34 DEMI KEBAIKAN

Putra berada di rumah Kinan hingga gadis itu kembali terlelap. Tak lama, setelah ia selesai makan. Dan selama itu pula, Kinan masih tetap meyakinkan Putra, bahwa lebam di pipinya karena terjatuh, lalu tersandung sisi dipan, kemudian tak sadarkan diri.

Putra bukan cowok bodoh, ia mencurigai sesuatu. Suatu saat ia akan mengetahui semuanya.

Dan akhirnya, ia sampai rumah lebih lama dari Adit.

Maya tak lagi banyak tanya. Karena ia sudah tau jawabannya. Ia seolah membiarkan Putra saja. Lebih tampak tak terlalu posesif seperti biasa. Perubahan sikap Maya, sama sekali tak disadari oleh sang anak. Tampaknya Putra memang terlalu sibuk memikirkan perempuan itu. Maya hanya menggeleng saja, setiap kali anaknya pulang malam, dengan wajah yang muram.

"Adek udah tau siapa gadis itu, Mas." ucap Maya pada suaminya, saat hanya mereka saja yang tinggal di ruang keluarga.

Anak-anak tak ada yang ikut berkumpul. Haz sudah masuk kamar, katanya banyak tugas.

"Siapa?"

"Teller itu..."

Adit tampak tak percaya, ternyata tebakannya waktu itu yang hanya sebuah candaan, ternyata benar.

"Si Kinan itu, yang bikin Adek kesel."

Maya mengangguk.

"Tau dari mana? Bukankah foto yang dikirim Joko nggak gitu jelas mukanya."

Maya lalu mengeluarkan gadget, dan memperlihatkan video Putra di café.

>> 'I Love U Kinan, Saranghae.'<<

Adit tersedak, lalu tertawa.

"Kok Mas ketawa?"

Padahal Maya beberapa hari ini wajahnya tampak ditekuk saja. Jarang sekali senyuman manis ala Bunda itu merekah di wajahnya yang tak lagi muda.

"Saranghaenya itu lo, Dek. Geli Mas dengernya. Udah kayak orang korea aja anakmu itu."

Maya menyipitkan mata, sebal.

"Muka Mas, sama muka Adek, kalau disatuin, jadinya gitu. Haz juga rada-rada oriental, tapi sukur, matanya lebih gede dari Abangnya."

"Mata Bundanya itu."

Adit mencubit pipi istrinya.

"Mas, Adek nggak mau Putra sama anak itu."

"Kenapa?"

"Feeling Adek nggak bagus."

Adit mengernyitkan dahi, "Apa udah dapat info?"

Maya menggeleng, "Tapi, dia pasti bukan gadis baik-baik."

Adit lalu menghela nafas, lalu berdiri, hendak beranjak ke dalam kamar.

"Yuk, sayang, tidur. Mas capek banget."

Adit menarik tangan istrinya.

Maya pun menyambut, sebelumnya mematikan televisi, dan beberapa lampu yang tak perlu.

***

***

Pagi ini, Putra sudah mepet ke bagian perencanaan. Menanyakan hal apa yang akan dikerjakan seharian ini. Dan semua ternyata sudah terjadwal, Putra ditemani dua orang staf pergi untuk melihat lokasi, kemudian mengurus perizinan yang masih belum selesai. Lalu, bertemu orang-orang yang nantinya akan menjadi pekerja di pembangunan kali ini.

Jadwal Putra cukup padat. Dan hal itu membuat pikirannya sedikit teralihkan dari memikirkan Kinan.

Pemuda itu benar-benar mulai disibukkan dengan aktifitas barunya. Meskipun secara resmi baru menjadi bagian dari Malik Estate, tapi ia sudah cukup memahami tata caranya. Sejak masih mahasiswa dan menjadi pekerja dadakan sang ayah, ia telah banyak diberikan bekal, terutama untuk urusan di lapangan.

Jadi, memang tak perlu diragukan lagi kemampuannya.

Sejak dari pagi di lapangan, Putra baru kembali ke kantor pukul empat sore. Ia langsung melaporkan kondisi terkini di lokasi.

Menurut Putra, lokasinya cukup strategis, meskipun terletak di pinggiran kota, namun lalu lintas di sana cukup ramai dan lancar, udara sekitar juga terasa segar, karena sekeliling masih banyak pepohonan. Tanah yang akan digarap pun berupa tanah padat, bukan tanah rawa, sehingga bangunan diatasnya akan bertahap lama.

Kendala yang ditemui, nego alat berat. Putra masih mempertimbangkan, mencari alternatif lain, yang bisa menekan harga.

"Sejauh ini, belum ketemu kendala yang lain, Yah."

Putra mengakhiri laporan.

Adit mengangguk, begitu pun Ajay. Ternyata Putra memang benar-benar serius belajar di kampus selama ini. Meskipun sebenarnya tak semua ilmu ia dapat di bangku kuliah. Putra justru lebih banyak sharing dengan dosen dan senior-senior yang sudah malang melintang di dunia perproyekkan ini.

"Besok jadwalnya apa, Bang?" tanya Adit.

Direktur itu masih belum bisa merubah panggilan, padahal dalam situasi resmi.

"Besok, rencana mau diskusi sama Divisi Pemasaran, Yah. Karena kita sudah mulai tahap penggarapan, jadi sebaiknya kita lebih aktif memasarkan. Selain melalui brosur, pamflet, iklan di surat kabar, kita juga bisa gunakan media sosial. Malik Estate bisa bikin iklan bersponsor di aplikasi media sosial kita. Besok kita adakan rapat juga, menunjuk admin yang bertanggung jawab megang iklan online."

"Hmm…"

Adit berdehem, lalu melirik Ajay wakilnya, yang terkesima dengan ide cemerlang sang millennials. Ia bermaksud pamer, anak gue nich! begitu lah kira-kira.

"Baiklah, mungkin segitu aja dulu. Kamu boleh istirahat, Bang."

Putra lalu mengangguk. Ia mendekati Adit dan berbisik.

"Abang pulang duluan, Yah. Ada perlu banget."

Adit meliriknya heran. Dari kemaren perlu banget terus.

"Apa lagi?"

"Masih ngurus yang kemaren, Yah. Belum kelar."

"Kinan?"

Adit keceplosan. Ia buru-buru menutup mulut.

Putra menatap Adit curiga, ia belum pernah mengatakan nama gadis itu pada sang ayah.

"Ayah tau dari mana?"

"Hmm… Ah, kamu kan udah jadi artis sejak pakai ngomong saranghae-saranghae Kinan, gitu lo, Ayah udah lihat videonya."

Putra tersedak, begitu juga dengan Ajay, yang tak sengaja mendengar.

Pemuda itu bahkan jarang sekali melihat sosial media. Ia segera login ke aplikasi media sosialnya. Banyak sekali pemberitahuan.

Adit menarik nafas lega, sukur ada video itu, meskipun ia hanya melihat dari media sosial istrinya.

Putra menepuk jidad. "Ah, parah banget, siapa yang nyebarin ini."

"Eh, ini malah ada yang teriak-teriak Oppa. Memangnya kamu udah jadi kakek, Bang."

Ajay juga ikut melihat video itu.

Adit tergelak. Putra cuma meringis malu.

"Anak gue kan artis korea, Jay. Loe nggak tau sih."

Lalu kedua bapak itu kompak tertawa.

Namun, tak sengaja di handphone Ajay keluar video pemukulan yang dilakukan Kinan.

"Waduh, ini cewek juga kayak artis korea, tapi kelakuannya, naudzubillah."

Ajay memerlihatkan ke Adit. Dan sang direktur pun setuju dengan ucapan sahabat sekaligus wakilnya itu.

"Apa istilah sekarang, Bar bar ya?"

"Iya," jawab Ajay.

Sementara kedua bapak itu sibuk dengan tontonannya, Putra merasa benar-benar harus menemui kekasih hatinya. Video kekerasan itu pasti cukup membuat perasaannya terganggu. Orang-orang jadi berpikiran buruk tentangnya. Padahal, Putra pun sangat yakin, bukan Kinan yang memulai.

Setelah pamit, Putra meluncur dengan kecepatan maksimal menuju rumah Kinan.

"Mas, Mbak Kinannya pergi."

Sebelum Putra masuk lebih jauh, Pak Dani melaporkan segera.

Putra lalu mengetepikan mobil di sebelah pos. Ia turun, dan menghampiri Pak Dani.

"Kemana Pak?"

"Aduh, nggak tau juga Bapak Mas, kayaknya mau pergi lama, soalnya Mbak Kinan titip liatin rumahnya."

Darah Putra berdesir. Ada apa lagi ini?

Ia lalu mengeluarkan handphone dan menelpon Kinan. Berkali-kali, tapi nomor yang dituju tidak aktif. Menghubungi lewat aplikasi chatting juga sama saja, hanya centang satu, artinya sedang tidak aktif.

Putra mengurut kepala.

Kenapa Kinan?

***

***

avataravatar
Next chapter