27 #26 MENEMUI RATNA

"Lain kali hati-hati. Kamu tidak apa-apa gelas?" tanya Darsa

Aneh sekali, dimana-mana orangnya yang di pertanyakan. Ini justru gelas itu yang di tanya. Tunggu. Mengapa aku jadi cemburu hanya pada benda mati? Dia tertawa melihatku menatap wajahnya dengan sinis, karena dia lebih mementingkan gelas itu ketimbang diriku. Aku tidak cemburu, tapi sepertinya dari wajah Darsa dia bisa membaca raut wajahku kalau aku cemburu padanya karena dia lebih memperdulikan benda mati ketimbang diriku.

"Apa kamu cemburu?" tanya Darsa

Aku langsung merapatkan bibirku seraya menatap ke arah yang lain agar dia tidak tahu. Tapi saat Darsa ingin melihat wajahku, aku langsung berbalik memandang wajahnya. Ternyata wajah Darsa dan wajahku jaraknya hanya jengkal. Artinya jika diukur maka jaraknya sepanjang rentangan antara ujung ibu jari tangan dan ujung kelingking. Hal itu membuat aku sulit untuk berbicara dengan jelas di hadapannya.

"Un-- untuk apa aku cemburu hanya pada benda mati. Ak—ak-- aku juga tidak berhak untuk cemburu, kamu bukanlah siapa-siapaku jadi jangan terlalu kepedean," jawabku dengan bicara sedikit gugup sambil menatap dia dengan sinis.

"Kenapa kamu jadi gugup begitu?. Jangan sinis dong, nanti cantiknya hilang. Hahaha," ujar Darsa sambil tertawa.

Lagi-lagi wajah itu yang aku lihat darinya. Dia begitu bahagia ketika tertawa denganku, apakah dia sebelumnya tidak merasakan bahagia seperti ini dengan mantan nya dulu?

Apakah dia dulu begitu sangat canggung dengan mantannya sehingga tidak ada tawa di dalam dirinya? Aku langsung menghilangkan semua pikiran itu didalam otak ku kemudian mengalihkan pembicaraannya dengan membahas topik pembicaraan diluar dari obrolan tadi.

Aku bertanya kepadanya, apakah bisa menemaniku untuk mendatangi ratna di penjara. Sontak Darsa menolak, dia berfikir untuk apa aku berbicara pada orang yang sudah melukaiku. Aku mengerti dia pasti akan khawatir kalau Ratna akan berbuat macam-macam disana. Tapi walaupun Ratna salah, aku tetap memaafkan dia. Ratna melakukan hal itu, karena dia terbawa emosi saja.

"Lagi pula kamu ada di sampingku. Disana juga ada polisi jadi tidak perlu khawatir," ucapku dengan membujuknya untuk menemaniku.

"Baiklah aku akan menemani mu besok," ujar darsa.

Ketika aku melanjutkan minum, Darsa meminta maaf kepadaku. Untuk apa dia minta maaf, padahal dia tidak melakukan kesalahan apapun. Ternyata dia meminta maaf karena begitu ceroboh, dan tidak mengetahui kalau aku pergi keluar sendirian ke supermarket. Dia berpikir, jika darsa tidak ceroboh saat itu, maka hal itu tidak akan terjadi.

Untuk apa dia menjagaku, lagi pula ayahku ataupun ibuku saja tidak meminta bantuan dia untuk menjagaku. Dia bukanlah bodyguard, yang harus bersamaku setiap saat. Yah, walaupun berakhir dalam keadaan terluka seperti ini. Tapi itu tidak menjadi masalah untukku. Aku justru sangat berterima kasih juga padanya, karena telah menyelamatkanku walaupun pada saat itu sudah dalam keadaan yang parah.

Aku mengatakan padanya untuk tidak perlu meminta maaf, karena Ratna mengincarku sejak dia mengira aku dekat dengan Darsa. Padahal aku hanya menjalankan amanah ayahku, untuk menemani Darsa selama berada disini. Darsa juga berterima kasih padaku, karena sudah menolongnya waktu itu.

Padahal aku hanya reflek saja. Tapi yah, biarkan saja dia berterima kasih padaku. Dari pada aku salah bicara lagi, nanti suasananya menjadi canggung kembali. Kepalaku kembali disentuh, setiap sentuhan dari tangannya itu membuat wajahku menjadi tersipu malu. Mengapa harus pakai elus kepala, aku merasa seperti anak kecil saja.

"Aku bukan anak kecil tahu," ucapku.

Kami tertawa di dapur hanya karena aku mengatakan bahwa aku bukan anak kecil lagi yang harus kepalanya di elus setiap saat.

Esokkan harinya aku bersama Darsa dengan ditemani oleh Sekretaris Kim, kami pergi ke sel penjara untuk menemui Ratna. Ayah, Ibu, dan Kakakku sebenarnya melarangku untuk pergi kesana. Tapi dengan tegas aku mengatakan bahwa aku tetap kesana sekaligus ingin berbicara dengan Ratna.

Aku mengatakan pada mereka untuk tidak khawatir padaku, karena ada Darsa dan Sekretaris Kim di sampingku. Sebelum itu, aku berhenti di warung makan untuk membelikan Ratna makanan.

Hingga sampai disana, polisi membawa Ratna kehadapanku. Kami mengobrol di meja yang sudah diberi pembatas antara aku dengan Ratna agar dia tidak bisa berbuat macam-macam padaku. Wajahnya begitu pucat, begitu lesu tidak begitu semangat seperti aku melihat dia dulu waktu pertama kali bertemu.

"Kenapa kamu ingin mengajakku mengobrol?" tanya Ratna dengan menundukkan kepala nya

"Angkat kepalamu, aku sedang berbicara padamu. Aku ada dihadapanmu, bukan dilantai," ucapku.

"Untuk apa kamu kemari? Apa kamu mau mengatakan kepadaku kalau kamu ingin mempertambah hukuman penjaranya?" tanya Ratna dengan wajah sedih

"Bagaimana kabarmu? Kamu terlihat pucat, lesu, dan kurus. Apakah kamu makan dengan teratur?" Aku bertanya balik kepadanya

"Sebaiknya kamu pergi dari sini. Semua orang tidak perduli padaku termasuk Ayahku sendiri," jawabnya dengan air mata yang mengalir di pipinya.

Aku memberikan makanan di mejanya, ekspresi terkejut dari wajah Ratna membuatnya semakin ingin menangis. Aku membuka makanan itu dan menyuapi makanan itu ke Ratna.

"Aku tahu kamu belum ada makan, kan? Mungkin dengan aku datang kesini, kamu bisa makan. Ayo buka mulutmu aku suapi," ucapku

"Kenapa kamu begitu baik padaku? Setelah apa yang sudah aku perbuat padamu. Mungkin itu adalah suatu kesalahan yang sangat besar sehingga siapapun pasti tidak akan mau memaafkan orang sepertiku," ucap Ratna sambil menangis.

Aku mengangkat tangan kiri ku untuk mengusap air matanya dengan tisu. Karena dia menangis saat berada didepan makanan, dan aku tidak suka hal itu. Jika dia menangis, maka makanan yang ada didepannya juga ikut menangis.

"Jangan banyak bicara, sekarang makanlah aku suapin kamu," ujarku sambil menyuapi Ratna.

Setelah Ratna makan, polisi mengingatkanku bahwa jam kunjungan sudah berakhir aku belum sempat berbicara banyak padanya. Yang membuat aku terkejut saat itu, Ratna menatapku sambil tersenyum dengan mengatakan terima kasih dan maaf kepadaku.

Aku mencoba untuk menahan diri agar tidak menangis didepan Ratna. Kemudian aku berjalan untuk keluar. Kami langsung menuju parkiran dan masuk ke dalam mobil. Aku terdiam seraya memasang sabuk pengaman sebelum Darsa menjalankan mobilnya.

"Kenapa kamu begitu baik padanya?" tanya Darsa

"Iya Alisya padahal dia sudah melukaimu pada saat itu," ucap Sekretaris Kim.

"Aku melihat raut wajahnya ketika dia kembali ke sel penjara, dia meminta maaf padaku. Aku tidak bisa melihat dia seperti itu di penjara wajah dia pucat, lesu, dan kurus sangat berbeda ketika aku melihatnya pertama kali waktu itu. Bahkan dia tidak makan dengan teratur," jawabku.

Air mata yang sudah aku tahan sejak tadi tidak bisa terbedung lagi, hingga air mata mengalir ke pipiku. Darsa memberikan tisu untukku kemudian dia mengelus kepalaku. Anehnya aku hanya terdiam saat dia mengelus kepalaku biasanya aku memarahi Darsa tapi kali ini ada apa dengan diriku? Apa jangan-jangan … tidak, tidak mungkin aku menyukai Darsa aneh sekali pikiranku ini.

"Kamu begitu baik padanya Alisya, aku bangga padamu. Walaupun dia jahat, tapi kamu masih perduli padanya," ucap Darsa.

"Mau sampai kapan kamu mengelus kepalaku? Aku bukan anak bocah. Sebaiknya kita pulang," ujarku.

"Pfft. Baiklah ayo kita pulang," ucap Darsa sambil tertawa kecil.

Dua hari sudah terlewati, kami pergi ke Vila untuk masak-masak disana karena Darsa dan Sekretaris Kim akan kembali ke korea 5 hari lagi. Setelah sampai di sana, Ibu langsung merapikan barang-barang beserta koper. Ibuku dibantu oleh Rendi, David, dan Darsa.

Kemudian Aqilla, bibi Ijah, pak Abraham, dan sekretaris Kim menyiapkan panggangan serta bahan-bahan untuk bakar daging di taman nanti. Semuanya begitu sibuk, sedangkan Ayah dan Kakak juga sibuk berbicara soal kerja.

Tidak liburan, tidak di rumah, Ayah dan Kakak selalu di sibukkan dengan perusahaannya. Hanya aku saja yang diam dan tidak ikut membantu yang lainnya akibat tanganku masih diberi alat penyangga bahu sehingga Dokter belum memperbolehkan aku untuk melakukan banyak aktivitas.

Aku berharap secepatnya alat ini segera menghilang dari tubuhku. Tanpa aku sadari tiba-tiba ada orang dibelakangku, ternyata itu adalah Rendi.

"Jangan melamun, tidak baik tahu. Mikirin apa?" tanya Rendi

"Aku kaget tahu tiba-tiba dibelakang aja, untung aku tidak teriak," jawabku dengan mengusap dadaku.

"Hahaha maaf deh, ngomong-ngomong kamu masih belum membuka hatimu?" tanya Rendi

"Kenapa tiba-tiba mempertanyakan hal itu?" tanyaku balik

avataravatar
Next chapter