1 Prolog

"Aduh, capek" kesal Dinda.

"Ini anak, dari tadi ngomel aja lho!" gumam Reta

"Udahlah, nikmatin aja adu" sahut Livi.

"Iya wes iya" Dinda mengiyakan

***

Hari yang ditunggu-tunggu Dinda akhirnya pun tiba. Camping di hutan merupakan salah satu keinginan Dinda semenjak kecil. Tak pernah disangka, kalau berjalan di hutan akan menjadi sangat melelahkan. Dasar Dinda, terlalu polos dan sangat keras kepala.

Dinda merupakan anak tunggal. Dinda tinggal di sebuah kos dekat sekolahnya. Sekarang Dinda sudah duduk di bangku SMA kelas 11. Memasuki liburan kenaikan kelas, Dinda dan kedua sahabatnya berencana untuk pergi ke hutan sesuai dengan keinginan Dinda sejak kecil.

Pasalnya, Dinda tidak pernah kembali ke rumah dan tidak akan kembali ke rumah. Sewaktu Dinda kelas 5 SD, Dinda mulai merasa muak dengan keadaan ekonomi orang tuanya yang mengharuskan Dinda membantu berjualan di pinggir jalan.

Dinda merasa malu, jika harus berjualan, sedangkan teman-teman lainnya bisa shopping ke mall, bercanda ria dengan keluarganya, jalan-jalan bareng teman-teman.

Dinda sudah terpengaruh dengan teman-teman di sekolahnya ini. Maklum, Dinda mulai memasuki awal pubertas. Tidak jarang, jika Dinda mengomel dan merengek untuk dibelikan sepatu atau tas baru.

---

"Aduh, Bundaaaaaa!!!" teriak Dinda

"Iya, kenapa Nak?" seorang wanita dengan muka lelah setelah berjualan keripik kentang di pinggir jalan yang dengan suara lembut menghampiri Dinda.

"Ih, muka Bunda kusam banget deh. Dinda malu kalau sampai teman-teman lihat. Ini nih, Dinda mau beli tas baru. Minta uangnya Bunda! Udah jelek banget tas Dinda." suara Dinda yang mengeras membuat Bunda hanya bisa menghembuskan nafas berat melihatnya. Anak yang di didiknya sejak kecil, sekarang sudah berubah menjadi seorang remaja yang tidak tahu sopan santun. Yang hanya bisa menuntut, tanpa mau berusaha. Hanya memiliki mimpi, namun tidak mau gagal.

"Iya Nak, butuh berapa?" jawab Bunda lembut menutupi rasa kecewanya.

"500.000" sahut Dinda dengan santainya.

Bunda mendelik mendengar ucapan santai Dinda yang baru saja menyebutkan nominal uang. Keripik yang dijual Bunda hanya bisa menghasilkan 50.000/hari untuk keperluan keluarga. Belum lagi, ditambah Ayah yang sakit-sakitan dan harus berobat. Bunda hanya bisa menutup mata dan menerima kenyataan sambil tetap bersyukur.

"Nanti ya Nak, Bunda pasti belikan tas baru buat Dinda"

"NGGAK MAU BUNDA! Tas yang Bunda kasi pasti tas pasar yang murahan itu. Udah murah, jelek, kotor lagi!" gertak Dinda yang tingginya sudah di atas Bunda sambil melotot ke arah Bunda yang kian terlihat kesedihannya.

"Udah ah, Bunda keluar. Dinda butuh waktu sendiri. Mana Bunda bau banget. Jadi terkontaminasi ruangan tidur Dinda." gerutu Dinda lalu menutup pintu dengan keras.

Bunda hanya bisa menangis untuk kesekian kalinya akibat perilaku Dinda. Kata-kata yang dilontarkan Dinda telah membuat hati Bunda hancur berkali-kali.

"Ya Tuhan, apa salah saya to. Kenapa anakku kok jadi begini. Kenapa Tuhan?" suara isak Bunda terdengar lemas, tangisannya pun kian menderas.

---

Begitulah Dinda. Tidak lama dari kejadian tersebut, lalu Dinda kabur dengan membawa seluruh uang Bunda dan menitipkan surat untuk terus memberikan Dinda uang saku serta biaya untuk sekolahnya.

avataravatar