukup lama tak ia jumpai.

Adit mengikuti arah mata Maya, dan dia mengiyakan.

"Padahal, baru tadi adek nyebut dia."

Maya teringat ucapannya pada Kartika atas insiden tidak mengenakkan yang ia alami di Bank Kring, tadi siang.

"Apa kita panggil saja dia?" gurau Adit.

Tentu saja tidak mungkin ia lakukan. Toni Hermawan, kini telah menjelma menjadi seorang Direktur Utama Bank Kring. Dan dia dulu pernah menjadi seseorang yang memiliki pengaruh di sisi Maya. Dialah sang mantan kekasih.

Meskipun juga sudah tidak mungkin kisah lama itu akan bersemi lagi, tetapi, Adit masih menyimpan was-was pada Toni. Sang Dirut, sempat menjadi trending beberapa waktu lalu, karena kedapatan berduaan dengan karyawan baru di ruangannya. Bagi Adit, walau pun rumor tersebut dibantah oleh yang bersangkutan dengan dalih macam-macam, tetaplah menjadi sebuah kewasapadaan tersendiri untuknya.

Siapa saja bisa berubah. Apalagi posisi Toni sebagai Direktur Utama, bukankah godaan bagi laki-laki akan lebih besar ketika ia berada di puncak kesuksesan.

Beruntung Maya menggeleng, "Jangan. Ini hari kita."

Adit pun tersenyum. "Ceritakan kejadian di Bank tadi."

Maya pindah duduk ke sebelah suaminya. Kondisi restoran yang ramai, akan membuatnya kesusahan bicara jika duduk berhadapan-hadapan. Ia lalu mulai bercerita, dengan berapi-api.

"Bikin kesel nggak tu? Cantik-cantik sombong banget, Mas."

Adit hanya tersenyum menanggapi cerita istrinya itu. Ia sama sekali tidak begitu fokus dengan cerita Maya, pria itu justru sedang menikmati keindahan Tuhan yang menjadi anugrah terindah dalam hidupnya.

Tak lama handphone Maya berdering. Dari Putra.

"Bunda dan Ayah dinner di Hotel A. Abang dimana?"

{Aduh, pakai kencan dulu. Abang udah di rumah Bund. Abang pikir di rumah ada makanan, ternyata kosong. Abang ke sana ya? }

Maya tersenyum sambil menutupi mulutnya dengan telapak tangan. Adit dibuat terheran-heran. Apa yang lucu?

"Ya sudah, ke sini aja. Telepon Haz, kalau mau ikutan juga."

Putra menyetujui dan langsung menghubungi adiknya. Tetapi ternyata, Haz menolak ikut, ia berencana akan makan bersama dengan temannya. Entahlah siapa. Putra juga tak terlalu ingin mengetahui.

Tak menunggu waktu lama, setelah kembali mengunci rumah, Putra pun menyusul Ayah dan Bundanya.

Hotel A… Hotel A…

Putra mengulang-ngulang di dalam hati. Apa yang istimewa dari hotel itu? Kenapa setiap kali makan, orangtuanya selalu ke sana.

***

***

Beberapa menit perjalanan saja, Putra sudah masuk basemant hotel. Ia lalu memarkir mobil dengan mantap. Ketika hendak menutup pintu mobil, ia mendapati bayangan seorang gadis yang selalu terlintas di benak, sejak tadi.

"Kinan…"

Putra mengejar gadis itu.

Kinanti menoleh. Ia tak percaya, Putra mengikutinya hingga ke hotel segala.

"Hei, tunggu."

Putra mencegat lengan Kinan.

"Apaan sih loe?"

Kinan menepis. Perasaannya tidak beraturan. Entah bagaimana cara menggambarkannya? Di satu sisi ia merasa kesal, karena Putra sudah menginjak benda kesayangannya, di sisi lain ia setuju jika siapapun tak bisa menolak pesona Putra, termasuk dirinya. Suatu keberuntungan, jika pemuda ganteng itu mengejar-ngejarnya. Namun, saat ini ia sedang terburu-buru. MeTi menunggunya terlalu lama.

"Kamu nggak pulang?"

"Nggak ada urusan sama loe!"

Kinan memilih menghindar. Ia masih saja jutek. Ah, benda kuning yang terinjak oleh Putra tadi pun kembali terlintas. Cowok ini pasti sudah berpikir yang benar tentang dirinya.

"Tunggu…"

Putra masih mengejar.

Dugaan lain pun muncul di kepala Kinan. Apa dia mau minta uangnya diganti?

"Loe mau apa?"

Putra menghentikan langkah, saat Kinan berbalik.

"Gue…"

"Gue nggak minta loe bayarin apa-apa sama mereka. Lagian loe sok-sokan datang ikut campur gitu aja!"

Putra mengernyitkan dahi. Jadi gadis itu berpikir, dia hendak menagih uang yang sudah ditransfer ke dua orang yang tadi bermasalah dengannya.

"Bukan…"

"So… apa?"

Putra tak tahu hendak menjawab apa. Ia malah sibuk menggaruk kepala bagian belakangnya.

Hening sekejap, terbuyarkan oleh dering ponsel Kinan.

# MeTi calling #

"Iya aku udah di parkiran."

Putra mengamati saja Kinan berbicara di ponselnya. Ia benar-benar telah terhipnotis oleh kecantikan Kinan. Hingga tak tahu apa yang dibicarakan gadis itu. Wajah Kinan benar-benar mengalihkan dunianya.

"Berhenti menatap gue!"

Kinan berbalik, dan masuk ke dalam lift. Putra buru-buru mengejar. Ia melihat Kinan menuju lantai tiga.

Kamar hotel? apa gadis ini menginap di hotel?

"Hmmm…"

Kinan tak memedulikan kode dari pemuda di sebelahnya.

"Loe mau ngintilin gue sampe ke tujuan!"

Putra tersedak. "Sorry…"

Dia lalu memencet tombol satu.

Dalam hati Kinan bersyukur, cuma butuh beberapa detik, pemuda ini akan lenyap dari dekatnya.

"Kin…an."

Baru akan bicara, pintu lift pun terbuka.

"Tujuan loe. Silahkan keluar!"

Ah, sial.

Putra tak punya pilihan selain keluar. Ia masih berharap semesta tetap memberinya dukungan untuk bertemu lagi dengan gadis itu.

***

***

avataravatar
Next chapter