1 Tragedi Tak Terduga

Udara yang begitu dingin berhasil membangunkanku. Meski mataku begitu berat untuk dibuka. sayup sayup kumelihat sekitaran. kupandangi sekeliling yang tampak begitu asing dimataku.

"Ini di mana?" tanyaku dengan penuh kebingungan.

kulihat seragam sekolahku tergantung rapi disudut ruang. tersadar, aku pun segera melepas selimut putih yang menutupi tubuhku. kini diriku hanya mengenakan kemeja putih lengan panjang yang tak berkancing, tanpa pakaian dalam.

Kututupi wajahku dengan kedua tangan. Dengan penuh kebingungan aku mencoba mengingat kejadian tadi malam.

***

Malam itu seperti biasanya aku mengajar les private hingga sore hari. Namun, derasnya hujan membuatku harus pulang lebih lama. Dengan masih menggunakan pakaian seragam, aku menunggu angkutan di halte bus.

Tiba tiba dua orang bergaya preman menghampiriku yang tengah sendirian. Mereka menarik paksa tas dan gawaiku. Saat itu aku berusaha keras mempertahankan semuanya. Hingga akhirnya aku terdorong jatuh, kepalaku pun terbentur tiang halte. Bayangan terakhir yang kuingat, preman itu kabur meninggalkanku. Setelah itu aku lupa akan apa yang terjadi.

Dengan penuh usaha keras, aku terus mencoba mengingat yang terjadi selanjutnya. Tapi, bukan ingatan yang aku dapatkan. Justru rasa pusing dikepala yang semakit membuatku sulit untuk berpikir.

Perlahan aku bangkit, namun rasa nyeri dibagian vaginaku membuat langkahku terhenti. aku pun kembali duduk dipinggir ranjang. Mataku tertegun, melihat bercak darah dibagian tempat yang aku tiduri.

Pikiranku kacau, rasa takut pun menghampiri. Apa yang terjadi tadi malam? apakah aku sudah tidak suci lagi? siapa yang melakukan ini padaku?.

Tubuhku terkulai lemas. Tangisku lepas, dadaku sesak dengan sejuta pertanyaan. Kepalaku begitu berat seakan mau pecah. Aku tidak mampu terima dengan apa yang terjadi.

Beberapa saat setelah puas menangis. Aku pun bangkit, tiada guna aku berlama-lama disini. Aku harus segera pulang, aku tak mau ayah hawatir. Kubersihkan tubuhku dan kukenakan kembali seragamku. Kusimpan kemeja putih itu kedalam tas kertas yang ada diatas meja. Aku keluar kamar dengan sembunyi-sembunyi. Aku tak mau sampai ada yang mengenaliku. Kututupi wajahku dengan jaket hitam kesayangan.

Aku pun berhasil keluar dari hotel mewah itu. Aku berjalan jauh untuk sampai kerumah. yah, berjalan kaki. Karena tak ada sepeserpun uang yang kumiliki saat itu.

Waktu telah menunjukkan pukul tujuh. Aku bingung harus menjawab apa jika ayah bertanya mengapa aku tak pulang tadi malam.

Aku terus berjalan, dengan rasa perih dan pusing yang harus kutahan. 30 menit berlalu, aku pun sampai dirumah. Kulihat ayah tengah batuk-batuk terduduk di ruang tamu.

"Yah, sudah sarapan?" tanyaku menghampiri sambil mencium tangan ayah.

"Sudah, kamu darimana saja?" tanya ayah dengan mata yang menatapku tajam.

Rasa takut pun kembali menghampiri. Aku tak berani membalas tatapan mata ayah. Aku hanya tertunduk sambil menjawab "Rumah teman Yah, ada tugas kelompok," kemudian aku pamit menuju kamar.

Kuhempaskan tubuhku diatas tilam kapuk yang lusuh. Air mataku kembali mengalir deras, tanpa bisa kuhentikan. Sesak dada dan lelah tubuh bercampur. kuremas kuat seragam yang kukenakan. Ada rasa jijik terhadap tubuh ini. Kesucianku telah direnggut lelaki yang tak kukenal, saatku tak sadarkan diri. Diriku rusak, harga diriku hancur. Aku telah membuat malu keluarga. 'Maafkan aku yah, maafkan aku bun' hanya kalimat itu yang aku terus bergumam dalam hatiku.

Tak pernah terbayangkan hal ini sampai terjadi pada diriku. Aku benar benar berada dititik terendah saat ini.

Hari ini kuhabiskan banyak waktu mengurung diri di kamar. Tak seperti biasanya, waktu libur kugunakan untuk bersih-bersih rumah dan bercerita manja dengan ayah.

Ayah sudah tidak bekerja dua bulan ini. Batuk ayah semakin parah, hingga membuatnya kehilangan banyak berat badan. Setahun selepas bunda meninggal, ayah tampak tak semangat menjalani hidup. Hingga ayah menghabiskan banyak waktunya untuk bekerja hingga larut malam. Ayah selalu berkata pulang cepat membuatnya semakin sulit melupakan bunda.

Kami semua tiada pernah menyangka bunda berpulang lebih dulu. Kala itu tubuh bunda tiada mengidap penyakit apapun. Bahkan bunda jauh lebih sehat daripada aku. Kebiasaan bunda yang selalu bersih dan menjaga makan membuat bunda memiliki fisik yang bugar.

Sore itu bunda meminta izin kepadaku dan ayah untuk berbaring, bunda punya kebiasaan tidur siang selepas menunaikan pekerjaan rumah. Sedangkan aku memilih membaca buku dikamar dan ayah melihat TV ditemani secangkir kopi buatan bunda.

Hingga malam menjelang, bunda tak kunjung bangun. Ayahpun memintaku untuk membangunkan bunda, agar bisa menyantap makan malam bersama. Biasanya bunda tidak pernah telat untuk urusan makan, karena bunda tak pernah mau melewatkan jam makan dengan sendirian.

Aku pun beberapa kali memanggil bunda, namun tiada jawaban. Hingga akhirnya ayah memintaku untuk bangkit dan menghampiri bunda dikamar.

Kusentuh lembut tangan bunda, terasa dingin dan kaku. Kutelentangkan tubuh bunda yang tidur dalam keadaan miring. wajah bunda terlihat pucat, tak bergerak., meski sudah kugoyang dengan kuat.

Aku pun menjerit meminta ayah untung datang. Ayah pun berlari mendekatiku. Aku hanya menangis tak mampu berkata apa-apa. Melihat reaksiku, ayahpun mendekati bunda dan kembali mencoba membangunkan bunda yang mulai kaku.

Jemari ayah menyentuh hidung dan lengan bunda, ternyata semuanya telah berhenti. Bunda telah pergi. Tanpa kata dan pesan. Ia hanya izin ingin tidur bukan mati, pikirku.

Diraih ayah selimut untuk menutupi seluruh tubuh bunda. Aku terduduk lemas dengan kedua tangan menutupi mulutku. Ayahpun segera memelukku. menggotong tubuhku menuju kamar. Aku hanya terduduk bersandar ditiang ranjang. Menangis dan meraung.

"Minum dulu Nak!" pinta ayah.

Aku pun berusaha bangkit untuk minum, kepalaku terasa berat. Mataku bengkak hingga sulit terbuka. Kembali aku teringat akan bunda, lagi lagi tangisku pun pecah. Dengan sisa tenaga, aku curahkan rasa sesak didada dengan airmata.

"Sudah nak, ikhlaskan. Agar bunda pergi dengan tenang" bisik ayah sambil mendekap erat tubuhku.

"Masih ada ayah. Ayah enggak mau kamu terlalu lama berduka. Ayah enggak mau kamu kenapa napa nak. Ayah hanya punya kamu saat ini" ucapan ayah yang berusaha menenangkanku. Perlahan aku mencoba menghentikan tangisku. Rasa ingin muntah, hingga ayah memintaku untuk segera minum teh hangat yang sudah disediakan ayah.

"Yah, bunda sudah dikubur?" tanyaku perlahan.

"Sudah, semalam sore" jawab ayah singkat. Aku tau ayah juga berusaha tegar menahan tangis didepanku.

Aku terdiam, kepalaku pusing. Semalaman aku pingsan. Pantas saja tubuh ini begitu lemah dan rapuh.

"Makan dulu ya nak," pinta ayah.

Dengan nasi putih hangat berlauk telur mata sapi ayah menyulangiku perlahan. Sedikit pemaksaan dengan berulang kali minum agar nasi itu tertelan, akhirnya aku bisa menghabiskan seluruh makanan yang ada dipiring.

Sekarang aku sadar, aku telah lebih kuat dan sabar untuk menjalani hidup tanpa bunda. Namun aku tak tau, apakah aku sanggup menjalani hari akan apa yang sudah terjadi tadi malam.

Kubiarkan diriku berkurung dalam kamar seharian, dengan alasan banyak tugas kubiarkan ayah duduk termenung diteras rumah.

Aku butuh banyak waktu untuk menyendiri, guna menormalkan pikiranku yang kacau ini.

avataravatar
Next chapter