2 Nikahan Mantan

"Kalau memang hanya singgah, tolong jangan terlalu lama. Aku takut egois menahan dirimu di sisiku, sedangkan kamu sudah memiliki nama lain di hatimu!"

- Revana Senia Sarayang -

________

Tentang hari ini, aku tersenyum pada diriku sendiri, akhirnya tidak ada lagi yang perlu di perjelas. Walau kenyataanya air mata terus membasahi kerudung yang kini aku jadikan penutup wajah. Memangnya siapa yang tidak malu menangis di nikahan mantan?

Aku ingin seperti wanita-wanita lain yang bisa tegar dan menyembunyikan sedihnya. Tapi ini lah aku Revana Senia Sarayang, mudah sekali menangis hanya karena hal-hal yang kelihatannya sederhana.

Untung saja Tuhan juga menciptakan sifat tidak ingin ribet pada diriku. Sehingga, tidak ada drama maskara luntur. Aku mengusap mataku perlahan dengan tissue, kemudian menarik napas panjang sebelum menatap sepasang manusia yang tengah berbahagia.

Aku belajar dari kisah kali ini. Seberapa lama mengenal, seberapa kuat bertahan, dan saling menerima. Kalau memang bukan di takdirkan bersama ya tidak akan sampai pelaminan.

"Di tatap terus juga gak bakalan ngerubah takdir kalo yang di pelaminan itu ternyata bukan lu Revana!" aku menoleh pada sumber suara yang menganggu pendengarannku. "Seharusnya hari ini tunjukin penampilan terbaik lu." Lanjutnya yang membuatku memutar bola mata. So bijak!

"Cuci muka terus make up ulang. Kita salaman sama-sama. Lima menit!" Aku mengangguk sambil menatap matanya yang menatapku balik dengan sorot bosan. Tiba-tiba dia mendorong bahuku sambil mengatakan kata-kata yang membuatku tertawa pelan.

"Cepetan! Mana ada yang mau sama perempuan drama kaya lu. Seharusnya lu tuh berterimakasih sama gue karena mau repot-repot nemenin lu ke nikahan mantan tersayangmu itu."

___________

Bersembunyi di balik tubuh tinggi milik Ardhan adalah solusi terbaik menenangkan diri sendiri. Rasanya keringat dingin semakin menjadi-jadi saat kaki ini mulai memasuki area pelaminan.

Ardhan menarik tanganku yang sedang memilin-milin ujung bajunya sedikit kasar. Aku melotot kaget sedangkan lelaki itu tidak membalas perbuatanku.

Mungkin stok sabarnya hari ini sedikit lebih banyak untukku. Ya, mungkin!

"Bisa diam dan jangan banyak tingkah saat jalan?" Geram Ardhan, aku melihat kupingnya memerah tanda sebentar lagi dia akan melepaskan segala emosinya. Aku memilih megangguk sebagai jawaban.

Aku mengintip mantan kekasihku dari balik tubuh Ardhan. Dia terlihat lebih tampan dengan baju khas adat jawa. Tapi mau seganteng apapun kalau suami orang ya harus banyak-banyak sadar diri.

Tiba giliran aku menyalami pengantin perempuan. Saat aku mendongak Raika tengah tersenyum tipis padaku. Maksudnya apa, mengejek begitu? Padahal apa sih yang harus di banggain dari status sebelumnya yang menjadi orang ketiga?

"Selamat ya akhirnya perjuangannya gak sia-sia." Aku memeluk Raika sebagai bentuk formalitas saja. Ya aku juga tidak berharap kita berteman. "Semoga cepat dapat momongan!"

Dan aku tidak menunggu Raika menjawab ucapanku. Aku langsung menjabat tangan Panji lalu tersenyum manis untuk menunjukkan bahwa aku baik-baik saja tanpa dia. Masih hidup, dan semakin menghargai diri sendri.

"Selamat ya, semoga percampuran sifat kalian menghasilkan keturunan yang unggul. Terimakasih sudah repot-repot kirim undangan!"

___________

"Ardhan tadi aku liat dia bahagia banget!"

Ardhan memelankan laju motor. Dia melirikku lewat kaca spion sekilas. Suaranya yang biasanya membuat emosiku naik tidak terdengar sampai lima menit kemudian.

"Memangnya apa alasan yang buat dia gak bahagia di hari pernikahannya?" Tanya Adhan ketika lampu lalu lintas berwarna merah. "Ga ada Revana Senia, itu pilihan yang terbaik buat dia, kalau buat lu gak, itu risiko perasaan lu sendiri."

"Gitu ya?" Tanyaku masih belum puas dengan jawabannya.

"Ya!" Serunya mantap tanpa keraguan.

"Kenapa lu gak mendukung perasaan gue?"

"Karena lu bisa dapetin yang lebih baik dari dia, jadi gue gak mendukung lu galau keterusan," ujarnya dengan nada tulus yang membuatku tersenyum lebar. Sahabat terbaik memang!

"Jadi gue bisa dong dapetin yang sekelas Dokter Adit?" Ituloh dokter selebgram yang pengikut di instagramnya sudah ratusan ribu.

Ardhan mengangguk kemudian mengatur posisi spion motornya agar wajahku telihat di kaca spion . "Bisa kok Va!"

"Yang bener?" Tanyaku antusias, padahal ya kenapa juga aku sebahagia ini jelas-jelas ujung-ujungnya ini pasti pait.

"Bener, asal lu operasi plastik!" Ujarnya dengan tawa yang ditahan-tahan. Pait banget hidup kalau punya temen modelan Ardhan.

Aku meninju lengan kananya sekuat tenaga. Maksudnya muka aku ada masalah begitu? Kurang apa kurang cantik? Enak saja ini perpaduan paling pas antara ibu dan bapak.

"Aw. Sakit ish!" Katanya sambil menjauhkan tanganku dari lengannya. Orang-orang memperhatikan kami dan aku tidak mempedulikannya. Sabodo amat lah!

"Rasain!"

"Minta maaf ga?" Katanya galak.

"Ga!"

"Ya udah, awas turun. Ga menerima tumpangan manusia gorila!" Mulutnya enteng sekali jika mengata-ngataiku.

Aku tidak minta maaf, aku semakin mengeratkan pengangan tanganku pada ujung jok motor. Untungnya lampu berwarna hijau. Mulut Ardhan tidak jadi mengeluarkan kata-kata kotornya.

Sepanjang jalan kami sama-sama diam, bukan karena lelah berdebat tapi faktanya berbicara saat motor melaju itu akan sangat melelahkan. Ujungnyanya saling "hah? Apa-apa? Oh iya. Iya hehe!" Dan kalau sudah begitu akan benar-benar saling lempar ejekan. Malas, mengeluarkan tenaga untuk hal yang kurang berfaedah.

Motor matic berwarna hitam yang diberi nama Bambo oleh Ardan berhenti di halaman rumahku. Aku masih belum turun dari motor kesayangannya ini.

"Turun!"

"Bentar deh. Gue  lagi mencerna semua permasalahan hari ini. Tungguin, sabar!"

Dan Ardhan benar-benar menuruti kata-kataku. Kami saling memikirkan permasalahan hidup masing-masing. Atau Ardhan sedang memikirkan warteg mana lagi yang bisa dia kasbon di tanggal tua.

"Emang beneran ya gue harus operasi plastik kalau mau dapet yang sekelas doktet Adit?" Entah kenapa malah pertanyaan ini yang keluar dari mulutku.

Ardhan menghela napas pelan. "Lo turun dulu deh baru ngomong lagi, ini kaki pegel nahan beban sebanyak ini!"

"Dasar!" Aku mengikuti sarannya, duduk di kursi depan rumah dan Ardhan duduk di sampingku.

"Yang tadi itu cuman bercanda. Udah lah ngapain sih bahas gituan." Katanya sambil mrngibaskan tanganya. Tapi kemudian senyum jahilnya terbit. Aku sudah curiga sih. "Dia juga gak tau lu. Mending bahas gimana keadaan hati lu setelah datang ke nikahan mantan tersayang, apalagi dulu pernah membahas jumlah anak, nama anak-anak lu sama dia. Gimana rasanya?"

Sial.

Ardhan sialan. Astagfirullah!

____________

Bismillah. Semoga bisa sampai ending:)

wattpad: Rinaoktaviana19

avataravatar