1 Bab 1 Jupri

"Hai, Bang, sudah jangan melamun saja. Mari lanjut lagi, giliran abang nih," ucap Zaki teman preman Jupri sambil menyodorkan gelas minuman keras di hadapannya.

Iya, sekarang Jupri bukan lagi anak sekolahan seperti lamunannya lima tahun yang lalu. Sekarang Jupri adalah Preman Pasar yang di segani semua penghuni lapak, bukan segan karena kebengisannya tapi segan akan sikapnya. Meskipun Jupri seorang preman, dia tidak pernah membuat onar bahkan sejak Jupri menjadi preman di pasar itu para pembeli merasa aman begitu juga para penjual makin krasan.

Jika mengingat kenangan lima tahun yang lalu, Jupri sangat menyesal mengapa kedua orangtuanya harus tergiur akan dunia maya yang di kenal medsos. Sekarang entah bagaimana nasib kedua orangtuanya Jupri pun tidak peduli, yang dia rasa hanya kehidupannya yang sekarang.

"Ayo Zaki, kita mabuk sampai malam," ucap Jupri tegas tanpa terlihat jika dirinya sudah mabok.

"Bang, ini sudah botol yang ke dua belas. Abang masih kuat?" tanya Zaki yang sudah memerah wajah dan matanya, berdiri pun tak sanggup.

"Tuang lagi, Zaki. Aku mau habiskan lima belas botol ini, aku masih kuat," ucap Jupri.

"Kau memang hebat, Bang, a-- aaku suu ...." belum selesai Zaki berkata tubuhnya jatuh tersungkur di lantai depan lapak Mak Ijah.

"Busyeet, hai, Zaki bangun kau. Apalah kamu ini, baru dua belas botol sudah tepar," kata Jupri sambil menepuk kedua pipi Zaki dengan telapak tangannya.

Melihat Zaki yang sudah tepar, Jupri berdiri memberesi semua bekas mereka minum. Botol kosong di letakkannya di samping lapak Mak Ijah tempat yang sudah di sediakan Mak Ijah untuknya.

"Tidurlah dulu kamu, Zaki, aku akan keliling dulu melihat lapak para penjual. Sebentar lagi pagi, pasti pedagang akan segera datang," ucap Jupri lalu melangkah pergi meninggalkan Zaki yang meringkuk tertidur akibat kelelahan mabok.

Jupri keliling daerah pasar melihat tiap lapak pedagang apakah sudah siap di tempati atau apa ada barang yang hilang. Saat Jupri mendekati lapak Pak Imam tiba-tiba terlihat bayangan hitam keluar dari lapak tersebut sambil membawa bungkusan kecil.

Jupri langsung berlari dengan melayangkan tendangan terbang ala artis terkenal di China, aahh terdengar teriakan kesakitan dari bayangan hitam itu.

"Siapa kamu, mengapa memasuki lapak Pak Imam?" tanya Jupri.

"Jangan ikut campur urusanku, kamu hanya preman pasar tak berguna," balas bayangan itu yang ternyata seorang pria kurus.

"Ini adalah wilayahku, semua pedagang tahu akan hak itu. Kau --- kau berani sekali beraksi di daerah kekuasaanku! Cari matikah?" kata Jupri dengan nada tinggi.

Pria kurus itu tak menggubris omongan Jupri, dia langsung merangsek maju menyerang Jupri dengan tendangan yang bertubi-tubi. Jupri pandai berkelit, sebilah pisau kecil melayang ke arah Jupri melalui samping kepala dengan sasaran telinga kanan Jupri.

Gesekan angin pisau yang melayang oleh Jupri dijepit dengan cepat menggunakan kedua jarinya, jari telunjuk dan jari tengah.

"Hanya segini kemampuanmu, ini Jupri bukan sekedar preman pasar kampungan tapi jawaranya para jawara Nambangan," kata Jupri membanggakan diri.

"Cuih, jawara kecek. Majulah, ambil barang ini jika kau dapat!" kata pria kurus itu makin menantang Jupri.

Jupri hanya diam memandang lawannya, mengatur pernafasannya, mempersiapkan tenaganya keseluruh otot bisep dan trisep. Lawan yang melihat hal itu merasa di remehkan menyerang Jupri lebih dulu. Tendangannya mengarah pada dada Jupri, gerakan pria itu sudah terbaca sehingga dipatahkan dengan hentakan tangan kanan Jupri tepat mengenai tulang keringnya.

Krak !!

Terdengar suara tulang patah dan teriakan melolong bak anjing kesakitan, lawan Jupri terkapar tidak berdaya.

"Ampun, Bang, maafkan aku --aaku salah telah masuki wilayahmu. Ini aku kembalikan barang yang aku ambil dari lapak itu," kata pria kurus itu terbata menahan rasa sakit di kakinya.

Kini pria itu berdiri pun susah, melihat hal itu Jupri berjalan mendekatinya.

"Am--ampun Bang, jangan lagi jangan, Bang. Kapok, ampun," ucap pria itu sambil sujud memohon ampunan.

Jupri bergeming tetap berjalan dalam diam dan pandangan tajam melihat betis pria itu akibat hentakan tangannya tadi.

Tangan Jupri terulur meraih kaki kiri pria kurus itu dan di tariknya kaki itu dengan paksa juga hentakan yang keras membuat pria itu melolong kesakitan dan

Krek krek!!!

"Sudah, balut betismu dengan kain ini sebelumnya olesi dengan minyak tanah dengan bawang merah yang di geprek. Tunggu tiga hari baru buka dan ganti yang baru. Lakukan seperti itu selama sebulan," kata Jupri lalu meraih bungkusan itu dan pergi meninggalkan pria itu yang termangu akan sikap Jupri.

'Sungguh aneh kok masih ada ya preman yang sudah bikin babak belur lawan tapi masih membantu, inikah sosok Jupri preman pasar yang disegani itu,' gumam pria itu.

Azdan subuh berkumandang, Jupri bergetar mendengar suara itu. Pikirannya melayang di lima tahun yang lalu saat dia masih berseragam putih abu, hampir tiap azdan dia selalu berjalan ke masjid samping rumahnya. Sekarang dia enggan untuk masukinya lagi, dia merasa sudah tidak pantas untuk memasukinya lagi.

"Ambillah wudlu mu, Nak. Akan kau nikmati siraman rohani yang telah lama kamu tinggalkan," tiba -tiba terdengar orang berkata di belakang Jupri.

"Astagfirullah, Mak!!!" kata Jupri terkejut sampai maju dua langkah dan balik badan.

"Hihihi alhamdulillah bisa terucap kalimat itu dari bibirmu, Naak," kata Mak Ijah dengan tertaw kecil.

Kemudian Mak Ijah membawa Jupri duduk di depan kios lapaknya, mengusap lembut lengan perjaka itu yang tampak lusuh meski masih terlihat tampan.

"Jika kamu rindu akan Robb mu kembalilah, datangilah rumahnya, Naak. Dia sebenar-benarnya Maha Pengampun atas segala dosa umatnya," nasehat Mak Ijah.

"Jupri masih malu, Mak. Nantilah jika Jupri sudah tidak mampu lagi menahan rindu ini, Jupri akan masuki rumah itu lagi. Jupri janji, Mak," papar Jupri dengan suara lirih dan linangan air mata.

Mak Ijah sangat paham perjalanan hidup Jupri hingga menjadi seorang preman pasar. Dulu lima tahun yang lalu, Jupri anak seorang lurah yang sederhana dan disegani. Akibat medsos kedua orangtuanya hancur, harta raib nyawa hanya tinggal kenangan. Tersisa ibunya yang entah ke mana Jupri pun tidak tahu akan keberadaan ibunya.

"Sabar dan iklas, Jupri. Semoga nanti akan kamu jumpai jodoh yang sholehah," ucap Mak Ijah sambil mengusap lembut kepala Jupri.

"Mak, akan ke masjid dulu, tidurlah di sini dulu. Kamu pasti lelah habis berkelahi menyelamatkan harta Pak Imam!" imbuh Mak Ijah sambil menyiapkan alas tidur yang biasa Jupri pakai.

Jupri termangu mendengar ucapan Mak Ijah, dia tidak pernah bercerita apapun pada Mak Ijah tapi mengapa beliau selalu tahu apapun yang Jupri lakukan dan alami di tiap malamnya.

"Jangan terlalu dipikirkan, tidurlah. Istirahatkan hati dan pikirmu, Jupri. Mak tinggal dulu,"

avataravatar
Next chapter