webnovel

part one

Alvia seorang gadis remaja yang jelita. Kecantikannya banyak memancing kekaguman dari para pemuda. Namun, tidak mudah mendekati Alvia, kakak kembarnya, Alvian selalu melindungi adik kecilnya itu. Alvian adalah seorang pemuda yang tampan dan banyak digandrungi oleh para gadis.

Suatu hari, tragedi menimpa keluarga terpandang tersebut. Alvian meninggal bunuh diri, padahal Alvian adalah pewaris keluarga. Jika ada yang tahu Alvian dengan cara tidak wajar, maka nama baik keluarga akan tercoreng. Kerabat akan berdatangan untuk memperebutkan posisi istimewa Alvian.

Ayah dan ibu Alvian merasa sedih dan terpukul dengan peristiwa yang menimpa putra mereka, begitu pula Alvia. Kakak yang selama ini melindunginya tidak lagi ada.

***

Suara ketukan di kamar tidak membuat Alvia segera menjawab. Gadis itu masih berkubang dalam kesedihan. Tidak lama, seorang wanita paruh baya membuka pintu dan bergegas masuk.

   "Alvia, Ayah dan Ibu sudah memutuskan, ini mungkin sulit, tetapi meninggalnya Alvian harus tetap menjadi rahasia," tukas wanita itu.

   "Tetapi, bagaimana bisa?" tanya gadis itu sembari menyeka air mata yang masih mengalir. Mata Alvia bahkan nampak sebab karena banyak menangis.

   "Itulah yang ingin kami bicarakan. Kami ingin kau menjadi Alvian."

   "Apa? Apa maksud Ibu? Bagaimana bisa? Mana bisa aku menjadi Kak Alvian?" sahut Alvia dengan nada kebingungan.

***

   Semua kemudian berjalan cepat. Pakaian Alvia disingkirkan. Kamar Alvia juga berganti rupa. Begitu pula dandanan gadis itu. Rambutnya dipotong cepak seperti milik Alvian. Dia juga mengenakan pakaian seperti seorang pemuda.

   Dandanan dan cara berjalan semua dilatih menjadi seorang lelaki. Di hadapan semua orang, yang meninggal adalah Alvia, bukan Alvian, karena itu, Alvia harus hidup sebagai Alvian.

   Ibu dan ayahnya berdecak kagum melihat perubahan putri mereka. Ia sekarang benar-benar mirip Alvian.

   "Sampai kapan aku harus hidup seperti ini?" tanya gadis itu saat duduk bersama orang tuanya.

   "Saat ini, kau harus bertahan sebagai Alvian. Ayah dan ibu akan mencari cara agar hak kuasa tetap jatuh padamu, setelah itu kau bebas," ujar ayahnya.

    Alvia meraba rambut pendeknya. Dulu ia sangat menyayangi rambut panjangnya, kini ia kehilangan semua itu.

    Gadis itu mengambil gelas di meja dan meneguk isinya.

   "Oh ya, Ayah dan Ibu sudah mendaftarkanmu di sekolah baru sebagai Alvian," ujar ibunya tiba-tiba. Alvia terkejut dan langsung terbatuk.

   "A-pa? Apa maksud Ibu? Bagaimana bisa ...?" tanya Alvia gelagapan.

   "Meski sekarang kau menjadi Alvian, kau tidak boleh ketinggalan pelajaran, jadi kau tetap harus melanjutkan sekolah," ujar ibunya.

    Alvia tertegun. Jadi, ia harus bersekolah sebagai murid laki-laki? Bagaimana bisa? Ia pasti langsung ketahuan.

   "Kau tidak boleh sampai ketahuan. Tidak seorangpun boleh tahu, kalau kau seorang gadis. Kalau tidak, kau harus tinggal dengan nenekmu di desa," ancam ayahnya.

   "Ayah dan ibu tenang saja, aku pasti tidak akan ketahuan," tegas Alvia. Bayangan harus tinggal di desa dengan neneknya yang super cerewet membuatnya bertekad agar rahasia dirinya tidak terbongkar.

***

   Alvia tersenyum manis di depan kelas, saat guru wali kelas memperkenalkannya. Tangan terkepal erat dan jantungnya berdebar keras. Tanpa sadar, berulang kali jemarinya melipit celana panjang kain yang dikenakan.

   "Baiklah, sekarang kau boleh duduk, Reva, Alvian akan duduk di sampingmu," ujar si ibu guru sembari menunjuk kursi kosong di ujung belakang. Seorang gadis berkacamata duduk seorang diri di situ.

   Alvia mengangguk sembari menghela napas lega. Ia segera menuju ke tempat tersebut.

   "Hai," sapanya ramah kepada gadis di sampingnya tidak lama setelah dia duduk. Namun, gadis bernama Reva itu sama sekali tidak menjawab maupun menoleh kepadanya.

   Alvia merasa bingung karena didiamkan. Ia hanya mengangkat bahu.

***

   Reva merasa malas menanggapi pemuda di sampingnya. Harus diakui sosok itu memang menarik, tetapi dia malas untuk bergaul dengan orang lain, apalagi Kania dan Riris sedari tadi terus menatap tajam ke arahnya.

   Bisa ditebak, kedua gadis terpopuler di sekolah itu pasti tertarik dengan si murid baru.

   Alvia sendiri merasa sangat gugup. Maklum, untuk pertama kalinya ia menjadi pusat perhatian, tetapi bukan dari para siswa, melainkan siswi-siswi di kelas tersebut.

   'Mati aku! Aku tidak akan bisa bertahan jika terus seperti ini," ujarnya dalam hati.

   Para gadis itu tidak segan-segan mengibaskan rambutnya. Rambut panjang yang membuat Alvia iri. Melambai sembari tersenyum, bahkan mengedipkan sebelah mata padanya. Bahkan, ada yang terus menatap sembari melempar ciuman ke arahnya.

   'Mereka semua sudah gila. Seandainya mereka tahu siapa aku yang sebenarnya,' keluhnya lagi.

   "Sudah cukup!" teriaknya sambil bangkit berdiri.

"Asal kalian tahu, aku juga seorang gadis!"

    Suasana berubah senyap. Semua di ruangan itu menatap ke arah Alvia.

***

   Tentu saja hal itu hanya terjadi di benak Alvia. Sedang dia sendiri masih tertegun diam.

   Para gadis masih saja berlomba menarik perhatian. Mau tidak mau, Alvia balas tersenyum ramah kepada mereka.

   Gadis-gadis itu menjerit-jerit heboh. Mereka berebut menyatakan diri mendapat senyuman dari Alvia. Sang guru sampai harus mengetuk meja beberapa kali dengan keras, barulah suasana kembali tenang.

   "Dasar playboy!" celetuk Reva pelan, tetapi tetap terdengar jelas oleh Alvia.

   'Aku playboy? Apa yang terjadi ini? Aku seorang gadis dan aku dianggap playboy?' tukas Alvia sembari tengkurap di atas meja.

***

   "Alvian! Ayo kita keluar ke lapangan dan main basket! Jangan mengurung diri saja di kelas kayak perempuan aja!" ujar seorang pemuda yang mendekat dan langsung mengalungkan lengannya di pundak Alvia.

    Wajah gadis itu langsung merah padam. Bahkan, dulu saat menjadi Alvia, ia tidak pernah sedekat ini dengan seorang pemuda.

   "I-ya, eh i-ya, oke," jawabnya gelagapan.

   "Kalau begitu, ayo!" ujar pemuda yang sama lagi sembari menggamit Alvia keluar. Gadis itu hanya bisa mengikuti. Sedang di dalam kelas, para gadis heboh, karena si murid baru akan bermain basket.

   "Nah, ini ruang ganti kita," tukas pemuda yang mengajaknya itu. Otak Alvia berputar cepat, tetapi terlambat. Pintu ruang ganti dibuka oleh orang yang bersamanya dan dia didorong masuk.

  

***

 

   Bruk!

   Alvia menabrak seseorang karena dorongan tidak terduga itu. Beberapa saat, ia baru tersadar bahwa dirinya berada di atas seorang pemuda yang berparas rupawan.

   Alis tebal yang menaungo sepasang mata hitam kelam yang dingin menusuk membuat Alvia terpaku.

   "Siapa kau?" desis pemuda itu.

   "Alvia, ehm maksudku Alvian, aku anak baru," sahut Alvia gugup. Baru kali ini, ia ditatap begitu intens oleh lawan jenis.

   "Lalu sampai kapan kau akan di atasku?"

   "Aku ... di atas?"

   Alvia terkesiap seolah baru tersadar. Ia masih berada di atas pemuda itu. Wajah sempurna itu hanya terpisah beberapa senti darinya. Bibir tipis itu ....

   "Apa yang kaupikirkan?" tanya pemuda itu lagi. Alvia hanya menggeleng sembari bergegas bangkit berdiri.

   "Luke," ujar pemuda yang tadi mengajak Alvia.

"Jangan marah! Ini bukan salahnya! Aku yang mendorong dia masuk!"

   "Orang seperti dia hanya bisa membuat masalah!" tandas Luke sembari menunjuk ke arah Alvia. Gadis itu hanya berdiri diam di bawah tatapan dingin pemuda bernama Luke yang baru saja ditabraknya tersebut.

"Jangan tersinggung, ya! Luke memang seperti itu orangnya, sudah kamu ganti baju saja sekarang!" tukas pemuda yang tadi.

Kata-kata itu langsung menyadarkan Alvia.

'Ganti baju? Alamak, mati aku!' tukas gadis itu dalam hati.

Semua menatap Alvia. Karena bingung, gadis itu cuma cengegesan nggak jelas.

"Kelihatannya dia lamban. Ayo kita pergi saja lebih dulu!" tukas Luke sembari menatap Alvia tajam.

Mereka semua menurut dan meninggalkan gadis itu seorang diri. Alvia menghela napas lega.

'Aku lolos. Untunglah, masih hari pertama udah nyaris ketahuan, selanjutnya apa yang bakal terjadi?' keluhnya lagi.

  

Next chapter