webnovel

Oppa

Pagi ini aku terbangun dengan rasa sakit di seluruh tubuh. Pusing yang teramat berat membuatku berasa ingin mual. Dengan rasa berat aku bangkit dan pergi menuju kamar mandi, kusalurkan hasrat ingin muntah itu. Namun tak ada yang keluar dari mulutku. Akhirnya aku pun memutuskan untuk mandi dan bersiap untuk ke sekolah.

Kuraih tas ranselku dan memeriksa jadwal mata pelajaran hari ini. Dibalik selipan buku kutemukan tas kertas yang berisi baju kemeja tadi malam. hal ini kembali memacu derasnya detak jantungku. Seketika tubuh ini mengeluarkan keringat, denyut kepalaku yang sempat hilang karena guyuran air mandi pun kembali nyeri.

Bergetar dan membuatku terduduk lemas di meja belajar. Ada rasa takut yang dalam, akan reaksi ayah kala tau apa yang tengah aku lewati tadi malam. berjuta-juta prasangka bergentayangan di kepalaku. Entah bagaimana jadinya penyakit ayah jika sampai ia tau.

Perlahan kuatur nafas yang terengah-engah karena ketakutan. Dengan berkali-kali mengeluarkan nafas melalui mulut, karena derasnya deru nafasku. Butuh beberapa waktu untukku mengembalikan tubuh ini kekeadaan normal. Masih dengan tubuh yang lemas, kuenyahkan tas kertas itu lalu kembali menyusun buku pelajaran hari ini.

Setelah menggunakan seragam, aku pun merapikan rambutku di depan cermin. Kupandangi tubuhku. Tak ada yang berubah. Kusoroti wajahku, tampak pucat dan bengkak di area mata. Yah, tangisku semalaman berhasil membuat wajahku jadi begini.

Aku tak boleh tampak lain di mata ayah dan teman-teman sekolah, aku tak ingin mereka berprasangka buruk padaku. Tiada yang akan tau apa yang telah aku alami tadi malam. selama aku bisa bersikap wajar dan ceria seperti biasanya. Perlahan kutimbulkan senyum nyengir yang biasa tergambar diwajahku. Namun kali ini senyum itu tampak kaku. Kugunakan liptint yang telah lama tersimpan di laci meja. Aku berharap warnanya mampu mengelabui wajah pucatku.

Kulirik jam dinding yang ada di sebelah lemari, ternyata aku terlalu lama menghabiskan waktu di kamar. Aku pun segera meraih tas dan ijin pamit ke ayah untuk berangkat ke sekolah.

Semenjak ayah tak bekerja, aku pun berangkat dan pulang dari sekolah dengan berjalan kaki. Semua ini aku lakukan demi mengirit biaya kehidupan. Gaji pensiun ayah akan kurang jika digunakan untuk semua kebutuhan. Itulah yang menyebabkan aku harus mengajar private setiap sorenya. Tak ada rasa keberatan ataupun lelah jika harus belajar sambil mengajar. Karena tak jarang, pelajaran yang kusampaikan kembali dipertanyakan dalam ujian. Sekalian mengulang pelajaran dan mendapatkan uang, begitulah pikirku.

"Han!" teriak Dodi dari kejauhan.

"Hai ...," jawabku dengan melambaikan tangan.

Dari seberang terlihat Dodi memutar balikkan motornya dan mendatangiku.

"Kok lama?" tanyanya dengan wajah tersenyum manis yang menjadi ciri khasnya.

"Telat bangun," jawabku dengan suara hampir tak terdengar.

"Kamu sakit? Kok, lain aura wajahmu?" tanyanya dengan mata yang melirik kesana kemari memperhatikan setiap sudut wajahku.

"Apaan, sih?" tanyaku risih.

"Yuk! Bareng. Entar telat kalau jalan," Ajaknya.

Aku pun dengan pasrah menaiki motor ninjanya. Dengan sisa tenaga tanpa sarapan ini membuatku tak yakin mampu berjalan ke sekolah.

Sepanjang perjalanan kami hanya diam, sesekali ia melihat kearahku. Entah apa maksudnya, namun aku hanya bisa tertunduk dengan tangan memegang besi motor dengan kuat. Dodi membawa motornya dengan santai, namun kencangnya angin berhasil membuat tubuhku seakan terbawa olehnya.

Waktu masih tersisa dua puluh menit, Dodi tak langsung membawaku ke sekolah. Tapi singgah ke warung sarapan yang ada di simpang jalan.

"Yuk, makan dulu!" ajaknya.

"Enggak, deh," jawabku kaku.

"Kalau begitu, temani aku sebentar ya," pintanya.

"Aku jalan aja, deh," jawabku sedikit memaksa.

"Sekali ini ... aja!" rayunya.

Aku pun menurut. Aku memilih duduk di kursi yang tak jauh dari parkiran motor Dodi. Dodi ini teman sekelasku. Ia baik dan perhatian. Ia juga suka ikut kemana aku dan Dea pergi. Ia pulalah yang sering kujadikan ojek pribadi dikala hendak jalan dengan Dea, karena Dea selalu diantar jemput dengan kekasihnya.

"Woi! ngelamun aja," tegur Dodi membuyarkan lamunanku.

"Makan, nih!" pintanya sambil menyodorkan sepiring lontong sayur dengan tumpukan kerupuk dan tauco yang banyak. Aku masih terdiam, antara ragu dan mau untuk menyantapnya.

"Makan aja. Aku sudah pesan lagi. Kamu suka begini kan, kalau pesan sarapan?" tanyanya merayu. Aku masih terdiam, lemas, namun hasrat makanku tak baik saat ini.

"Aku sulangi, nih!" ucap Dodi sambil mengangkat piring penuh makanan. Aku pun segera meraih piring itu dan memakannya. Aku tak ingin, Dodi nekat menyulangiku di tengah keramaian. Karena aku paham betul sifatnya yang selalu nekat jika aku diam saat menolak.

"Gitu dong. Makan yang banyak ya, Nak. Biar cepat besar," ucapnya sambil membelai rambutku seakan tengah berbicara dengan anak perempuannya.

"Apaan, sih?" tanyaku dengan bibir penuh makanan.

"Ha ... ha ... ha ... ha ...," tawanya lepas, ada rasa puas dihatinya melihatku makan dengan lahap.

"Yuk - kita pergi ke sekolah!" ajaknya. Setelah berhasil memaksaku menghabiskan sepiring lontong sayur dan segelas teh manis hangat.

Siswa-siswi terlihat ramai, banyak dari mereka yang melirik kearahku. Yah, ada rasa cemburu diraut wajah mereka. Bagaimana tidak? Dodi itu termasuk cowok favorit di sekolah. Wajah tampannya yang berbalut kulit putih, membuatnya di gelari 'Oppa'. Tubuh tinggi dan senyum ramahnya berhasil membuat orang luluh lantah melihatnya. Suka menolong dan tak pandang siapa yang harus ditolong, membuatnya dikenal banyak orang.

Hal ini pun menjadi makananku sehari-hari, dipandang tajam karena terlihat berjalan bersama dengan Dodi. Namun ini tak berlaku di kelasku. Mereka semua sudah tau kedekatanku dan Dodi juga Dea. Mereka juga tau kesibukanku, juga keinginanku untuk tidak berpacaran.

"Han ... uda sarapan?" tanya Dea dengan tangan berisi kotak bekal.

"Udah, dong. Sama abang ...," jawab Dodi penuh bangga, dengan kedua tangan menyentuh kerah bajunya.

"Ih, kok bisa?" tanya Dea yang begitu penasaran. Karena ia tau, aku tak mudah diajak makan. Apalagi dibayari dengan lelaki, meskipun itu Dodi.

"Abangkan tau seleranya Hanna, Dek," jawabnya sombong yang kemudian berlalu meninggalkanku yang masih terdiam.

"Emang, Mama kamu bawa apa?" tanyaku pelan.

"Nasi goreng pedas kesukaanmu," ucapnya kecewa.

"Ya sudah, entar istirahat siang aku makan," jawabku dengan senyum terpaksa.

"Ye ... Ngomong-ngomong, wajah kamu kenapa? Itu pakai liptint, ya?" tanyanya dengan wajah curiga. Dea menjadi satu-satunya orang yang suka memaksaku untuk berdandan.

"Apaan,sih?" tanyaku yang segera membuang muka dan berjalan menuju meja.

Hari itu pelajaran berjalan dengan lancar, namun aku tak mampu berkonsentrasi. Sesekali rasa pusing di kepalaku timbul. Mataku seakan kabur saat memandang kearah papan tulis. Hal ini pun diketahui Dea selaku teman sebangkuku. Ia pun bergegas meminta izin guru untuk membawaku ke ruang UKS.

Aku pun membaringkan tubuhku disana. Berharap, tubuh ini kembali pulih dan segar. Aku tak mau Dea dan Dodi merisaukan keadaanku. Terlebih Dodi, ia akan memaksaku untuk berobat atau diantarkan kerumah.

Next chapter