webnovel

3 Kebingungan Hati

"Lancang sekali kamu Nez, tidak pernah kamu berbicara seperti ini pada Ayah. Jangan sampai Ayah melakukan hal-hal yang tidak kamu inginkan." Tatapan Ayah marah kepadaku dengan muka merah merona seakan mau menerkam mangsa,

"Nak Arman pulanglah nak," tambah Ayahku sedikitpun tanpa belas kasihan. Ibuku hanya menangis menutupi wajahnya pertanda dia tak mampu melakukan apa-apa.

Dia beranjak berdiri dari kursinya, dengan langkah gontai mengiringinya. Arman yang semakin lama semakin menjauh dariku tak terlewatkan sedikitpun olehku. Mataku tak mau kehilangan sosoknya yang semakin menghilang. Aku yakin air matanya tumpah juga sehingga tak sanggup dia menolehkan wajahnya ke arahku. Bahkan ucapan pamitan kepadaku tak terucap dari bibirnya. Kebiasaan salim kepada orang tuaku juga tidak ia lakukan. Dia melangkah pergi begitu saja. Mungkin sedih bercampur malu karena tangisannya itu tak terbendung lagi, seakan menampakkan ketegaran meskipun lunglai, ya, jangankan seorang Arman. Seorang Ksatria atau Raja yang punya segalanya pun pasti akan hancur dan menangis bila patah hati seperti ini. Arman aku mencintaimu, hanya kamu, aku akan perjuangkan cinta kita. Tidak mungkin padam secepat ini. Aku pun diam membisu berusaha mencerna apa yang baru saja menimpaku, otakku tak mampu berfikir akan logika yang dijelaskan Ayahku, ya Allah Ya Tuhanku... aku berharap ini hanya mimpi buruk semata.

Seketika aku ambruk terduduk dengan dihinggapi seribu tanya. Berbarengan dengan itu sesosok yang sedari tadi aku tatapi telah menghilang berlalu. Kepergiannya menyisakan pilu. Bulir-bulir air mata ini tak mau dibendung utuh. Pundi-pundi cinta ini telah luluh lantah bersama dengan kepergiannya. Ratapan dan jeritan tak dapat diindahkan lagi.

"Inez, yang tabah sayang. Sakit ini akan berubah jadi kebahagiaanmu kelak." Dekapan hangat Ibuku seketika memecah perdebatan antara hati dan pikiranku ini.

"Inez, Ayah hanya mau masa depanmu cerah, akan ada cinta lain yang akan menyembuhkanmu. Percayalah pada Ayah," bujuk Ayah kepadaku. Sungguh tak berarti apa-apa. Seonggok tubuh ini tak berdaya tak ada guna bila hati telah patah.

Ya, baru saja Ayah katakan.

Sepekan yang lalu Ayah bertemu sahabat lamanya yang tinggal diluar kota.

Sepekan yang lalu mereka entah berbincang apa antara Ayah dan Ayah berjumpa. Lama tak bersua.

Sepekan yang lalu itulah yang juga mengubah keputusan dan pandangan Ayah disana.

Sepekan lalu itupun yang menjadi musabab hancurnya relung hati dan balung jiwa raga.

Sepekan yang lalu pula yang menjungkir balikkan dunia apikku bersama punjangga jiwa.

Sepekan yang lalu menjadikan benang-benang rajutan kami terburai berserakan didada.

Ayahku, Riyanto Yulivan tak akan mungkin menarik ucapannya. Tegas berwibawa dan keputusan saklek yang tak mungkin diubahnya. Lebih baik malu daripada menelan ludahnya kembali.

Tega sekali Ayah menukar jalinan kasih kami selama bertahun-tahun hanya dengan masa sepekan saja. Apakah Ayah menjamin bahwa keluarga kaya itu adalah orang yang budiman? Bukankah tak menutup kemungkinan orang akan berubah dalam kurun waktu yang sekian lama?

Bersahabat dengan Ayah sebaik semut dengan semut, bisa jadi sekarang sahabat Ayah itu seperti kucing dan tikus. Ada udang di balik batu? Menjadi orang yang tidak lagi seperti dulu? Siapa calonku itu? apakah dia residivis, apakah dia bandit, apakah dia player? Apakah dia setia? Berbalut jas dan jabatan menarik dimata Ayah, sehingga Ayah menilai rendah keluarga ini, seolah-olah butuh sandaran kepada yang berlebih? apakah dia sebaik Arman?.

Tidak!!! Tidak akan ada lelaki sebaik Arman, dia satu-satunya penghuni hatiku.

Tak kuasa aku memikirkannya.

Ibuku mengajakku berdiri dan terseok-seok langkah ini digandeng menuju kamarku. Di dudukkan Aku pada kasur empukku, halusnya belaian dan usapan ibu ke kepalaku.

"Anakku, semua akan berlalu. Yakinlah orang tuamu ini pasti memilihkan yang terbaik untukmu. Semua demi kebaikanmu, Nak Arman pria yang sangat baik, tapi Ayahmu sudah yakin ada yang lebih baik untukmu, Nak." Sentuhan-sentuhan hangat seorang Ibuku tak mampu menghangatkan raga ini yang terasa dingin mengkaku.

"Apa jaminannya Ibu? Ibu sekalipun tak pernah ketemu dia kan? Bagaimana ibu sangat yakin? Ibu tak juga kenal dengan sahabat Ayah itu? Sahabat dulu bukan sahabat yang sekarang. Orang bisa berubah Bu, kita tidak tahu ada niat apa orang itu?" jelasku seraya menggenggam ketakutan.

"Jangan begitu sayang, kita selalu berdoa kepada Allah untuk kebahagiaanmu, semua yang terbaik untukmu. Ingat ridho Allah Tuhan Yang Maha Esa, terletak pada keridhoan kedua orang tuamu. Murka Allah ada pada murka orang tuamu, jadi jika kami ridho akan keputusan kami, Allah akan meridhoi hubunganmu dengannya." Panjang lebar Ibu mengatakan entah ini bujukan atau pencerahan.

Tidak semudah itu memahami, meskipun yang dikatakan ibuku adalah sebuah kebenaran yang hakiki,

"Istirahatlah Nak, bebanmu akan segera berangsur-angsur berkurang. Jika butuh sesuatu panggillah Ibu ya? Sayang" pamit ibu sembari mengecup kening ini.

Sungguh tak surutpun derai air mata ini, mengalir kian deras saja. Apa bisa aku tidur sedangkan jiwa raga susah payah??.

Sekarang apa yang harus aku perbuat, apa yang harus aku katakan pada Liza, Ardy dan semua teman kerjaku sedangkan sangat tenar aku dan Arman adalah sepasang merpati yang tak dapat dipisahkan.

Arman, dimanakau sekarang? Apa yang kau lakukan? Aku ingin menelfonnya, tapi jika aku menghubunginya sekarang apakah menjadi penyembuh atau makin menambah lukanya? Tidak, biarkan saja dia tenang. Esok hari baru aku hubungi.

"Cempling" bunyi Hp qu,

[Inez, kau akan selalu dihatiku. Hubungan kita terpaksa kandas, tapi takkan ada yang bisa paksa aku untuk jauh darimu, andai meskipun aku harus jadi sebuah kertas, agar aku bisa bersamamu selalu, menjadi lembar kerjamu. Cintaku takkan kulepas, tidak hari ini dan tidak sampai kapanpun, maafkan aku tadi pergi tanpa pamit, aku tak mampu menoleh lagi]

Sepotong pesan melalui selular pintar ini sedikit menyejukkan hatiku. Percikan embun kelegaan telah aku rasakan. Bersyukur kami masih satu sinyal. Dia memberi kabar terlebih dahulu ketika aku mengkhawatirkan keadaannya.

[Aku sudah menduga pasti itu yang terjadi tadi. Kita harus yakin perjuangan cinta ini tidak akan berhenti sampai disini Arman. Aku selalu bersamamu "Inez cantikmu"]

Tak lupa emote Love dan predikat itu tercantum selalu setiap kami berbalas chat sejak dulu, awal pertama kita jadian dulu.

Liza dan Ardy berkali-kali coba hubungi aku, tapi aku tak mungkin menjawabnya. Sikon gawat seperti ini, malah makin tumpah air mata ini bila aku angkat telfonnya. Maafkan aku Liza, bukan sekarang, nanti akan aku ceritakan semuanya. Semuanya tak bersisa, selama ini engkaulah sahabat yang paling mengerti aku.

Lalu aku matikan Handphone ku,

mungkin besok atau mungkin lusa.

Ah besok masih Ahad. Aku tak ingin bertemu atau bicara dengan siapapun dulu.

Aku juga tak tahu apakah hari senin bisa masuk kerja atau tidak.

Entahlaaaah ...

Aku tak tahu apa yang akan aku lakukan setelah ini? Setelah hari ini.

Next chapter