webnovel

Tidak Bisa Tinggal Bersama

Selesai bercerita, Arsia merasakan kesal sampai ke ubun-ubun terhadap Yıldıray. Lelaki itu menipunya! Yang lebih parah daripada itu, bisa-bisanya dia tertipu. Mungkin bukan Yıldıray yang lihai tetapi dirinyalah yang bodoh sedari awal.

"Kau--" Salim membuka mulutnya namun segera menahannya kembali. Arsia tanpa melihatnya menaikkan tangan kanannya, meminta pria itu untuk menunggu.

"Maaf aku harus minum dulu. Seret," kata Arsia. Setelahnya Arsia meraih botol minumnya yang berada di atas meja di sampingnya. Arsia memang begitu. Dia harus minum air putih saat marah dan mengemil sesuatu yang manis saat kesal.

Arsia mengangkat botolnya tinggi-tinggi. Dengan cepat dan tanpa ampun dia menenggak airnya. Arsia sama sekali tidak menyadari kalau Salim bereaksi terhadap gerakannya itu.

Berhadapan dengan Arsia, Salim memalingkan wajahnya ke sisi kiri. Dia berdehem pelan sambil menunggu Arsia menyelesaikan minumnya dengan cara yang eksotis. Ya, begitulah Salim mendeskripsikannya. Makanya pria itu merasa ada sesuatu yang mengganjal di tenggorokannya dan merasa perlu untuk menghindarkan tatapannya ke arah Arsia. Salim 'mendinginkan' dirinya.

Di sisi lain, Behram merasa janggal dengan sikap tuannya itu. Behram mendapati Salim lagi-lagi memperhatikan punggung sofa meskipun kali ini tidak bersiul seperti sebelumnya.

'Ada apa dengan, Yang Mulia? Apa Yang Mulia mendapati debu di sofanya? Sepertinya aku harus segera membersihkannya besok pagi', Behram berbicara dalam hati.

"Maaf untuk pembicaraan yang tertunda. Kita bisa melanjutkannya kembali. Apa yang mau kau katakan tadi?" ucap Arsia sambil meletakkan botol minumnya kembali ke atas meja. Di dalamnya, air yang tadinya penuh sampai ke leher botol kini tinggal tiga perempatnya saja.

Mendengarnya, Salim melirik Arsia terlebih dahulu melalui ekor matanya. Setelah dilihatnya bila Arsia sudah kembali pada posisi normalnya, barulah Salim menghadapkan kembali wajahnya lurus ke arah gadis itu.

"Hmm itu... Asalmu dari mana? Aku belum pernah melihat seseorang dari bangsamu sebelumnya," Salim membuka suaranya. Dia menanyakan sesuatu yang sedari awal membuatnya penasaran.

"Benar, kah? Di Grand Bazaar atau di Eminönü banyak," jawab Arsia sambil memperhatikan Salim.

'Serius dia tidak pernah lihat orang dari Asia di Istanbul?', Arsia membatin. Dirinya agak terkejut juga dengan penuturan Salim barusan. Sebenarnya sah-sah saja orang Istanbul tidak pernah melihat warga asing. Tapi dengan penampilan Salim agaknya tidak mungkin.

Dari apa yang dikenakannya, Salim nampak seperti orang kaya yang mampu menghabiskan uangnya untuk berkeliling dunia naik kapal luar angkasa sekalipun. Wajah rupawannya pun tipe-tipe aristokrat yang menjadi mahasiswa abadi di kampus kehidupan. Karenanya, Arsia jadi semakin menancapkan tatapannya pada Salim.

'Apa dia sedang bercanda?', Arsia menilai.

"Aku tidak mengerti. Maksudmu dengan banyak?" Salim bertanya.

"Maksudku turis dari Indonesia. Mereka kerap mengunjungi kedua tempat tersebut," Arsia memperjelas jawabannya.

"Indonesia?" Salim membeo.

"Ya. Negara kepulauan di bagian timur dunia yang mayoritas penduduknya merupakan Muslim. Orang Turki yang sudah pergi haji biasanya tahu mengenai kami," terang Arsia.

'Aku tidak pernah mendengar Yang Mulia Sultan Mustafa menceritakan tentang orang Indonesia sekembalinya dari berhaji', Salim mengingat-ingat.

Kemudian Salim kembali menyorot Arsia. "Kau Muslim? Kau pernah naik haji?"

"Ya dan belum," jawab Arsia yang sudah tidak asing lagi dengan pertanyaan semacam itu selama di Turki.

'Sungguh menarik', batin Salim.

Salim lantas menoleh pada Behram dan bertanya, "Di mana itu Indonesia?"

Behram pun mengambil sesuatu dari sakunya. Semacam buku catatan kecil dengan sampulnya yang sepertinya terbuat dari kulit. "I, I, I..." dia berbicara sendiri sembari membuka halaman demi halaman buku tersebut.

Awalnya Arsia tidak mengerti apa yang dilakukan oleh kedua pria tersebut. Setelah melihat apa yang dilakukan oleh Behram, barulah Arsia mengerti kalau keduanya sedang mencari sesuatu dalam kamus. Buku yang Arsia kira sebatas buku catatan biasa ternyata merupakan sebuah kamus. Mereka membuat Arsia terbengong-bengong.

Selama ini Arsia sudah terbiasa bila ada orang asing yang bertanya darimana asalnya dan berakhir dengan pertanyaan dimanakah Indonesia itu. Tapi membuka kamus? Baru kali ini Arsia melihat keanehan semacam itu. Sepertinya baik Yıldıray, Salim, dan Behram tidak ada yang normal.

"Tuan-tuan, apakah kalian sudah mendapatkan apa yang kalian cari?" Arsia bertanya dengan kepala yang sedikit dia condongkan.

Salim menarik dirinya dari buku Behram. Wajahnya lurus ke arah Arsia namun sepasang mata hijaunya mengawang-awang. "Di tahun 1617 apakah namanya Indonesia?" dia bertanya dengan suara yang terdengar mengambang.

"Maaf?" Arsia semakin tidak mengerti dibuatnya.

"Di tahun 1617 apakah namanya Indonesia?" Salim mengulang pertanyaannya. Kali ini dengan matanya menatap pada Arsia.

"Kami baru merdeka menjadi negara republik tahun 1945. Di tahun 1617 kami masih berupa kerajaan-kerajaan daerah. Belum bersatu menjadi satu negara," meskipun merasa aneh, Arsia tetap memberikan jawaban kepada Salim.

Hening. Salim dan juga Behram tampak tenggelam dengan pikiran mereka masing-masing. Tanpa Arsia ketahui, kedua pria tersebut sebenarnya tengah meraba-raba lokasi Indonesia dalam pikiran mereka.

"Kau menemukannya?" Salim bertanya pada Behram.

"Tidak," Behram menjawab.

"Aku juga tidak pernah melihatnya di perpustakaan. Sepertinya aku harus mengeceknya lagi nanti," kata Salim.

Tak tahan lagi mendengarnya, Arsia akhirnya bersuara, "Maaf mengganggu diskusi kalian. Tapi kenapa kalian membicarakan hal ini? Bukankah tadi kita sedang membicarakan soal sewa rumah ini?"

"Kita memang masih membicarakannya," Salim meralat. "Ini hanya intermezzo saja karena tadi kau terlihat emosi setelah menceritakan kronologisnya."

Ucapan Salim itu membuat Arsia merasa tersentuh. Dia tak menyangka kalau di balik keanehan yang ditunjukkan Salim, pria itu ternyata memperhatikannya. Sungguh perhatian yang sangat berharga bagi penyandang gelar jomblo tahunan sepertinya.

'Hei, mikir apa sih, Arsia!', segera Arsia mengingatkan dirinya.

"Lalu?" Arsia menunggu keputusan Salim.

"Kau tidak bisa tinggal di sini," jawab Salim to the point.

"A-apa?" Arsia terkaget-kaget. Sejenak dia berpikir kalau Salim tak akan setega itu padanya. Bagaimanapun dialah korbannya.

"Aku akan kembalikan uang sewamu yang diambil oleh Yıldıray," lanjut Salim.

"Bukan itu masalahnya. Di mana lagi aku bisa dapat sewa dengan harga semurah ini? Aku hanya mahasiswa," kata Arsia. Suaranya terdengar sedikit tercekat. Dia masih belum pulih dari rasa kagetnya.

"Aku dengar tiap universitas punya asrama?"

"Ada. Tapi pasti sudah penuh oleh mahasiswa baru," jawab Arsia putus asa.

Salim terdiam. Dia berpikir sembari memandang pada Arsia. Entah mengapa dia menikmati pemandangan di depannya itu.

Wajah Arsia yang kebingungan seperti membangkitkan sesuatu dalam dirinya. Semacam perasaan kalau dia mampu membantu gadis itu keluar dari masalahnya. Baru kali ini Salim merasakan hal seperti itu terhadap seorang wanita. Meskipun begitu, Salim tetap pada keputusannya. Arsia tidak bisa tinggal di rumahnya. Mungkin hanya tenggang waktu yang dapat diberikannya.

"Baiklah kau dapat tinggal di sini selama seminggu. Dalam waktu seminggu itu kau harus sudah dapat menemukan tempat sewa baru. Aku akan membantumu kalau kau mau."

Sepasang mata bulat Arsia memandang Salim. Sebenarnya dia sangat keberatan, tidak rela malah. Tapi atas dasar apa dia dapat bersikukuh untuk tinggal di sana. Sepertinya lebih baik berkompromi dengan Salim dibandingkan bersitegang dengan pria tersebut. Bukankah Salim juga menawarkan diri membantunya?

"Bagaimana kalau dua minggu?" Arsia menawar.

Salim dengan tegas menggelengkan kepalanya. "Aku akan tinggal di sini. Kalau kau tidak keberatan tinggal dengan pria asing, itu urusanmu. Tapi aku keberatan."

Pernyataan Salim tak ayal membuat Arsia naik pitam. Niat awalnya untuk berkompromi dengan Salim dengan segera dihempaskannya. Seketika Arsia merasa menyesal karena tadi sempat berpikir yang baik-baik mengenai Salim.

"Lelaki kurang ajar! Kau pikir aku apa?!" bentaknya pada Salim.

Arsia pun mengeluarkan dua kunci yang diberikan Yıldıray padanya. Dengan amarah dia meletakkan kunci-kunci tersebut ke atas meja di hadapan keduanya. Bunyi 'tak' yang keras terdengar saat kunci-kunci itu berbenturan dengan meja di bawah tekanan tangan Arsia.

"Aku akan keluar dari sini sekarang juga!" serunya.

Tanpa menunggu, Arsia berlalu dari ruang tamu. Amarahnya kepada Salim perlahan berubah menjadi sakit hati yang sangat menusuk jiwa. Baginya ucapan Salim itu tak ada bedanya dengan mengatai dirinya sebagai pelacur.

Arsia tidak peduli bila malam sudah larut. Dia akan mengemasi barang-barangnya sekarang juga. Setelahnya Arsia akan kembali ke apartemen yang dia tinggali sebelumnya. Haram baginya untuk tinggal di sini setelah apa yang terjadi. Lagipula Nadia dan Alina masih akan di sana selama dua minggu. Begitulah rencananya.

Sampai langkahnya tertahan.

"Kau tidak bisa pergi kemana pun," ucap Salim sambil menahan lengannya.

Next chapter