19 Bab 19. Bukan Cemburu, Kan?

Mereka duduk berdua sama-sama memeluk lutut masing-masing. Berry mengurungkan niatnya untuk bisa segera pergi dari sana karena keberadaan Arka. Sepertinya halnya dengan Cherry, pertemuan Berry dengan Arka juga serba tak sengaja. Seolah takdir sedang membuat permainannya sendiri untuk nantinya menjadikan sebuah ikatan. Atau seperti apa takdir nanti akhirnya akan berujung biar takdir itulah yang tahu.

"Bagaimana keadaan Mama kamu?" Arka memulai percakapan. Angin malam seolah tak membuat mereka terpengaruh sama sekali. Namun percayalah dingin itu masuk ke dalam celah-celah pori-pori kulit dan membuat mereka merasa dingin.

"Belum." Jawab Berry, "Abang kenapa kesini? Udah selesai jadwalnya?"

Arka menggeleng, "Belum, ada istirahat sebentar dan aku selalu datang ke tempat ini." Ini baru pertama kali Berry naik sampai rooftop rumah sakit, karena itu dia baru tahu jika Arka juga suka berada di sana.

"Ketenangan yang di dapatkan di sini bisa membuat nyaman. Ada banyak hal yang perlu dipelajari, karena itu ketenangan sangat penting." Keduanya kembali terdiam. Berry tak cukup obrolan untuk bisa disampaikan karena memang dia adalah orang yang cukup pendiam. Hanya membahas hal-hal yang penting saja biasanya. Tapi berbeda jika dengan teman-temannya. Meskipun masih saja diam, tapi kalimatnya bisa keluar lebih banyak jika dengan mereka. Itu memang perbedaan yang mencolok.

Dia adalah seorang guru les privat. Dia mengajar dari anak SD sampai dengan SMA. Namun dari mereka yang diajar oleh Berry, semua merasa bisa menerima penjelasan yang diberikan kepada mereka. Berry tahu bagaimana mengambil hati mereka, dan cara penjelasannya pun sangat mudah dipahami. Itulah sebabnya dia mampu menjadi seorang guru. Ada banyak permintaan, untuk dia mengajar secara privat. Hanya saja dia tak memiliki banyak waktu untuk itu.

"Apa hubungan kamu dengan Cherry?" pertanyaan itu tiba-tiba saja terlontar dari bibir Arka. Sepertinya ini adalah sebuah keberuntungan yang terjadi karena tidak sengaja mereka ada di tempat yang sama.

"Hubungan teman."

"Apa itu mungkin?" Arka menatap ke samping dan mencoba menilai Berry dari kacamata lelaki itu. Arka mengakui jika Berry tampan. Jika disandingkan dengan adiknya, mereka cukup serasi.

"Kenapa nggak mungkin?"

"Bukannya kalian sudah sering bertemu?" entah dari informasi dari mana Arka mengetahui hal tersebut. Apa mungkin lelaki itu memiliki mata-mata?

"Kami satu kampus, jadi wajar kalau kami sering bertemu. Tapi untuk saat ini, aku dan Cherry hanya temen." Jawaban Berry.

"Aku sudah menduga." Gumam Arka, "Cherry itu nggak bakalan bisa dapetin lelaki seperti kamu. Dia itu kurang pas memang kalau sama orang-orang ganteng." Maksud Arka bukan untuk menjatuhkan adiknya. Hanya saja, dia sedikit memancing lelaki yang ada di sampingnya itu. Tentu saja bukan tanpa alasan dia mengatakan hal semacam itu.

Karena laporan yang sudah didapatkan dari tukang kebunnya waktu itu, adalah salah satu hal yang bisa dijadikan senjata oleh dirinya untuk mengetahui hal terdalam dalam sebuah hubungan adik perempuannya dengan lelaki yang ada di sampingnya itu. Karena, ini adalah kali pertama adiknya kedapatan bersama dengan seorang lelaki dan berani duduk berdua di depan rumahnya.

" Bukan seperti itu, Bang." Berry sepertinya merasa tidak enak hati ketika Arka 'menjatuhkan' adiknya sendiri. Karena bagi Berry, memang hubungan yang terjadi dengan Cherry benar-benar masih sebatas teman. Tidak ada yang lebih dari itu.

Lalu apa ada kemungkinan hubungan itu akan berlanjut? Maka bisa saja itu terjadi. Toh faktanya memang dia juga merasa ada ketertarikan yang dirasakannya dengan Cherry.

"Sudahlah." Jawab Arka, "Saya akan carikan dia dokter saja. Biar saja kalau dia nakal disuntik saja. Dia kan takut jarum suntik." Setelah mengatakan itu, Arka berdiri. Mengajak serta Berry untuk segera masuk kembali ke rumah sakit karena istirahat yang dimilikinya sudah berakhir.

Berry tahu jika mungkin saja Arka tadi sedang berbohong. Tapi sayangnya, justru ucapan itu membuat Berry berpikir banyak sekarang. Tiba-tiba saja otaknya memikirkan tentang banyak hal, dan salah satunya adalah membayangkan Cherry bersama dengan orang lain. Maksudnya, lelaki lain. Tertawa bersama, bergandengan tangan dengan lelaki itu.

Bukankah Arka mengatakan jika dia akan lelaki itu akan mencarikan dokter juga? Sungguh, membayangkannya saja tiba-tiba membuat Berry tegang seorang diri. Ada di dalam hatinya yang menginginkan itu tak boleh terjadi. Tapi di sisi lain, dia tak memiliki hak apapun.

Dan demi Tuhan, Berry tiba-tiba bad mood karena itu. Dia hanya merasakan pikirannya tiba-tiba kacau dan dia tak terlalu tahu apa penyebabnya. Bahkan ketika dia masuk ke dalam kamar ibunya, Berry sama sekali tak menanggapi apa yang dikatakan oleh wanita yang sedang mengajaknya bicara.

"Berry!" panggilan itu akhirnya menendang pendengarannya dan mampu membuat lelaki itu bangun dari lamunannya.

"Ya, Ma." Mendekati ranjang ibunya, Berry berdiri di sana.

"Kamu sepertinya sedang banyak pikiran?"

"Hanya sedang memikirkan sesuatu aja, Ma." Jawabnya menutupi. Hanya saja, tak ada seorang ibu yang tidak mengenali perubahan yang terjadi pada anaknya. Namun ibu Berry hanya bisa diam tanpa menanyakan lebih lanjut lagi. Memberikan kenyamanan untuk putranya adalah hal yang lebih baik dibandingkan dengan memaksa agar putranya mengatakan urusannya. Bagaimanapun dia memiliki privacy yang mungkin saja belum mau atau bahkan tidak mau jika hal itu diketahui oleh orang lain meskipun keluarganya sendiri.

Paginya, ibu Berry sudah diperbolehkan pulang. Banyak petuah yang diberikan oleh dokter kepada beliau agar tidak kambuh lagi. Kursi roda sudah ada di kamar, dan Berry meminta agar ibunya duduk di sana supaya dia bisa mendorongnya.

Beliau menolak karena itu, "Mama bisa berjalan, Berry. Mama kan nggak lumpuh." Begitu katanya dengan nada portes.

"Nggak apa, Ma. Berry bersedia." Ibu Berry hanya sanggup tersenyum dan tak lagi mengatakan apapun lagi setelahnya. Duduk di kursi tersebut dan akan segera pulang. Tapi sejak tadi ayahnya tak muncul. Sambil menunggu lelaki itu datang, mereka mengobrolkan sesuatu yang bisa mencairkan suasana. Toh mereka sudah lama tak mengobrol hangat seperti sekarang.

"Maaf-maaf. Ayah telat." Lelaki yang ditunggu datang dengan wajah yang terlihat sangat bahagia. Entah karena apa. Tapi tak lama setelah itu, ada seorang gadis cantik yang ikut datang ke ruangan itu dengan senyum manisnya.

"Selamat pagi, Tante." Sapanya kepada ibu Berry. Jika Berry adalah lelaki jelalatan, dia pasti sudah menancapkan pandangannya pada gadis itu. Sayangnya itu tak akan pernah terjadi. Berry hanya sekilas memandang gadis itu dan kemudian bertanya kapan mereka akan segera meninggalkan tempat tersebut.

Mereka keluar dari kamar dengan Berry yang berada di depan dengan mendorong ibunya yang duduk di kursi roda. Turun ke lantai dasar, dia mendapati pemandangan yang entahlah, dia bahkan tak bisa menjabarkan.

Di sana, Cherry sedang berbicara dengan dua orang lelaki yang menggunakan jas putih dan salah satunya adalah Arka. Lalu pertanyaannya adalah, siapa lelaki yang satunya lagi?

*.*

avataravatar
Next chapter